Skip to content Skip to footer

GEMAR MEMBACA: TANGGUNGJAWAB SIAPAKAH?

Oleh: Tri Hardiningtyas

PENGANTAR
Seseorang  dengan kacamata minus akan diasumsikan sebagai sosok gemar membaca, kutu buku. Padahal, tidaklah demikian yang terjadi.  Seseorang yang berkutat dengan kumpulan buku-buku  belum tentu sebagai seorang kutu buku. Ada kemungkinan orang tersebut mempunyai kegemaran mengumpulkan buku, atau orang tersebut hanya sebagai penggemar gambar tertentu yang terdapat dalam tumpukan bukunya untuk dikoleksi.  Akan tetapi,  kita tidak bisa mungkir jika melihat seseorang membawa buku secara spontan kita berpikir bahwa buku tersebut sedang dibaca. Sependapatkah anda? Buku atau apapun koleksi karya cetak yang bisa dibaca merupakan gudang informasi, ilmu pengetahuan. Apapun yang didapat melalui bacaan (sesudah membaca)  membuka mata hati kita mengenal dunia. Dunia apa saja yang bisa diperoleh lewat sumber bacaan tadi.

Perkembangan teknologi informasi, tidak akan menggilas kebiasaan seseorang untuk membaca sumber bahan cetak. Hal ini dikarenakan, membaca dengan karya cetak (buku/majalah/koran, dan sebagainya) lebih nikmat  tanpa beban, dibandingkan dengan membaca informasi melalui media elektronik (informasi via internet). Selain itu, disebabkan pula pemerataan kesempatan agar bisa membaca untuk mendapat informasi belum menyeluruh. Dalam dunia belajar mengajar atau pendidikan dan pengajaran belum dibiasakan membaca sebagai kewajiban. Para pendidik/guru pun belum sepenuhny menerapkan kebiasaan membaca, baik di rumah atau lingkungan sekolah. Padahal, dengan membaca seseorang mendapat  informasi yang dibutuhkan sebagai bekal ilmu menjalani tantangan hidup.

Kegiatan membaca berkaitan dengan ketersediaan sarana bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan jenis informasinya (kelompok usia). Oleh karena itu, siapapun yang ingin berperan sebagai perantara penyampai ilmu pengetahuan (transfer informasi) haruslah mengajak serta mendorong seseorang agar melek huruf  (membaca) terlebih dahulu. Perlu kiranya kita ketahui, bahwa urusan melek huruf  bukanlah urusan guru/pendidik semata, akan tetapi harus menjadi urusan kita bersama. Dengan demikian, cita-cita menjadi bangsa yang cerdas sudah selayaknya menjadi cita-cita setiap warga negara. Prestasi setiap warga negara bertumpu pada kemajuan bangsa.  Jadi, siapakah yang bertanggungjawab jika masih ada saudara kita yang belum melek huruf, sehingga belum bisa membaca? Bagaimana  menumbuhkan budaya gemar membaca, kalau belum melek huruf? Harus diakui bersama, bahwa budaya lisan masih mengental dalam diri kita. Inilah salah satu faktor penghambat tumbuhnya budaya gemar membaca. Akan tetapi kita harus memulainya, sebagaimana kata orang bijak  yakni lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali! Ada sedikit pengalaman yang bisa dibagi, bahwa minat baca bisa dimulai dari keluarga sendiri. Kedua anak kami, menurut pengamatan kami termasuk golongan gemar membaca. Akan tetapi, keduanya memulai dengan cara yang beda. Anak pertama menjadi gemar baca karena masa balita sering mendengar cerita pengantar tidur dari kami. Setelah bisa baca, ingin mengulangi cerita-cerita dengan membaca sendiri. Sementara, anak kedua gemar membaca bersamaan dengan meningkatnya kepintaran dalam membaca yang diajarkan di sekolah. Kebiasaan membaca ternyata tidak harus dimulai dengan melek huruf. Hal terpenting adalah kemauan untuk memulai.

MINAT BACA ATAU GEMAR MEMBACA?
Pengertian

Gemar artinya suka, senang sekali. Sementara  minat  yaitu  perhatian, kesukaan/kecenderungan hati akan sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Jadi gemar membaca dapat diartikan sebagai kesukaan akan membaca, ada kecenderungan hati ingin membaca. Menurut Suhaenah Suparno minat baca seseorang seharusnya diukur berdasarkan frekuensi dan jumlah bacaan yang dibaca selain buku pelajaran (dalam Abdul Rahman, 2005:122). Dengan demikian minat baca seseorang berimbas kepada jumlah koleksi yang pernah dibaca yang bersangkutan (bukan buku pelajaran/modul/buku paket sekolah). Adapun koleksi bacaan yang dikonsumsi bisa diperoleh dari mana pun juga. Hal ini berkaitan dengan peran toko buku, taman bacaan, atau perpustakaan. Bilamana minat baca sudah tumbuh, maka dibutuhkan fasilitas (buku/majalah/koran, dan sebainya) yang memadai. Suatu kenyataan jika, di ranah Indonesia ini masih sedikit yang memiliki koleksi bacaan sendiri. Sebagian besar koleksi diperoleh dengan meminjam atau membaca di sebuah kedai/toko buku atau perpustakaan. Bahkan bagi mereka yang mampu (dana berlebih) bisa mengakses melalui internet, pun memiliki perpustakaan sendiri. Dengan demikian, adanya minat baca sehingga gemar membaca belumlah merata. Kembali pada pertanyaan di atas, siapakah yang harus menumbuhkan budaya gemar membaca? Harapan kita tentunya, jika melek huruf sudah terjadi, seseorang akan berminat untuk membaca segala sesuatu, selanjutnya menjadi gemar membaca.

PERAN PERPUSTAKAAN DALAM BUDAYA GEMAR MEMBACA
Berdasarkan undang-undang nomor  43  tahun 2007 tentang perpustakaan bahwa budaya gemar membaca menjadi tanggungjawab keluarga, satuan pendidikan (sekolah), masyarakat, maupun pemerintah. Sebagaimana bunyi undang-undang tentang perpustakaan pasal 48 berikut ini.

  1. Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.
  2. Pembudayaan kegemaran membaca pada keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah melalui buku murah dan berkualitas.
  3. Pembudayaan kegemaran membaca pada satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengembangkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai  proses pembelajaran.
  4. Pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyediaan sarana perpustakaan di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu.

Jelas kiranya, bahwa gemar membaca menjadi tanggungjawab bersama seluruh warga negara dalam upaya mencerdaskan bangsa. Adapun fasilitas yang disediakan memang sangat tergantung pada bagian penyedia informasi, yang salah satunya yakni perpustakaan. Meskipun dalam pasal tersebut jelas dinyatakan bahwa budaya gemar membaca difasilitasi oleh pemerintah melalui buku murah dan berkualitas. Kenyataannya, buku yang murah pun tidak terbeli bagi masyarakat kebanyakan. Lalu ke mana para pemburu bacaan mencari “makanan”? Jawaban yang lebih pas yakni perpustakaan, taman bacaan, maupun tempat-tempat penyedia fasilitas secara gratis, tanpa bea yang pasti. Harus diakui, itulah gambaran budaya gemar membaca di tanah air kita. Pemerataan kesempatan mendapat pendidikan agar dapat membaca maupun kursus-kursus kejar paket tertentu dalam rangka pemberantasan buta aksara belumlah optimal. Oleh karena itu, mari kita berlomba untuk memberikan fasilitas pembudayaan gemar membaca. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal tersebut di atas, kita mulai dari keluarga kita, mulai dari diri sendiri (mengutip pendapat AA Gym).
Melalui pasal 51 dari undang-undang yang sama dinyatakan bahwa pembudayaan gemar membaca dilakukan melalui gerakan nasional gemar membaca, dan dilaksanakan oleh pemerintah yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi perpustakaan pun wajib berperan aktif dengan menyediakan karya tulis, karya cetak, dan karya rekam. Ternyata, perpustakaan tetap menjadi tumpuan harapan dalam pelaksanaan budaya gemar membaca. Anehnya, sampai saat ini masih banyak yang enggan berhubungan dengan perpustakaan. Tidak perlulah menutup mata bahwa belum setiap satuan pendidikan (sekolah) mempunyai/menyelenggarakan perpustakaan sesuai yang dinyatakan dalam undang-undang tentang perpustakaan. Oleh karena itu, ayolah para petugas di dalam jajaran satuan pendidikan (sekolah) untuk melaksanakan kewajiban, demi mencerdaskan bangsa. Tentu saja peran keluarga dan masyarakat juga diaktifkan. Bagaimanapun satuan pendidikan (sekolah) kita masih banyak yang belum sepenuhnya mempunyai fasilitas yang memadai. Bahkan tidak sedikit gedung untuk tempat belajar runtuh, tidak layak pakai, rapuh karena mudah hancur karena hujan atau angin, sehingga menimbulkan korban pula.

PENUTUP
Mari kita saling bergandeng tangan merapatkan barisan menggiring pertumbuhan budaya gemar membaca. Alangkah baik jika dimulai dari diri sendiri, dari keluarga, menuju keluarga yang makin besar, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, hingga propinsi, akhirnya seluruh bangsa gemar membaca. Memulai suatu kebaikan memang sulit, tapi harus dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Abdul Rahman Saleh. “Peningkatan Budaya Gemar Membaca” dalam PERKEMBANGAN PERPUSTAKAAN DI INDONESIA. BOGOR: IPB PRESS, 2005.

*) diterbitkan majalah : Pewara Dinamika, Vol. 10, No. 16 Feb 2009

2 Comments

  • Ajun praetosojoeng kreup
    Posted 1 June 2023 3:08 pm 0Likes

    Trims infonya tapi lumayan panjang

  • Mega Setiani
    Posted 23 May 2018 11:05 am 2Likes

    terima kasih informasinya

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.