Skip to content Skip to footer

Agama Sebagai Salah Satu Modalitas Terapi Dalam Psikiatri

Oleh
Prof. Dr. H. Mohammad Fanani, dr. Sp.KJ (K)

Yang saya hormati,
Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat, dan Anggota Senat Universitas Sebelas Maret,
Para Pejabat Sipil dan Militer,
Para Guru Besar Tamu
Bapak Direktur dan Wakil Direktur RS Dr Moewardi Surakarta,
Ibu Direktur dan Wakil Direktur RSJD Surakarta,
Ketua Lembaga, Kepala Biro, dan Para Kepala UPT, serta seluruh Pejabat di Lingkungan Universitas Sebelas Maret,
Para Ketua Jurusan Ketua Laboratorium dan Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
Segenap Civitas Akademika Universitas Sebelas Maret,
Para Tamu Undangan, Teman Sejawat, Sanak Keluarga dan Handai Taulan, serta
Para Mahasiswa dan hadirin sekalian yang saya hormati pula.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang karena perkenan-Nya, kita sekalian dalam keadaan sehat, dapat menikmati sekian banyak karunia-Nya, hingga saat ini kita dapat berkumpul bersama dalam ruangan khusus ini. Atas perkenan-Nya pulalah saya dapat berdiri di mimbar yang berwibawa ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) di hadapan para hadirin yang saya muliakan.

PENDAHULUAN

Hadirin yang saya hormati,
Pada hari yang berbahagia dan bersejarah ini perkenankanlah saya menyampaikan pidato pengukuhan guru besar ini dengan judul ”Agama Sebagai Salah Satu Modalitas Terapi dalam Psikiatri” Judul ini dipilih antara lain karena potensi religiusitas masyarakat Indonesia yang cukup tinggi, sebagaimana tersurat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa negara kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, dalam praktik pemanfaatan agama sebagai modalitas terapi secara formal belum dimanfaaatkan dengan optimal. Selama ini pemanfaatan agama sebagai modalitas terapi dalam dunia kedokteran atau di lingkungan Rumah Sakit hanya dilakukan oleh petugas nonmedis yang pada umumnya tidak dibekali pemahaman tentang kedokteran dan keterampilan sebagai terapi. Bahkan sebagian masyarakat masih memandang dengan sebelah mata atau bahkan memandang negatif peran agama ter¬hadap kesehatan jiwa. Hal inilah yang diperkirakan menimbulkan kontroversi tentang peran agama terhadap kesehatan jiwa. Oleh karena itulah saya merasa perlu mengungkapkan masalah ini di hadapan sidang yang terhormat, agar keberadaan agama pada masyarakat kita dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modalitas terapi psikiatri secara optimal.

SEJARAH PERKEMBANGAN TERAPI PSIKIATRI

Hadirin yang terhormat,
Pemahaman manusia tentang sebab-sebab terjadinya gang¬guan jiwa dari waktu ke waktu terus berkembang. Oleh karena itu, upaya penyembuhannya pun akan mengikuti perkembangan etiolo¬gi¬nya. Pada abad ke-15 gangguan jiwa masuk dalam era demono¬logis yang menganggap gangguan jiwa adalah akibat guna-guna atau gangguan setan/roh jahat. Pada masa itu upaya penyembuhan dilakukan dengan mengusahakan agar setan-setan yang meng¬ganggu manusia meninggalkan tubuh pasien, antara lain dengan dibacakan mantera, mengeluarkan darah dari tubuh pasien bahkan melubangi batok kepala (Colp R, 2001; Maramis, 1994).
Sampai dengan pertengahan abad 20 persepsi para tokoh atau ahli kesehatan pada umumnya memandang agama sebagai sisi negatif terhadap kesehatan jiwa. Maklumlah para pakar kesehatan jiwa pada waktu itu sebagian besar beraliran atheis, seperti Sigmund Freud, Albert Ellis dll. Pandangan mereka terhadap agama tercermin dalam beberapa pernyataan mereka antara lain menurut Sigmund Freud: ”A religious man is: an infantile helplessness, a regression to primary narcissism, a borderline psychosis, a primitive infantile state dan a universal obsessional neurotic. Sementara itu, menurut Albert Ellis, pemikiran orang beragama dianggap sebagai: irrational thinking and emotional disturbance (Larson, 2000).
Pada pertengahan abad ke-20 perkembangan bergeser kepada era fisikalistik, yang menganggap bahwa semua sebab penyakit adalah akibat dari ketidakseimbangan fisik-biologik, dan para¬meter kesakitan sudah barang tentu disandarkan pada parameter somatik dari pasien (Notosoedirdjo, 1999). Dengan demikian, upaya penyem¬¬buhan gangguan jiwa difokuskan dengan cara fisik-biologik pula. Pada fase ini perkembangan psikofarmakologi maju pesat sampai saat ini, di samping terapi kejang listrik (ECT). Namun demikian, perkembangan pesat di bidang psikofarmakologik dan terapi fisik lainnya tidak dapat menyembuhkan semua diagnosis gangguan jiwa. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan hasil terapi gangguan jiwa terus dilakukan penyempurnaannya.
Mengingat bahwa hanya dengan mengandalkan aspek fisik-biologik saja banyak fenomena psikiatrik yang tidak dapat dijelas¬kan, maka Karen Horney mengajukan konsep holistik, yaitu terapi yang menyeluruh dalam penyembuhan gangguan jiwa. Jadi, selain memberikan terapi fisik-biologik, juga diberikan terapi psikologik dan terapi sosial. Pada era ini berkembang berbagai jenis psikoterapi, seperti psikoanalisis oleh Sigmund Freud, Existensial humanistik oleh Abraham Maslow, Client Centered oleh Carl Rogers, Terapi Gestalt oleh Fritz Perls, Analisis Transaksional oleh Eric Berne, Terapi Tingkah laku oleh Wolpe dan BF Skinner, Terapi Rasional Emotif oleh Albert Ellis, serta Terapi Realitas oleh Williams Glaser.(Corey, 1999., Maramis, 1994). Dengan kemajuan teknologi kedokteran saat ini ternyata masih belum mampu diselesaikan berbagai masalah kesehatan jiwa baik ditinjau dari faktor etiologi maupun faktor terapinya.
Oleh karena itu, upaya untuk menyempur¬nakan penyelesaian masalah gangguan jiwa terus dilakukan, sehingga pada awal tahun 1980-an peran budaya, spiritual dan keagamaan mulai mendapat perhatian. Sejak tahun 1994 secara resmi WHO memasukkan aspek spiritual sebagai salah satu kom¬ponen dalam upaya memperoleh sehat jiwa, dan sejak itu konsep holistik dilengkapi menjadi: bio-psiko-sosio-spiritual (Hawari, 2005).
Trujillo (2001) dan Kiresuk (2001) ketika membahas Cultural Psychiatry dalam Comprehensive Textbook of Psychiatry menyatakan bahwa faktor spiritualitas yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa meliputi pelbagai aspek, termasuk di dalam¬nya adalah aspek keagamaan. Juga dikatakan bahwa modalitas agama dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keefektifan terapi personal nonspesifik terhadap pasien dengan gangguan jiwa.
Mengingat bahwa peran agama dalam peningkatan kesehatan jiwa merupakan hal yang relatif baru, maka dalam kesempatan ini penulis akan menyajikan beberapa pendapat serta hasil penelitian yang menunjukkan korelasi antara pemahaman keagamaan, ke¬patuh¬an terhadap prinsip keagamaan, serta rutinitas pelaksanakan aktivitas peribadatan dengan kesehatan jiwa.


MAKNA AGAMA BAGI MANUSIA

Hadirin yang saya hormati,
Orang yang mengaku beragama dan konsekuen terhadap pengakuannya memiliki keterikatan pikiran dan emosi dengan keyakinan atau agama beserta aturan-aturan/syariat yang ada di dalamnya. Terdapat tiga ranah utama yang dapat diamati pada orang beragama menurut pandangan Islam, yaitu: Iman, Islam, dan Pengamalan agama yang benar dalam kehidupan sehari-hari atau Ikhsan (Hawari, 2002). Sementara itu, Lubis (2002) menjelaskan bahwa orang yang beriman akan cenderung berperilaku lebih baik karena apa yang mereka kerjakan didasari oleh kerelaan, mem¬punyai makna demi kemuliaan Tuhan. Selanjutnya, Lubis menyata¬kan bahwa agama mempunyai makna yang penting bagi manusia karena iman dapat berfungsi sebagai penghibur di kala duka, menjadi sumber kekuatan batin pada saat menghadapi kesulitan, pemicu semangat dan harapan berkat doa yang dipanjatkan, pem¬beri sarana aman karena merasa selalu berada dalam lindungan-Nya, penghalau rasa takut karena merasa selalu dalam pengawasan-Nya, tegar dalam menghadapi masalah karena selalu ada petunjuk melalui firman-firman-Nya, menjaga kemuliaan moral dan ber¬perilaku baik terhadap lingkungan sebagaimana dicontohkan para rasul-Nya

PERAN AGAMA TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIK

Hadirin yang saya hormati,
Unsur utama dalam beragama adalah iman atau percaya kepada keberadaan Tuhan dengan sifat-sifatnya, antara lain: Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Pemberi, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Suci, serta nilai-nilai lebih/Maha yang lainnya. Oleh karena itu, orang yang merasa dirinya dekat dengan Tuhan, diharapkan akan timbul rasa tenang dan aman, yang merupakan salah satu ciri sehat mental.
Terkait dengan manfaat kesehatan mental dari religiusitas, Abernethy (2000) mengusulkan ada beberapa mekanisme keagama¬an untuk mempengaruhi kesehatan antara lain: 1. mengatur pola hidup individu dengan kebiasaan hidup sehat, 2. memperbaiki per¬sepsi ke arah positif, 3. memiliki cara penyelesaian masalah yang spesifik, 4. mengembangkan emosi positif, 5. mendorong kepada kondisi yang lebih sehat. Menurut Culliford (2002), orang dengan komitmen agama yang tinggi akan meningkatkan kualitas ke¬tahanan mentalnya karena memiliki self control, self esteem & confidence yang tinggi. Juga mereka mampu memper¬cepat penyem¬buhan ketika sakit karena mereka mampu mening¬katkan potensi diri serta mampu bersikap tabah dan ikhlas dalam menghadapi musibah.
Dervic (2003) mendapatkan bukti dalam penelitiannya, bahwa mereka yang memiliki skor religiusitas tinggi ternyata menunjukkan rasa tanggung jawab yang tinggi, dan sebaliknya skor agresivitas dan impulsivitasnya rendah.

PERAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SOSIAL

Hadirin yang saya muliakan,
Umumnya para penganut agama akan melakukan kegiatan ibadah atau kegiatan sosial lainnya secara bersama-sama. Dan kegiatan bersama seperti ini dilakukan secara berulang-ulang, sehingga dapat menimbulkan rasa kebersamaan dan meningkatkan solidaritas antarjamaah. Oleh karena itu, Abernethy (2000) me¬ngata¬kan bahwa orang yang memiliki komitmen agama yang tinggi akan mendapatkan dukungan sosial yang tinggi pula, sedangkan Dervic (2004) menyatakan bahwa orang dengan komitmen agama yang tinggi dapat diharapkan memiliki moralitas yang terpuji pula. Penelitian Kendler (2003) mendapatkan pada orang-orang yang komitmen agamanya tinggi ketaatan terhadap norma sosial¬nya tinggi pula. Juga terdapat korelasi negatif yang signifikan antara skor religiusitas dan skor perilaku antisosial. Menurut Culliford (2002), orang yang tingkat religiusitasnya tinggi kualitas hidupnya diharapkan juga tinggi. Hal ini tercermin pada hubungan sosial dengan masyarakat yang baik, keberadaannya dapat diterima baik oleh masyarakat di sekitarnya.
Dervic (2003) mendapatkan bukti dalam penelitiannya bahwa orang dengan skor religiusitas tinggi, pada umumnya dapat mem¬bina keharmonisan keluarga, dan pada umumnya dapat membina hubungan yang baik di antara keluarga.

PERAN AGAMA TERHADAP KONDISI BIOLOGIK

Hadirin yang saya hormati,
Terdapat pertanyaan yang cukup mendasar tentang peran keagamaan terhadap perubahan fisik–biologik, sebagaimana dituntut oleh para pakar yang berorientasi fisikalistik. Namun, akhir-akhir ini telah banyak penelitian yang dapat mengungkap masalah ini. Temuan Emoto (2006) yang mendapatkan bukti bahwa dengan perkataan yang baik dan halus sebagaimana perkataan orang yang sedang berdoa dapat mengubah partikel air menjadi kristal heksagonal yang indah, dan selanjutnya bermanfaat dalam upaya kesehatan secara umum. Sebaliknya, dengan perkataan yang kasar seperti hinaan atau cemoohan akan menyebabkan kristal-kristal air menjadi buruk.
Dari informasi ini dapat diperkirakan ada kaitan antara potensi internal manusia dengan kondisi eksternal yang berada di alam semesta. Potensi internal ini diduga berada pada lobus frontalis yang oleh Ramachandran disebut sebagai God spot (Hawari, 2002). Penelitian yang lebih cermat untuk mencari lokasi God spot telah dilakukan oleh Borg (2003) melalui pencitra¬an otak menggunakan PET (Positron Emision Tomography-Radio ligand) untuk mengukur kepadatan reseptor 5HT1A yang diduga berperan dalam pengendalian perilaku manusia. Hasil penelitian ini menun¬juk¬kan bahwa mereka yang memiliki skor religiusitas/spiritualitas yang tinggi ternyata kepadatan reseptor 5HT1A mereka rendah di regio nukleus raphe dorsalis, hippokampus, dan neo¬korteks. Hal ini yang diduga bertanggungjawab atas perilaku tenang pada orang dengan komitmen agama tinggi.
Penelitian dari aspek psikoneuroimunologik yang terkait langsung dengan aktivitas peribadatan dengan kesehatan jiwa pada umumnya menunjukkan adanya korelasi positif. Beberapa hasil penelitian tersebut antara lain: Abernethy (2000) menyatakan bahwa orang-orang dengan skor religiusitas tinggi kadar CD-4 (limfosit T helper) nya tinggi pula. Hal ini menggambarkan tinggi¬nya daya tahan imunologiknya yang bagus.
Penelitian yang mencari kaitan antara sholat tahajud dengan kesehatan telah dilakukan oleh Sholeh (2000), dan mendapatkan: bahwa mereka yang melaksanakan sholat tahajud secara rutin, setelah 4 minggu akan menunjukkan peningkatan kadar limfosit dan kadar imunoglobulin, dan terus meningkat sampai minggu ke delapan. Meningkatnya kadar limfosit dan imunoglobulin meng¬gambarkan makin tingginya daya tahan tubuh secara imunologik.
Pengaruh puasa Ramadhan terhadap kesehatan telah diteliti pula oleh Zainullah (2005), dengan sampel para santri suatu pondok pesantren. Penelitian dilakukan 3 minggu sebelum Ramadhan sampai dengan puasa hari ke-26. Penilaian terhadap substansi imunologik diambil pada hari -21 sebagai kontrol (tidak puasa), hari +5, +16 dan +26 sebagai kelompok perlakuan. Walau¬pun pada awal puasa hari +5 sebagian menunjukkan adanya stres, yang tergambar dengan meningkatnya kadar kortisol, setelah hari +16 dan +26 seluruh kelompok sudah menunjukkan respons imunologik yang sama yaitu ditandai dengan meningkatnya kadar limfosit, yang dapat diartikan meningkatnya daya tahan imunologik.
Sementara itu, Qalaji telah berhasil memperkuat keyakinan atas kebenaran salah satu ayat al Quran yaitu QS Al Isra’ (17) ayat 82, yang artinya:
”Dan telah aku turunkan (Al Quran) yang di dalamnya terdapat obat dan rahmat bagi orang mukmin”.
Melalui penelitiannya dengan menggunakan peralatan elek¬tro¬medik secara komputerisasi. Bahwasanya orang-orang yang men¬dengarkan ayat-ayat suci Al Quran, baik mereka yang paham maupun yang tidak paham bahasa Arab akan mengalami penurunan intensitas tegangan otot mereka. Lebih nyata secara bermakna bila dibandingkan dengan bila mendengarkan bacaan nonquraniyah dengan cara yang sama, sedangkan tegangan otot dikendalikan oleh susunan syaraf pusat. Dari informasi tersebut di atas dapat disimpul¬kan bahwa: Hanya dengan mendengarkan ayat-ayat suci Al Quran yang dibacakan sudah dapat menyebabkan timbulnya ketenangan hati (Albar, 1992).

PERAN AGAMA TERHADAP KONDISI KLINIS PASIEN

Hadirin yang saya muliakan,
Bukti yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya adalah manfaat langsung aktivitas keagamaan terhadap kesehatan. Telah dilaporkan beberapa hasil penelitian klinis, baik secara umum, maupun secara khusus untuk penyakit tertentu, antara lain seperti tersebut di bawah ini.
Tentang depresi, terdapat bukti bahwa terdapat korelasi negatif antara tingkat religiusitas dengan skor depresi (Dervic dkk., 2003, Kendler dkk., 2003, Kiresuk & Trachtenberg, 2001, Van Ness, 2002).
Terhadap kesehatan kardiovaskuler, ada beberapa pendapat dan hasil penelitian, antara lain Larson (2000), yang mendapatkan bukti bahwa pasien dengan komitmen agama tinggi yang menga¬lami trans¬plantasi jantung dalam pengamatan selama satu tahun menun¬juk¬kan survival rate nya lebih tinggi dibanding dengan mereka yang tidak ada komitmen agama. Fathoni (2006) men¬dapat¬kan bukti bahwa orang dengan komitmen agama tinggi kadar CRP (C Reactive Protein) rendah sehingga berperan terhadap pence¬gahan terjadinya serangan penyakit jantung koroner. Juga rendah¬nya CRP dan IL-6 dapat dipakai sebagai prediktor baiknya prog¬nosis pasien infark miokard.
Peran doa terhadap penyembuhan pascaoperasi BPH (Benign Prostat Hyperttrophy) telah diteliti oleh (Akbar, 2006), yang mendapatkan bukti bahwa peningkatan pemahaman agama dan doa dapat membantu menekan intensitas depresi pada pasien. Demikian pula Jalaluddin (2006) mendapatkan pasien BPH yang mendapat¬kan ceramah agama dan bimbingan doa menunjukkan skor ansietas yang secara sigifikan lebih rendah dibanding dengan mereka yang tidak mendapatkan bimbingan keagamaan, sehingga mereka menyarankan perlunya peran bantuan rohaniwan dalam memper¬siapkan pasien dengan BPH yang menghadapi operasi.
Kaitan tindakan bunuh diri, telah diteliti oleh Van Ness (2002), ternyata terdapat korelasi negatif antara komitmen agama dengan tindakan bunuh diri. Temuan tersebut senada dengan Puchalski (2001) yang menyarankan menggunakan terapi spiritual termasuk religi untuk menekan perilaku bunuh diri.
Penelitian keefektifan terapi ruqyah telah diteliti oleh Ambar¬wati (2006), yang ternyata bagi pasien dengan diagnosis pelbagai jenis Skizofrenia, Retardasi Mental tidak memberikan respons bermakna. Demikian pula temuan penulis, mereka yang dikirim oleh para terapis ruqyah kepada penulis (resisten terhadap terapi ruqyah) ternyata menunjukkan diagnosis Gangguan Skizofrenia, Epilepsi dan Retardasi Mental (Fanani, 2006).

PENUTUP
Hadirin yang saya hormati,
Sebagai penutup akan saya sampaikan simpulan, saran dan ucapan terima kasih sebagai berikut.

1. Simpulan

  • Telah ada perubahan besar pandangan para pakar kesehatan tentang komitmen agama terhadap kesehatan, utamanya kesehatan jiwa.
  • Agama membuat manusia hidup bermakna, bertujuan dan memiliki panduan, sehingga hidup terasa mudah.
  • Dengan agama orang akan ber-posituve thinking, self control & self esteem yang baik, memiliki cara penyelesaian masalah yang spesifik, sehingga daya tahan mentalnya menjadi lebih baik.
  • Komitmen agama yang tinggi membuat individu terlibat langsung dengan masyarakat luas, sehingga memung¬kinkan mendapat dukungan masyarakat dan dapat diterima baik oleh lingkungannya.
  • Diduga perilaku religiusitas dikendalikan dari God-Spot yang lokasinya diperkirakan ada nucleus raphe dorsalis, hippocampus, dan neocortex.
  • Komitmen terhadap agama yang tinggi dan peribadatan rutin yang dikerjakan dengan ikhlas meningkatkan ketahanan sistem imun.
  • Komitmen terhadap agama secara klinis dapat berperan baik sebagai sarana promotif, preventif, dan kuratif, maupun rehabili¬tatif terhadap gejala depresi, ansietas, penyalahgunaan obat serta perilaku antisocial; sedangkan terhadap perilaku bunuh diri komitmen terhadap agama hanya mampu men¬cegah dan berfungsi sebagai rehabilitasi mental.
  • Terapi religi yang biasa dilakukan antara lain adalah ruqyah pada dasarnya adalah pembacaan Al Quran, doa, dan dzikir ternyata kurang bermanfaat secara medis baik untuk pasien psikotik, mental retardasi, maupun epilepsi.

2. Saran

Untuk meningkatkan keefektifan terapi psikiatri dan memperluas jangkauan pelayanan, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut.

  • Pelajaran agama di Fakultas Kedokteran tidak melulu mengajarkan akidah, syariat, muamalah secara umum, tetapi justru lebih diarahkan pada agama sebagai modalitas terapi.
  • Perlu dikembangkan konseling bernuansa agamis utamanya dalam pendidikan ahli psikiatri.
  • Dalam pelayanan medik tertentu seperti pada pasien geriatri, penderita penyakit kronis, pasien yang secara medis belum dapat diterapi dengan baik, serta pasien yang dalam kondisi terminal ada baiknya diterapi bersama rohaniwan.
  • Mengingat sebagian besar rohaniwan tidak memiliki pendi¬dikan keahlian konseling, maka dipandang perlu meningkat¬kan kemampuan konseling bagi rohaniwan (Ali, 2005; Mohr, 2006).
  • Keefektifan terapi religi dapat ditingkatkan dengan meninggi¬kan tingkat keimanan pasien, antara lain dengan meningkatkan pemahaman dan penghayatan doktrin keagamaan, melaksanakan peribadatan sesuai dengan syariat dan meningkatkan kebersamaan dengan berjamaah (Fanani, 2006).

3. Ucapan Terima Kasih

Hadirin yang saya muliakan,
Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini perkenan¬kan¬lah saya memanjatkan puji syukur ke hadurat Allah swt. yang atas perkenan-Nya saya dapat berdiri di sini untuk mendapatkan suatu kehormatan yang sangat besar, yaitu sebagai Guru Besar pada Fakultas Kedokteran UNS. Tanpa tuntunan, limpahan rahmat dan karunia serta kehendak-Nya, tidak mampu saya mencapai ini semua, sehingga sepatutnyalah saya bersyukur dan memohon semoga Allah swt. selalu memberi petunjuk dan mengingatkan diri saya bahwa jabatan Guru Besar ini adalah suatu amanah yang kelak di yaumil akhir harus saya pertang¬gung¬jawabkan di hadapan-Nya.
Pada kesempatan ini pula perkenankanlah saya meminta sedikit waktu untuk mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada:
Pemerintah RI dan Mendiknas atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar di Fakultas Kedokteran UNS.
Kepada Sdr. Rektor, Prof. Dr. H. Moch. Syamsul¬hadi, dr., Sp.KJ(K). dan para anggota Senat UNS saya sampai¬kan terima kasih atas persetujuan dan kesediaan Saudara yang telah menyetujui pengangkatan saya sebagai Guru Besar dan mene¬rima saya di lingkungan Senat UNS.
Terima kasih saya sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. R. Moeljono Notosoedirdjo, dr., Sp.S., Sp.KJ., MPH. atas kesediaannya menjadi promotor ketika saya mengikuti program pendidikan Pascasarjana S3 di Universitas Airlangga hingga mempermudah terlaksananya pencapaian gelar Guru Besar ini.

Demikian pula ucapan terima kasih saya sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr. MS. atas kesediaannya memberikan dorongan serta menumpahkan semua ilmunya dengan ikhlas dan dedikasinya yang tinggi. Semoga teladan yang beliau tampilkan ini dapat saya contoh, hingga warisan ilmu yang beliau berikan dapat terus ber¬kembang.
Seluruh staf Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD dr. Moewardi Surakarta baik staf edukatif maupun staf administratif atas dorongan serta bantuan dan kerjasamanya. Khusus kepada dr. Djoko Suwito, Sp.KJ, motivasi yang Saudara sampaikan kepada saya sungguh memiliki makna yang besar hingga saya mampu bertahan dan mencapai tahap seperti yang saya peroleh saat ini. Demikian pula saya sampaikan ucapan terima kasih kepada almarhum dr Ibnu Madjah, Sp.KJ yang telah memberikan kelonggaran waktu kepada saya untuk menyelesaikan tugas-tugas ekstra.
Kedua almarhum orang tua dan mertua saya yang senantiasa menekankan pentingnya pendidikan agar kelak dapat menjadi orang yang berbudi luhur, berguna bagi nusa, bangsa, negara, dan agama. Berkat doa merekalah saya Insya Allah nantinya saya menjadi seseorang yang sebagaimana mereka dambakan. Semoga arwah mereka mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Amien.
Istri saya tercinta, Endang Trihayutiningsih, yang telah mendampingi saya selama 26 tahun baik dalam suasana suka maupun duka dan dalam tahun-tahun terakhir ini senantiasa setia dan ikhlas tanpa menghiraukan kepentingan sendiri untuk mendorong dan membantu saya dalam menyelesaikan pendi¬dikan sehingga beban yang berat terasa lebih ringan. Semoga kebahagian yang kita peroleh bersama ini dapat mendorong kesuksesan keluarga dan kemabruran hajimu

Kepada anak-anakku Budi Hendro Priyono, Selly Astriana, Rosida Noor Rahmawati, Rozaq Noor Hakim, dan Firman Ridlo Mursyidi atas doa dan dukunganmu. Kehadiran kalian telah menghibur hari-hari saya hingga beban berat yang saya pikul serasa lebih ringan dan akhirnya saya mampu meraih gelar tertinggi dalam bidang pendidikan. Harapan saya, apa yang telah bapak usahakan ini dijadikan teladan bagi anak-anakku semua bahkan sedapat mungkin setingkat lebih tinggi dari segi kualitas.
Semua pihak dan handai taulan serta teman-teman sejawat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah ikut membantu saya dalam mempersiapkan pengukuhan ini. Pada kesempatan ini, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abernethy AD. 2000. “Psychoneuroimmunilogy, Spirituality and Medicine” Spirituality & Medicine Connection 4(1): 11-12 *
Akbar ZO, Fanani M. 2006. Keefektifan Jenis Konseling Keagamaan terhadap Penurunan Intensitas Depresi pada Pasien Pra dan Pasca Operasi Hipertrofi Prostat.”Konferensi Nasional I Kesehatan Jiwa Islami” Surakarta 1-2 Juli 2006*
Albar BS. 1992.“Qurano Therapy” Disampaikan di Kongres Nasional II IDAJI. Yogyakarta, Juli 8-11 1992*
Ali OM., Milstein G., Marzuk PM. 2005. ”The Imam Role’s in Meeting the Counceling Needs of Moslim Nommunities in the United States”. Psychiatir Services 56 (2): 202-5*
Ambarwati WN, Indro Nugroho IGB, Fanani M. 2006. Keefektifan Ruqyah sebagai Terapi Tambahan Pasien Gangguan Jiwa. “Konferensi Nasional I Kesehatan Jiwa Islami” 1-2 Juli 2006 di Surakarta
Borg J., Andree B., Soderstrom H., Farde L. 2003. ”The Serotonin System and Spiritual Experiences” Am J Psychiatry 160 (11): 1965-9
Colp R. 2001. History of Psychiatry. Dalam “Kaplan & Sadock Comprehensive Textbook of Psichiatry” 7th ed*
Corey, Gerald. 1997. “Teori dan Praktik Konseling & Psiko¬terapi” Terjemahan E Koeswara. Penerbit Refika Aditama, Bandung.*
Culliford L. 2002. Spiritual Care and Psychiatric Treatment: an Introduction. Dalam Culliford L, Brazier & Sajid “Advances in Psychuatric Treatment pp 249-61*
Dervic K., Oquendo MA., Grunebaum MF., Ellis S., Burke AK., Mann JJ. 2004. “Religious Affiliation and Suicide Attempt“ Am J Psychiatry 161(12): 2303-8*
Emoto, Masaru. 2006. “The True Power of Water” MQ Publishing. Bandung.*
Fanani, Mohammad. 2006. “Tinjauan Medik Terapi Ruqyah” Disampaikan dalam: Konferensi Nasional I Kesehatan Jiwa Islami” Surakarta 1-2 Juli 2006
———-, 2006. “Peran Dzikir dalam Mengantisipasi Stres” Buletin Sinar Mentari VI(4):1-4*
———-, 2006. ”Pengaruh Puasa Terhadap Kesehatan Jiwa” Disampai¬kan dalam:”Kajian Ilmiah Yayasan Dana Sosial Umat Islam Surakarta. 3 September 2006
Fathoni M. 2006. Role of Ibadah Value on Cardiovascular Disease. Disampaikan pada “Konferensi Nasional I Kesehatan Jiwa Islami” Tgl 1-2 Juli 2006 di Surakarta*
Hawari D. 2002. “Dimensi Religi dalam praktik Psikiatri dan Psikologi” Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jalaluddin, Fanani M. 2006. Keefektifan Jenis Konnseling Keagaman terhadap penurunan intensitas Kecemasan pada pasien pra dan pasca operasi Hipertrofi Prostat. “Konferensi Nasional I Kesehatan Jiwa Islami” Surakarta 1-2 Juli 2006*
Kendler KS., Liu XQ., Gardner CO., McCulloigh ME., Larson D., Prescott CA. 2003. “Dimension of Religiousity and Their Relationship to Lifetime Psychiatric and Substance Use Disorders” Am J Psychiatry 160(3): 496-503*
Lubis D.B., 2002. ”Iman dan Ilusi” Kuliah Bulan Ramadhan di Bag Psikiatri FK UI.*
Larson DB., Larson SS., Koenig HG. 2000. “Religious Commit¬ment and Serious Illness” Psychiatric Times XVII(6):5-6*
Maramis WF. 1983. “Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa” Airlangga University Press. Surabaya*

Mohr S., Brandt P-Y, Borras L, Gilieron C, Huguelet P. 2006. ”Toward an Integration of Spirituality ane Religiousness Into the Psychosocial Dimension of Schizophrenia” Am J Psychiatry 163 (11):1952-9*.
Sholeh M. 2000. Pengaruh salat tahajjud terhadap peningkatan perubahan respon ketahanan tubuh imunologik . Disampaikan dalam ”Komferensi Nasional I Patobiologi” pada tanggal 10-13 Nopember di Surabaya.*
Van Ness PH., Larson DB. 2002. Religion, Senescnce, and Mental Health The End of Life Is Not the End of Hope” Am J Geriatry 10(4) 386-97*

2 Comments

  • Mega Setiani
    Posted 26 May 2018 2:46 am 0Likes

    terima kasih ata informasinya

  • Guharto
    Posted 25 May 2016 11:19 pm 0Likes

    jika seluruh manusia menerapkan apa yang diajarkan aga, niscaya jarang yang akan kena penyakit.
    Kesehatan no 1
    Salam
    Guharto

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.