Skip to content Skip to footer

KONSELING PERKAWINAN, HUBUNGAN SUAMI-ISTERI, DAN KESEHATAN SEKSUAL, SERTA IMPLIKASINYA

Oleh:
Prof. Dr. H. Soeharto, M.Pd

Yang saya hormati,
Bapak Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat, dan para Anggota Senat Universitas Sebelas Maret,
Para Pejabat Sipil dan Militer,
Para Dekan dan Pembantu Dekan di lingkungan Universitas Sebelas Maret,
Para Ketua dan Sekretaris Lembaga, para Kepala Biro dan para   Kepala UPT, serta seluruh pejabat di lingkungan Universitas Sebelas Maret,
Para Ketua Jurusan, Ketua Laboratorium, dan Staf Pengajar Universitas Sebelas Maret utamanya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Para Sejawat dosen dan Staf Administrasi, Tamu Undangan, dan Mahasiswa.

Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua;
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur Alham¬dulillah ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia dan kenikmatan berupa sehat kepada kita semua sehingga pada pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama di tempat ini; dan saya dapat berdiri di mimbar yang terhormat ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendi¬dikan, Universitas Sebelas Maret.

PENDAHULUAN

Hadirin yang saya hormati;
Dari fakta yang kita amati langsung di masyarakat maupun dari yang kita ketahui dari media masa, kita dapat mengatakan bahwa begitu banyak masalah yang muncul ke permukaan ber¬kaitan dengan kehidupan keluarga sebagai akibat dari perkawinan. Masalah-masalah dalam keluarga khususnya yang menyangkut hubungan suami-isteri, demikian merebak dan susul-menyusul seolah tak ada akhirnya. Masalah-masalah tersebut selayaknya diatasi sesegera mungkin, dan kalau tidak segera diatasi atau tertunda pengatasannya, tidak saja mengakibatkan terganggunya komunikasi mereka; namun juga dapat berakibat lebih jauh berupa terganggunya kualitas perilaku seksual mereka dan tidak menutup kemungkinan menjadi betul-betul tidak sehat perilaku seksualnya.
Kehidupan keluarga yang harmonis, utamanya hubungan suami-isteri yang harmonis tentu saja menjadi harapan atau ke¬inginan siapapun yang akan dan telah melakukan perkawinan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua yang telah melakukan perkawinan atau pernikahan selalu diikuti suatu keharmonisan dalam hubungan mereka, dan bahkan tidak sedikit yang akhirnya mengalami kegagalan dalam perkawinannya. Setelah dikaji, sumber penyebab ketidak harmonisan hubungan mereka bermacam-macam dan berbeda-beda; ada yang karena belum atau tidak memahami karakteristik pasangannya, ada yang karena tidak tahu bagaimana seharusnya berkomunikasi yang tepat dengan pasangannya, ada yang karena salah satu tidak mencintai pasangannya sepenuh hati, ada yang karena mencintai pasangannya namun tidak bisa mewujudkan cintanya, dan lain sebagainya.  Komunikasi yang tidak harmonis dapat berakibat perilaku seksual dirinya tidak sehat, demikian pula pasangannya; dan sebaliknya karena perilaku seksualnya tidak sehat dapat mengakibatkan rusak¬nya hubungan harmonis mereka sebagai suami-isteri. Demikianlah   kejadian itu berjalan bagaikan lingkaran setan, namun kajian kali ini lebih ditekankan pada dampak ketidak harmonisan hubungan suami-isteri terhadap perilaku seksualnya, dan bukan sebaliknya dampak ketidak-sehatan perilaku seksual terhadap keharmonisan hubungan dengan pasangannya.
Banyak cara atau upaya yang dapat dilakukan agar terhindar atau teratasi keadaan yang mengerikan itu. Konseling perkawinan merupakan salah satu alternatif cara atau upaya yang dapat dilaku¬kan agar tercipta hubungan yang harmonis pada pasangan suami-isteri, yang pada gilirannya perilaku seksual yang sehat dapat terwujud dan ternikmati atas ridha Allah Yang Mahakuasa. Sehubungan dengan itu, pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar ini saya beri judul ”Konseling Perkawinan, Hubungan Suami-Isteri, dan Kesehatan Seksual, serta Implikasinya”.
Kajian ini, dimaksudkan untuk dapat lebih memahami penting¬nya tiga hal (variabel) ini dalam kehidupan kita, dan selanjutnya diharapkan dapat memberi manfaat kepada kita calon suami dan calon isteri, serta pasangan suami-isteri yang mem¬butuhkannya. Kajian ini dan mungkin contoh-contoh kasus yang saya kemukakan ada kesamaannya dengan yang hadirin alami, percayalah bahwa itu semua hanya kebetulan saja; karena saya tidak tahu sama sekali apa dan bagaimana yang terjadi pada diri para hadirin sekalian di ruangan ini.

KESEHATAN SEKSUAL

Hadirin yang saya hormati,
Kesehatan seksual menunjuk kepada suatu rentang kondisi perilaku seksual dari yang tidak sehat sampai pada yang sehat. Perilaku seksual yang sehat dapat disejajarkan dengan perilaku seksual yang normal, yang adekwat, dan yang tidak mengalami gangguan fungsi; dan sebaliknya perilaku seksual yang tidak sehat dapat disejajarkan dengan perilaku seksual yang tidak normal, tidak adekwat, dan mengalami gangguan fungsi (disfungsi seksual). Sesuai dengan topik pembicaraan kali ini, istilah-istilah tersebut diwakili oleh istilah perilaku seksual yang sehat untuk keadaan perilaku seksual yang positif, dan perilaku seksual yang tidak sehat untuk  perilaku  seksual  yang  negatif; meskipun demikian dalam penyampaiannya akan digunakan istilah-istilah tersebut bergantian.
Kondisi perilaku seksual seseorang dan pasanganya, baik yang sehat maupun yang tidak sehat mewarnai kualitas hidup yang bersangkutan dan pasangannya; artinya perilaku seksual yang sehat dapat membuat hidupnya berkualitas dan sebaliknya perilaku seksual yang tidak sehat dapat membuat hidupnya tidak ber¬kualitas. Hal ini sejalan dengan pandangan Wimpie Pangkahila (2006:13-14) yang menyatakan bahwa pada akhirnya disfungsi seksual dapat mengganggu kualitas hidup yang bersangkutan dan pasangannya. Pendapat ini menggambarkan betapa urgentnya kondisi perilaku seksual seseorang dalam kehidupannya. Kualitas hidup seseorang seolah tergantung pada kesehatan perilaku seksual¬nya. Namun, banyak yang tidak menyadari akan hal itu. Banyak orang tidak menyadari bahwa kehidupan seksual sangat mempengaruhi kualitas hidup. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencantumkan bahwa ”aktivitas seksual” sebagai salah satu aspek dalam menilai kualitas hidup manusia. Berarti kalau kehidupan seksual terganggu, maka kualitas hidup juga terganggu. Sebaliknya, kalau kehidupan seksual baik dan menyenangkan, maka kualitas hidup menjadi lebih baik (Wimpie Pangkahila, 2006:3). Sayangnya orang baru sadar setelah akibat darinya sudah terlalu jauh, sudah memporak porandakan kebahagiaan yang selama ini telah dicapai dan yang akan dicapainya.

Hadirin yang saya hormati,
Rono Sulistyo (1977:103-107) menggolongkan perilaku seksual manusia tidak memadai ke dalam tiga golongan, yakni:          (1) cara-cara yang tidak normal dalam pemuasan keinginan seks, seperti: sadisme, masochisme, exhibitionisme, scoptophilia, voyeurisme, dll; (2) partner seksual yang tidak normal, seperti: homoseksualitas, pedophilia, bestiality, necrophilia, frottage, dll;  (3) derajat ketidak normalan daripada keinginan dan kekuatan dorongan seksual, seperti: anorgasme, dyspareunia, vaginisme, frigidity, impotency, dll.
Wimpie Pangkahila (2006:3-5) mengemukakan jenis-jenis disfungsi seksual pada pria, yakni: (1) mengalami gangguan dorongan seksual atau gairah seksual, (2) mengalami gangguan ereksi, (3) mengalami gangguan ejakulasi, (4) mengalami disfungsi orgasme, (5) mengalami dyspereunia. Sedangkan jenis-jenis dis¬fungsi seksual pada wanita, yakni: (1) mengalami gangguan   dorongan seksual atau gairah seksual, (2) mengalami gangguan bangkitan seksual, (3) mengalami gangguan orgasme, (4) menga¬lami gangguan yang menimbulkan rasa sakit pada kelamin dan sekitarnya, dan kekejangan abnormal otot vagina 1/3 bagian luar.
Itulah jenis-jenis perilaku seksual yang tidak memadai atau yang mengalami gangguan yang sengaja dikemukakan secara garis  besar, sebagai gambaran tentang perilaku seksual yang tidak sehat; yang perlu mendapatkan perhatian dan yang sedang dikaji dari sudut pandang konseling perkawinan saat ini.

Hadirin yang saya hormati,
Perilaku seksual tidak sehat pada seseorang, dapat disebab¬kan oleh banyak faktor, namun dapat dikelompokkan ke dalam dua faktor besar yakni: faktor fisik dan psikis. Dalam hal ini, Wimpie Pangkahila (2006:7-9) mengemukakan bahwa pada dasarnya dis¬fungsi seksual, baik pada pria maupun wanita, dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Faktor fisik ialah semua penyebab yang berupa gangguan fisik atau penyakit yang berpengaruh terhadap fungsi seksual. Sedang faktor psikis, ialah semua penyebab yang secara kejiwaan dapat mengganggu reaksi seksual terhadap pasangannya sehingga fungsi seksual terganggu.
Tanpa mengurangi perhatian saya terhadap faktor fisik, saya akan lebih fokus kepada faktor psikis yang dapat mempengaruhi fungsi seksual seseorang, karena faktor psikis penyebab sehat tidak¬nya perilaku seksual inilah yang merupakan bidang kajian konseling perkawinan. Dalam hal faktor psikis yang dapat meng¬akibatkan disfungsi seksual, lebih lanjut Wimpie Pangkahila (2006:8) menyatakan bahwa faktor psikis yang dapat meng¬akibatkan disfungsi seksual meliputi semua faktor dalam semua periode kehidupan, yaitu periode anak-anak, remaja, dan dewasa. Faktor psikis tersebut dikelompokkan menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, dan faktor pembinaan. Faktor predisposisi, misal¬nya pandangan yang negatif tentang seks, trauma seksual, pendi¬dikan seks kurang, hubungan keluarga terganggu, masalah gaya hidup, dan tipe kepribadian. Faktor presipitasi, misalnya akibat  psikis karena penyakit atau gangguan fisik, proses penuaan, ketidak setiaan terhadap pasangan, harapan yang berlebihan, depresi dan kecemasan, dan kehilangan pasangan atau yang disebut widower’s syndrome.
Faktor pembinaan misalnya karena pengalaman sebelumnya, hilangnya daya tarik pasangan, komunikasi tidak baik, takut yang berkaitan dengan keintiman, dan informasi seks yang kurang.

Hadirin yang saya hormati,
Seksualitas manusia mengalami perkembangan. Fundasi perkembangan seks dan seluruh kepribadian manusia telah di¬tentukan pada umur lima tahun pertama.
Perkembangan kepribadian manusia sebagian besar ditentu¬kan oleh perkembangan seksualitasnya (Sigmund Freud, dalam Sikun Pribadi (1981:184). Pendapat tersebut memberi gambaran kepada kita bahwa begitu eratnya hubungan antara seks dan kepribadian. Dalam hubungan ini, Masters & Johnson, dalam Sikun Pribadi (1981:184) menyatakan bahwa ”seksualitas adalah dimensi (aspek) dan pernyataan daripada kepribadian” (sexuality is a dimension and expression of personality). Pendapat ini dapat dimaknai bahwa kesehatan perilaku seksual seseorang diwarnai   oleh  kesehatan kepribadiannya. Dengan kata lain, sehat tidaknya perilaku seksual seseorang tergantung pada sehat tidaknya kepri¬badian seseorang tersebut. Pertanyaan yang sering muncul dan ditunggu-tunggu jawabannya adalah apakah perilaku seksual yang tidak sehat tersebut dapat diatasi apa tidak? Jawabnya adalah dapat. Perilaku seksual yang tidak sehat dapat diatasi. Bagaimana caranya? Dalam hal cara mengatasi, Wimpie Pangkahila (2006:14-15) menyatakan bahwa pada dasarnya cara mengatasi disfungsi seksual, baik pada pria maupun wanita, terdiri dari: (1) konseling seksual, (2) sex therapy, (3) penggunaan obat, dan (4) penggunaan alat bantu. Dengan demikian, konseling khususnya konseling seksual sebagai salah satu alternatif cara dapat ditempuh guna membantu klien-klien yang sedang ”menderita” karena tidak sehat perilaku seksualnya.

Hubungan Suami-Isteri

Hadirin yang saya hormati,
Hubungan suami-isteri yang harmonis merupakan dambaan setiap pasangan. Burgess dan Locke (1960:294-306) mengemuka¬kan bahwa keharmonisan hubungan suami-isteri meliputi kompo¬nen-komponen: (1) saling mencintai, (2) adanya saling keter¬gantungan emosional, (3) adanya pemahaman yang simpatik,             (4) adanya kesesuaian temperamental (saling melengkapi dan salaing menutup kekurangan yang ada), dan (5) adanya saling ketergantungan peranan, perilaku seksual, dan keluarga ekstra.
Sebagai suami, selayaknya memerankan diri sebagai ”sex partner” yang setia bagi isterinya, yang membatasi dirinya dalam memuaskan nafsu birahinya, sehingga suami yang bijaksana mengerti apa artinya cinta itu, yaitu bukan saja minta dicintai melainkan juga mampu mencintai yang sangat dibutuhkan sang isteri. Demikian pula sebaliknya, isteri pun selayaknya juga memerankan diri sebagai ”sex partner” bagi suaminya atas dasar cinta. Jadi, jelas bahwa suami dan isteri selayaknya saling men¬cintai, sesuai dengan rumus cinta yakni ”memberi dan menerima” (give and receive), dan bukannya ”memberi dan meminta” (give and take). Suami harus ”memberi” kepada isterinya, tetapi juga ”menerima” dari isterinya tanpa memintanya. Demikian pula isteri harus ”memberi ” kepada suaminya, tetapi juga ”menerima” dari suaminya tanpa memintanya.
Demi kelanggengan hidup bersama, setiap pasangan suami-isteri memerlukan bangunan kaidah dan ketentuan yang khas. Artinya, kehidupan suami-isteri hanya mungkin tegak dan ber¬langsung dalam suasana tenteram dan damai bila dilandasi perasaan cinta dan kasih sayang. Dengannya, pasangan suami-isteri akan mampu melewati jalan kehidupan dan memperoleh kesempurnaan yang didamba. Kehidupan bersama yang kosong dari pengaruh cinta, pengorbanan, dan toleransi, akan menjadi tidak berarti. Kehidupan tanpa cinta dan saling menghargai merupakan kehidupan yang hina dan tidak bernilai, bahkan kita tidak dapat menyebutnya sebagai kehidupan (Ali Qaimi, terjemahan: Abu Hamida MZ, 2007:20).
Salah satu motif seorang wanita berani menerjunkan diri dalam kehidupan berumah tangga ialah karena cinta, yaitu ingin memberikan cinta tetapi juga ingin menerima cinta. Cinta adalah simbol psikologis bagi setiap wanita, sebab bila faktor ini tidak ada maka suasana rumah tangga akan dingin tanpa kehangatan dan  kegembiraan. Hal ini penting juga bagi perkembangan anak-anak yang dilahirkan dalam kehidupan berkeluarga. Tanpa suasana hangat yang penuh dengan cinta, anak-anak tidak akan dapat mengem¬bangkan inteligensinya, dan tidak akan dapat mengem¬bang¬kan rasa simpatinya terhadap sesama manusia sebagai makhluk sosial. Ketidak mampuan anak dalam pergaulan sosial (sikap mengundurkan diri, sifat pemalu, konflik dengan anak-anak lain) justru karena kekurangan suasana hangat dan lembut dari sang ibu yang penuh kasih sayang (Sikun Pribadi, 1981: 42).
Kasih sayang dari ibu kepada anak sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak di masa-masa selanjutnya. Artinya, kalau pada masa kecil utamanya pada masa balita anak cukup mendapatkan kasih sayang dari orang tua utamanya ibu, dapat diyakini bahwa anak tersebut kelak akan tumbuh dan ber¬kembang dengan baik dan positif; sebaliknya kalau kekurangan kasih sayang tidak mustahil anak tersebut kelak akan mengalami  kesulitan dalam menyayangi atau mencintai orang lain termasuk mencintai suami atau isterinya. Mereka mengaku sangat menya¬yangi atau mencintai suami atau isterinya, tetapi tidak bisa mewujudkan rasa sayang dan cintanya itu dalam perilaku nyata; sehingga tidak mustahil dapat berakibat mengalami kegagalan dalam perkawinannya. Kemungkinan kegagalan itu dapat diatasi dengan jalan mengubah atau meningkatkan kualitas kemampuan¬nya dalam menyayangi atau mencintai pasangannya itu dalam   tindakan nyata. Dengan demikian, disertai faktor-faktor pendukung lainnya tujuan perkawinan dapat tercapai tanpa banyak perma¬salahan yang menghadangnya, misalnya: sering terjadi perteng¬karan, pasangan melakukan perselingkuhan, dan lain sebagainya.

Hadirin yang saya hormati,
Perkawinan tidak akan terelakkan dari konflik-konflik. Tidak mungkin dua orang yang hidup bersama dari tahun ke tahun tanpa pertengkaran, kecuali kalau salah satu dari pasangan memutuskan bahwa adalah paling baik untuk tidak melakukan konfrontasi (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:35). Di antara berbagai persoalan yang memicu terjadinya pertengkaran suami-isteri khususnya pasangan muda, tetapi juga dapat terjadi pada pasangan yang sudah berusia lanjut; adalah perbedaan pendapat dan pandangan tentang kehidupan. Biasanya, jejaka dan gadis yang memasuki gerbang per¬nikahan, pada waktu yang bersamaan memiliki pendapat, impian, dan harapan yang berbeda-beda; dan biasanya khayalan dan harapan masing-masing menghalangi keduanya untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Akhirnya, tanpa disertai pengetahuan dan kemampuan masing-masing tersebut; keduanya mulai membina kehidupan bersama.
Bagaimana perjalanan selanjutnya? Setelah melewati masa dua atau tiga tahun kehidupan yang serba tenang, dimulailah fase perhitungan, penilaian, dan evaluasi terhadap segala hal. Ketika itu, sinar mentari menyeruakkan kabut-kabut khayalan dan fantasi mereka yang selama ini menggumpal dan menumpuk sedemikian rupa. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, masing-masing pihak berusaha saling membiarkan dan mendiamkan satu sama lain. Segeralah sikap buruk dan kedengkian yang selama ini terpendam mencuat ke permukaan. Sejak itu dimulailah babak pertengkaran dan pertentangan di antara keduanya (Ali Qaimi, terjemahan: Abu Hamida MZ, 2007:17). Berarti hubungan mereka sudah tidak harmonis lagi, meski wujud ketidak harmonisan tidak hanya ditandai adanya pertengkaran.
Kaitannya dengan pertengkaran ini, sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa seringkali pertengkaran itu dipicu oleh hal-hal yang kecil saja. Namun, pada tahap berikutnya pertengkaran tersebut cepat meluas hingga mengancam bangunan keluarga; dimulai dari kata-kata menyakitkan yang berhamburan sedemikian rupa, kemudian dilanjutkan dengan pertengkaran yang adakalanya disertai tindak kekerasan fisik, dan berujung pada hasrat untuk bercerai dan berpisah. Pertengkaran itu sendiri, baik yang menyerta¬kan intensitas emosional ringan maupun berat, baik yang menyertakan tindak kekerasan fisik maupun yang tidak; akan menyita energi psikis mereka yang pada gilirannya akan ber¬pengaruh negatif secara nyata bagi kesehatan fisik dan mental mereka.
Penelitian di Amerika, hasilnya menunjukkan bahwa perteng¬karan seperti itu memberikan efek negatif, seperti: (1) adanya   peningkatan resiko psikopatologi, (2) meningkatnya kecelakaan mobil yang berakibat fatal, (3) meningkatnya kasus percobaan bunuh diri, (4) meningkatnya perlakuan kekerasan antar pasangan, (5) kehilangan daya tahan tubuh yang menyebabkan kerentanan  terhadap penyakit, (6) kematian karena penyakit yang diderita oleh ketegangan psikis (Bloom,et.al, 1978; dalam Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:2). Pertengkaran yang berlarut-larut apalagi disertai tindak kekerasan fisik, dapat juga berakibat masing-masing pihak menemukan dirinya berada dalam pusaran angin kencang yang menderu-deru dan menghempaskan keduanya ke dalam keterasingan dan kabut penyelewengan.
Tidak menutup kemungkinan pertengkaran akan berujung per¬ceraian. Perceraian mungkin saja tidak berdampak negatif secara berarti bagi pasangan yang bercerai, namun yang pasti anaklah yang menjadi korbannya. Penelitian di Amerika membuktikan bahwa orang dewasa yang pernah mengalami perceraian kedua orang tuanya pada masa anak-anak, merasa lebih rentan terhadap situasi stres dibanding dengan mereka yang tidak mengalami peristiwa perceraian pada kedua orang tuanya. Kecuali itu, mereka juga merasa tidak nyaman berada di antara keluarga dan teman-temannya, serta lebih menderita kecemasan yang amat sangat. Mereka juga mengalami kesulitan untuk mengatasi stres kehidupan yang mereka hadapi dalam kehidupan selanjutnya (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005: 2).
Pertengkaran, yang berarti pula ketidak harmonisan hubungan suami-isteri dan memberikan efek negatif sejauh itu, tentu saja ada penyebabnya. Di samping faktor perbedaan pendapat dan pandangan tentang kehidupan sebagaimana telah diutarakan, faktor-faktor penyebab pertengkaran adalah: (1) tidak adanya pengalaman hidup berumah tangga, (2) kedua belah pihak memiliki harapan-harapan yang terlampau muluk, (3) adanya prasangka buruk, (4) hasrat untuk berkuasa dan mendominasi, (5) tidak adanya ketegaran, (6) tidak adanya saling pengertian, (7) tujuan dan sebab-sebab material, (8) tutur kata yang buruk, (9) hilangnya kemesraan (Ali Qaimi, terjemahan: Abu Hamida MZ, 2007:39-40).
Tipe isteri dan tipe suami tertentu, juga potensial menjadi penyebab terjadinya pertengkaran atau ketidak harmonisan hubungan suami-isteri. Beberapa tipe isteri yang dapat mengancam keharmonisan hubungan suami-isteri, yaitu: (1) tipe xantipte: yang
terus menerus menjajah suami dan seluruh keluarga, (2) tipe erotis seksual: yang menuntut amat banyak dari suaminya, dan kalau tidak terpenuhi mencari pada lelaki lain, (3) tipe penjudi: yang menjudikan seluruh harta benda, dirinya, dan seluruh pernikahan¬nya. Sedangkan tipe suami yang mengancam keharmonisan hubung¬¬an suami-isteri, yaitu: (1) tipe brute: yang berlaku kasar terhadap isterinya, (2) tipe sadist: merasa senang jika mengganggu, meng¬hina, atau menyakiti isterinya secara jasmaniah atau rokhaniah,          (3) tipe hiperseksual: yang tidak puas dengan koitus berkali-kali dengan isterinya, dan masih memerlukan wanita-wanita lain untuk memberikan kepuasan seksualnya, (4) tipe suami yang hemat: yang selalu menegur isterinya untuk berhemat, (5) tipe pekerja berat: yang mementingkan kerja, sehingga tidak ada waktu berrekreasi bersama keluarga, dan (6) tipe eksplosif: yang lekas marah, tidak sabar dan menguasai (S.J. Warouw: 1964, dalam Sinolungan, 1979: 126-127).
Keharmonisan hubungan suami-isteri besar pengaruhnya ter¬hadap kesehatan perilaku seksual mereka. Hubungan keluarga yang terganggu, komunikasi suami-isteri yang tidak baik, dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan fungsi seksual mereka (Wimpie Pangkahila, 2008: 8).

KONSELING PERKAWINAN

Hadirin yang saya hormati,
Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami isteri berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku (Dadang Hawari, 2006: 58). Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam perkawinan terdapat ikatan lahir batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan tersebut pada keduanya. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang menampak, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan isteri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak secara langsung, tetapi merupakan ikatan psikologik. Antara suami dan isteri harus ada ikatan ini, harus saling mencintai satu sama lain, tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka berarti bahwa dalam perkawinan tersebut tidak ada ikatan batin (Bimo Walgito, 1984:10).
Pengertian perkawinan dapat disejajarkan dengan pengertian pernikahan. Dalam hal nikah, Sikun Pribadi (1981:33) menge¬muka¬kan bahwa ”nikah” ialah ikatan janji cinta antara dua jenis kelamin, yang bertemu dalam hatinya. Dalam pengertian cinta, ada dua unsur yaitu saling ”menyayangi” dan tarik-menarik karena ”birahi”. Di dalam gejala birahi terdapat unsur seks, yang selalu ada pada setiap manusia yang normal. Seks ialah energi psikis, yang mewujudkan diri dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk hubungan antar manusia sebagai pria dan wanita.
Atas dasar pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan atau pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita  sebagai suami-isteri atas dasar cinta dengan tujuan mem¬bentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal ber¬dasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hadirin yang saya hormati,
Tujuan perkawinan implisit di dalam rumusan tentang pengertian perkawinan sebagaimana diuraikan di muka. Lebih jelas¬nya, dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tersebut dikemukakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tujuan perkawinan tersebut meng¬isyarat¬kan bahwa tujuan kedua individu yang melakukan perka¬winan itu haruslah sama. Tidaklah termasuk ke dalam pengertian ini kalau tujuannya berbeda. Kalau sampai terdapat tujuan yang berbeda, tentu saja perlu mendapatkan perhatian yang serius,  karena tujuan yang tidak sama antara suami dan isteri akan merupakan sumber permasalahan dalam keluarga. Untuk mem¬bentuk keluarga yang bahagia perlu mempersatukan tujuan yang akan dicapai dalam perkawinan itu.
Di samping tujuan yang akan dicapai harus sama antara suami dan isteri, kebahagiaan dalam keluarga perlu dijadikan arah dan bila perlu dijadikan target yang harus dicapai; karena bahagia   merupakan ukuran hidup yang sebaik-baiknya, yaitu sebagai seni hidup, ukuran bagi kebaikan dalam arti etika humanistik (Erich Fromm, dalam Sikun Pribadi, 1981:163). Jadi, menurut Erich Fromm hidup bahagia itu adalah kriteria bagi kehidupan yang utama, bagi kehidupan yang etis. Itulah seni hidup yang paling sukar. Jika kondisi itu tercapai, dapat dikatakan bahwa hidup kita telah berhasil sebagai hidup yang produktif. Hidup yang produktif ialah hidup yang sangat besar manfaatnya, hidup yang banyak amalnya, yang tidak konsumtif sebagai parasit yang hidup dari usaha orang lain.
Tidak ada suatu perkawinan yang tidak mengalami cobaan, bagaikan peribahasa yang mengatakan dalam mengarungi bahtera rumah tangga itu tidak selamanya angin dari arah buritan, ter¬kadang badai menghadang. Di sinilah seni hidup, mereka yang berhasil melampuainya akan berakhir pada tujuan kebahagiaan rumah tangga (Dadang Hawari, 2006: ix).
Konflik atau masalah-masalah yang dialami oleh pasangan suami-isteri selayaknya diatasi dan bukan dihindari. Menghindari masalah tak ubahnya merusak diri (self-defeating). Konseling perkawinan merupakan salah satu pendekatan dalam mengatasi konflik atau masalah dalam perkawinan tersebut. Lalu apa kon¬seling perkawinan itu?

Hadirin yang saya hormati,
Konseling perkawinan yang memiliki istilah lain: couple counseling, marriage counseling, dan marital counseling, marupa¬kan konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode membantu partner-partner yang menikah untuk memecahkan masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik (Klemer,   dalam Latipun, 2008:221). Konseling perkawinan merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh konselor kepada individu atau sekelompok individu klien, yang dimungkinkan akan atau sedang mengalami sesuatu masalah yang berhubungan dengan hidup sebagai pasangan suami-isteri, yang bermuara pada teratasi¬nya masalah yang dihadapinya (Soeharto, 2007:5).
Konseling perkawinan bebeda dengan konseling pranikah dan konseling keluarga. Konseling pranikah (premarital counseling) merupakan konseling yang diselenggarakan kepada pihak-pihak yang belum menikah, sehubungan dengan rencana pernikahannya, seperti: dalam rangka membuat keputusan agar lebih mantap dan dapat melakukan penyesuaian di kemudian hari secara lebih baik  Sedangkan konseling keluarga (family counseling) secara umum dibatasi sebagai konseling yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga, seperti: hubungan peran di keluarga, masalah komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga, ketegangan orang tua-anak, dan lain-lain. Pemecahan masalah yang dialami oleh anggota keluarga perlu adanya keterlibatan anggota keluarga lainnya. Sementara konseling perkawinan lebih menekankan pada masalah-masalah pasangan suami-isteri(Latipun,2008:222-230).
Membedakan secara sangat ketat antara konseling perkawin¬an dan konseling keluarga adalah tidak gampang, dan oleh karenanya dalam kajian ini ada kemungkinan menyentuh wilayah konseling keluarga. Yang jelas, pemecahan masalah-masalah baik yang di¬alami oleh pasangan suami-isteri maupun yang dialami oleh anggota keluarga, adalah menggunakan pendekatan konseling. Pendekatan konseling bercirikan pemecahan masalah yang di¬tempuh melalui komunikasi dua arah (two way traffic) antara konselor dengan klien, dan bukan satu arah (one way traffic) seperti dalam kepenasihatan.

Hadirin yang saya hormati,
Konseling perkawinan diselenggarakan tidak dimaksudkan untuk mempertahankan suatu pasangan. Konselor perkawinan menyadari betul bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk menentu¬kan apakah suatu pasangan suami-isteri harus bercerai atau tidak. Tujuan konseling perkawinan adalah membantu klien-kliennya untuk mengaktualisasikan yang menjadi perhatian pribadi, apakah dengan jalan bercerai atau tidak (Brammer & Shostrom,1982:348-349); membantu klien membuat keputusannya sendiri bercerai atau tidak, dan konselor bertanggung jawab membantunya berfikir secara rasional, dan oleh karenanya klien dapat hidup dengan keputusan yang dibuatnya (Gibson and Mitchell, 1986:100).
Dalam konseling perkawinan, konselor membantu klien (pasangan) untuk melihat realitas yang dihadapi, dan membantu membuat keputusan yang tepat bagi keduanya. Keputusannya dapat berbentuk menyatu kembali, berpisah, cerai; dalam rangka mencari kehidupan yang lebih harmonis, dan menimbulkan rasa aman bagi keduanya. Huff dan Miller, mengemukakan bahwa tujuan jangka panjang daripada konseling perkawinan adalah: (1) meningkat¬kan kesadaran dirinya dan dapat saling empati di antara pasangan, (2) meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing, (3) meningkatkan sikap saling membuka diri,            (4) meningkatkan hubungan yang lebih intim, (5) mengembangkan ketrampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan mengelola konfliknya (Brammer and Shostrom, 1982:348-349).

Hadirin yang saya hormati,
Sesuai dengan pengertian dan tujuan konseling perkawinan tersebut, berikut ini konselor perkawinan menyampaikan pandangan¬nya dan pandangan-pandangan lain seputar bagaimana menciptakan hubungan suami-isteri atau keluarga yang harmonis, serta mengatasi masalah berkaitan dengan ketidak harmonisan hubungannya sebagai suami-isteri dan ketidak sehatan perilaku seksualnya secara garis besar.
Di bagian depan telah dijelaskan bahwa pada dasarnya suatu perkawinan tidak akan terelakkan dari konflik. Adalah wajar dalam suatu perkawinan terjadi pertengkaran antara suami dengan isteri. Di samping nilai negatifnya, pertengkaran suami-isteri terdapat juga nilai positifnya. Beberapa terapis perkawinan, menekankan bahwa memang dalam situasi yang tepat, pertengkaran dapat memproduksi kedekatan yang lebih di antara pasangan (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:100). Beberapa terapis perkawinan ter¬sebut menyarankan beberapa cara untuk mengatasi konflik secara adil dan produktif, sebagai berikut:

  1. Hendaknya pasangan mengungkapkan keluhan secara spesi¬fik dan meminta pasangannya untuk melakukan perubahan-perubahan perlakuan dan tingkah laku yang memang bisa diubah agar segala sesuatu menjadi lebih baik. Untuk itu, pasangan harus mengungkapkan keurutan isu-isu tertentu yang pasti pada waktu yang tepat.
  2. Pasangan hendaknya memahami diri masing-masing, dengan mencoba meminta dan memberikan umpan balik dari pasangan¬nya.
  3. Pasangan tidak dibenarkan untuk membuat keputusan tentang karakteristik spesifik tertentu pasangannya, misalnya: ”Kamu keras kepala”, ”Kamu pembohong”.  Pasangan juga tidak dibenarkan membuat keputusan seolah pasangannya  tidak mungkin untuk konsisten terhadap kesepakatan yang telah ditentukan oleh pasangan, apalagi dengan kata-kata yang mengandung unsur sarkastik.
  4. Pasangan hendaknya mengkomunikasikan hal-hal yang ter¬jadi, di sini dan pada saat ini, sehingga tidak akan terkom¬plikasi dengan muatan-muatan perilaku negatif dan ke¬susahan-kesusahan terdahulu yang telah terjadi pada masa lalu, atau bahkan menyertakan keluhan-keluhan yang tidak relevan dengan masalah aktual yang saat ini dan pada waktu ini terjadi.
  5. Pasangan hendaknya mempertimbangkan kemungkinan untuk selalu mencari jalan kompromi, karena tidak akan pernah menjadi pemenang tunggal dalam argumentasi yang jujur di antara pasangan perkawinan. Dalam hal ini, pasangan harus mengingat bahwa mereka adalah satu tim dan bukan dua kelompok yang berbeda dan terpisah.
  6. Pasangan harus trampil untuk berkomunikasi dengan penuh empati sehingga mampu memahami sudut pandang pasangan¬nya. Pasangan hendaknya memiliki optimisme bahwa akan selalu dapat dicapai satu jalan terbaik bagi penyelesaian konflik yang mereka hadapi.

Hadirin yang saya hormati,
Kita semua baik yang sudah menikah maupun yang baru akan menikah pasti menginginkan pernikahan/perkawinan kita mencapai hubungan perkawinan yang sehat dan bahagia. Untuk itu perlu   adanya pegangan atau kriteria yang jelas untuk perwujudannya. Adapun pegangan atau kriteria menuju hubungan perkawinan yang sehat dan bahagia, atau keluarga yang harmonis, adalah sebagai berikut:

  1. Kehidupan beragama dalam keluarga. Ciptakan kehidupan beragama dalam keluarga, sebab dalam agama terdapat nilai-nilai moral atau etika kehidupan. Landasan utama dalam kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama ialah kasih sayang. Cinta mencintai dan kasih mengasihi berarti silaturahmi tidak terputus, tetapi diperbaiki dan dikembang¬kan. Hasil penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keluarga yang tidak religius, yang komitmen agamanya lemah, dan keluarga yang tidak mem¬punyai komitmen agama sama sekali, mempunyai resiko empat kali untuk tidak berbahagia dalam keluarganya.
  2. Waktu bersama keluarga. Waktu untuk bersama keluarga itu harus ada. Menciptakan suasana kebersamaan dengan unsur  keluarga itu penting. Untuk memelihara perkawinan itu  sendiri, seorang suami harus menyempatkan waktu untuk isterinya. Berdua saja, tidak dengan anak-anak lagi pergi ke mana saja secara pribadi.
  3. Hubungan yang baik antar anggota keluarga. Harus dicipta¬kan hubungan yang baik antara anggota keluarga. Harus ada komunikasi yang baik (timbal balik), demokratis. Ayah dan ibu dituntut untuk menciptakan suasana yang komunikatif dan demokratis.
  4. Saling harga menghargai antar anggota keluarga. Seorang anak perlu menghargai sikap ayahnya, begitu juga ayah bisa menghargai prestasi anak atau sikap anak. Seorang isteri menghargai sikap suami dan sebaliknya suami menghargai sikap isteri.
  5. Hubungan yang erat dalam keluarga. Hubungan antara ayah, ibu, dan anak harus erat dan kuat. Jangan longgar dan   rapuh. Hubungannya harus menghasilkan keadaan dekat di mata dekat dihati. Setidaknya jauh di mata dekat di hati, dan bukannya dekat di mata jauh di hati atau jauh di mata jauh di hati.
  6. Keutuhan keluarga. Jika keluarga mengalami krisis karena sesuatu persoalan, maka prioritas utama adalah keutuhan keluarga. Keluarga harus kita pertahankan, baru apa masa¬lah¬nya atau apa krisisnya kita selesaikan. Jangan karena krisis, lalu ”kita pisah, kita cerai saja”. Apapun alasan  per¬ceraian, yang menjadi korban adalah anak-anaknya. Mungkin si isteri atau suami bahagia, tetapi anak-anaknya   akan menderita (Dadang Hawari, 2006:17-25).

Kaitannya dengan pembinaan rumah tangga yang harmonis, Rasullullah Muhammad SAW memberi nasihat kepada pasangan yang hendak menikah dengan mengemukakan 3 hal menjadi suami yang baik dan 3 hal menjadi isteri yang baik. Suami yang baik, adalah suami yang: (1) setia pada isterinya, (2) bertanggung jawab terhadap isteri dan keluarganya (anak-anaknya), (3) tidak kasar terhadap isterinya. Sedangkan isteri yang baik, adalah isteri yang: (1) loyal pada suaminya, (2) hormat (respect) kepada suaminya,  (3) melayani dan merawat suaminya dengan baik, lemah lembut, dan penuh kasih sayang. Konselor perkawinan sering menambah¬kan bahwa isteri yang baik itu adalah isteri yang anggun di depan umum, hemat di dapur, dan hangat di tempat tidur (Dadang Hawari, 2006:9-12).

Hadirin yang saya hormati,
Perkawinan yang bahagia tidak cukup hanya didukung dengan cinta dan pemenuhan kebutuhan biologis saja, meskipun cinta diperlukan dan bahkan menjadi syarat dalam suatu per¬kawinan. Bekal cinta dan pemenuhan kebutuhan biologis saja tidak cukup, karena pada hakekatnya kebahagiaan suatu perkawinan terletak pada sampai seberapa jauh kemampuan masing-masing pasangan untuk saling berintegrasi dari dua kepribadian yang berbeda. Cinta dan kepuasan biologik mungkin menyenangkan pada awal perkawinan, tetapi tidak akan berlangsung lama; karena  masing-masing pasangan tidak mampu untuk saling berintegrasi dan beradaptasi menjaga hubungan silaturahmi (Dadang Hawari, 2006: 27-28).
Dalam penelitiannya terhadap pasangan-pasangan perkawinan yang bertahan (tidak bercerai), Grunebaum, H.U (1990) menemu¬kan 5 faktor yang mengikat suami-isteri sehingga mereka mem¬pertahankan perkawinannya, yaitu: (1) saling memberi dan mene¬rima kasih sayang, (2) suami-isteri merupakan kemitraan persaha¬batan (bukan rival atau pesaing satu dengan lainnya), (3) saling memuaskan dalam pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) dan  bertindak serta berperilaku sesuai dengan etika moral agama, (4) masing-masing pihak mempunyai komitmen dalam pengambilan keputusan (keputusan bersama), (5) saling menjaga dan memelihara   hubungan sosial dengan anak-anak dan keluarga kedua belah pihak. Kelima ikatan tersebut merupakan pilar bagi keharmonisan rumah tangga, sehingga terjadinya perselingkuhan amat kecil karena masing-masing saling menjaga terhadap intervensi pihak ketiga (Dadang Hawari, 2006: 43-44).
Perselingkuhan dapat berakibat perceraian, namun perceraian dapat dihindari manakala masing-masing memiliki komitmen untuk memperhatikan faktor-faktor penting yang terkait dengan itu. Faktor-faktor yang menentukan perkawinan pasca perselingkuhan dapat dipertahankan, adalah:

  1. Kesadaran dan pengakuan bahwa perselingkuhan itu adalah  perbuatan yang melanggar norma-norma hukum perkawin¬an, moral etik agama. Atau dengan kata lain, suami atau isteri yang berselingkuh itu menyadari kesalahannya.
  2. Adanya penyesalan, rasa bersalah dan berdosa terhadap perselingkuhan yang telah dilakukannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
  3. Adanya kesediaan dari suami atau isteri untuk melepaskan pasangan selingkuhnya.
  4. Adanya motivasi dari pasangan suami-isteri untuk berniat   mempertahankan perkawinan. Motivasi ini harus datang dari kedua belah pihak.

Sehubungan dengan hal tersebut, konselor atau terapis hendaknya dapat menumbuhkan motivasi dan menghindarkan agar pihak yang bersangkutan tidak merasa dipojokkan ataupun menjadi kehilangan muka (Dadang Hawari, 2006:140-143).
Hadirin yang saya hormati,
Terkait dengan isu poligami yang belakangan ini banyak dibicarakan orang (terlepas dari pro atau kontra), konselor per¬kawin¬an menyarankan agar para isteri berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi isteri yang berbakti, demi meraih kasih sayang suami sepenuhnya. Di samping itu, senantiasa berlapang  dada menerima apapun yang ditakdirkan Allah SWT, karena pilihan Allah adalah jalan terbaik yang diberikan-Nya. Beberapa ciri isteri yang berbakti kepada suaminya dan taat kepada Allah SWT, adalah: (1) mentaati suami, (2) mensyukuri segala sesuatu yang diberikan suami, (3) menjaga amanah, (4) selalu menjaga penampilan agar tetap menarik, (5) tidak buruk sangka dan cemburu buta, (6) bersikap lemah lembut, (7) pandai bergaul dengan keluarga suami, (8) selalu jujur dan terbuka, (9) menjaga perasaan suami, (10) membiasakan budaya musyawarah (Abu Azzam Abdillah, 2007:73-81).
Yang masih menjadi pertanyaan adalah, kalaulah semua itu sudah diupayakan dalam kualitas yang baik, apakah dapat dijamin bahwa suami tidak akan melakukan poligami atau berselingkuh? Wallahu alam. Yang jelas, masih ada hal lain yang  harus kita pahami yakni sifat cinta laki-laki itu adalah ”jamak” dan sifat cinta wanita adalah ”tunggal” (Sikun Pribadi, 1981). Karena sifat cinta laki-laki jamak atau majemuk, memang memungkinkan cintanya dapat terdistribusikan ke mana-mana; sedangkan karena sifat cinta wanita tunggal menungkinkan cintanya hanya tertuju kepada suami   yang dicintainya saja. Di samping itu, pria (maskulin) yang normal, dalam arti komposisi unsur maskulinitas dan femininitas pada dirinya proporsional; adalah wajar apabila jatuh cinta kepada wanita. Sebaliknya, wanita (feminin) yang normal dalam arti kompo¬sisi unsur femininitas dan maskulinitasnya proporsional, adalah juga wajar apabila jatuh cinta kepada pria. Justru kalau pria malahan lebih tertarik kepada sesama pria (homoseks), dan wanita  lebih tertarik kepada sesama wanita (lesbian); itu pertanda kompo¬sisi unsur maskulinitas dan femininitas dalam dirinya tidak propor¬sional. Lalu harus bagaimana? Upaya lahiriah tersebut harus di¬laku¬kan sebaik-baiknya, disertai permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah SWT dengan pengharapan semoga Allah memberikan yang terbaik kepada kita semua dan kepada yang telah keliru diberi kekuatan untuk kembali ke jalan yang benar.

Hadirin yang saya hormati,
Kaitannya dengan komunikasi seksual yang membahagiakan, pasangan suami-isteri selayaknya memperhatikan pentingnya komuni¬kasi yang baik dengan pasangannya.
Terdapat empat area penting dalam kualitas komunikasi   yang berpengaruh pada perbaikan komunikasi seksual, yaitu: pertanda (signals), makna (meaning), perasaan (feeling), dan peranan (roles) (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005: 101-104).

1.    Pertanda (signals)
Untuk melakukan dan meningkatkan komunikasi seksual,   pasangan dapat menggunakan pertanda (signals) sebagai komuni¬kasi non-verbal. Komunikasi non-verbal memang paling sukses  untuk meningkatkan komunikasi seksual, apabila rabaan dapat dirasakan, desahan dapat didengarkan, dan senyuman dapat dilihat. Jadi, orang yang menerima signal juga harus mampu mendengar aktif, melihat, mengarahkan perhatian, dan mengenali signal-signal   yang signifikan. Namun, yang sering terjadi justru pasangannya tidak mampu membaca signal dengan baik. Dengan demikian, tanggung jawab signal sebetulnya hanya bernilai separuh dari apa yang diharapkan.
Dalam hal peningkatan komunikasi seksual, pada pasangan yang berhasil ditemukan bahwa pasangan dapat meningkatkan komunikasi seksual mereka dengan belajar memahami masing-masing signal yang diberikan oleh pasangannya. Kesimpulan yang menyatakan bahwa setiap orang secara alami akan mampu mema¬hami signal yang diberikan oleh pasangannya, sehingga tidak perlu belajar memahaminya; malahan menjadi sumber kesulitan kehi¬dupan seksualya (Bell dan Lobzenz, 1977).

2.    Makna ( Meanings )
Makna dibalik kata-kata atau gestur dapat saling dipahami, dan menjadi fasilitator yang baik. Pasangan harus mampu menangkap makna yang terkandung dari setiap kejadian. Misalnya, kemampuan menangkap makna yang terkandung dari kejadian seorang isteri memasukkan tangannya ke dalam kemeja suaminya atau mengencangkan ikatan dasi suaminya, berpengaruh terhadap respon lanjut yang akan diberikan oleh suaminya. Namun, mungkin saja pasangan mengalami kesulitan dalam menangkap makna dari signal yang diberikan oleh pasangannya. Misalnya, seorang suami yang mengatakan bahwa ” Saya mau tidur sekarang”, sering isteri   tidak menangkap makna yang tersirat dari ungkapan tersebut dan berpendapat bahwa suaminya memang lelah dan mau tidur lebih dulu, sehingga isteri dapat melanjutkan menikmati tayangan tele¬visi. Padahal, dengan ungkapan tersebut suami memberikan signal bahwa ia membutuhkan kesediaan isterinya untuk melakukan hubungan seksual.

3.    Perasaan (Feelings)
Perasaan hampir selalu menyertai pasangan dalam perilaku seksualnya. Pasangan yang terbuka satu sama lain tentang apa yang mereka rasakan, adalah penting. Karena keterbukaan itu menjadi informasi yang berguna bagi peningkatan pemahaman simpati yang juga berperan sebagai fasilitator komunikasi seksual. Kesediaan pasangan untuk mendengar penjelasan pasangannya tentang perasaan¬nya dan menghargai bahwa perasaan tersebut memang   tepat (walaupun belum tentu pasangannya menyetujuinya), akan meningkatkan keintiman seksual. Misalnya, isteri menyatakan perasaannya dengan kata-kata ”Aku kangen mas”, akan membuat tumbuh empati suaminya dan selanjutnya bertambah intim komuni¬kasi seksualnya.

4.    Peranan (Roles)
Kesadaran akan peran yang harus diambil olah pasangan dalam aktivitas seksual merupakan hal vital dalam komunikasi seksual yang baik. Pasangan yang tahu apa yang diharapkan dari pasangannya dan apa yang secara sadar diketahui tentang tuntutan pasangannya, merupakan hal yang penting dalam kelancaran komunikasi seksual. Dalam aktivitas seksual, baik peran laki-laki maupun perempuan dapat dinegosiasikan oleh pasangan ingin menyertakan peran apa. Yang  terpenting,  peran  yang  dipilih oleh salah satu dari pasangan itu mendapatkan peran resiprokal sebagai peran dari pasangannya. Dengan menetapkan satu peran, salah satu dari pasangan seyogyanya memproyeksikan peran resiprokal yang harus dilakukan oleh pasangannya. Misalnya, perempuan yang percaya bahwa hendaknya laki-lakilah yang harus menjadi insiator dalam perilaku seksual, tentu akan merasa kecewa apabila pasangan¬nya tidak berinisiatif dalam perilaku seks. Dalam peranannya sebagai penunggu inisiatif pasangannya, akhirnya ia tidak tahu harus berbuat apa apabila ternyata keyakinan akan peran laki-laki dan perempuan tidak sesuai dengan kenyataan yang ia hadapi.

IMPLIKASI

Hadirin yang saya hormati,
Kajian terhadap 3 (tiga) variabel di atas, mengandung impli¬kasi sebagai berikut:

  1. Kesehatan perilaku seksual suami, isteri, atau suami-isteri; akan mewarnai kualitas hidup mereka, akan mewarnai kebahagiaan   hidup mereka; artinya suami, isteri, atau suami-isteri yang sehat perilaku seksualnya dimungkinkan mempunyai peluang untuk dapat berkualitas  hidupnya, bahagia  hidupnya; dan sebaliknya yang tidak sehat perilaku seksualnya tidak mempunyai peluang untuk  berkualitas hidupnya, untuk bahagia hidupnya.
  2. Sehat tidaknya perilaku seksual suami, isteri, atau suami-isteri dapat dipengaruhi oleh faktor harmonis tidaknya hubungan mereka. Dengan kata lain, keharmonisan hubungan suami-isteri dapat mempengaruhi kesehatan perilaku seksual mereka; demi¬kian pula sebaliknya kesehatan perilaku seksual suami, isteri,  atau suami-isteri dapat mempengaruhi  keharmonisan hubungan  mereka. Kalau ketidak sehatan perilaku seksual suami atau isteri adalah positif karena hubungan dengan pasangannya sedang tidak harmonis, tidak usah bingung-bingung mencari obat kuat (bagi suami) atau obat perangsang gairah seksual (bagi isteri) atau ke dokter. Upaya itu akan sia-sia. Diselesaikan masalahnya dan dinetralisir perasaan-perasaan negatif yang ada saja dulu, Insya Allah potensi untuk dapat lagi melakukan hubungan seksual akan muncul kembali, dan keberhasilan akan diraih atas ridho Allah SWT.
  3. Layanan konseling perkawinan mempunyai kontribusi yang berarti bagi upaya penciptaan hubungan suami-isteri yang harmonis, yang pada gilirannya dapat tercipta perilaku seksual yang sehat pada diri mereka, berkualitas hidupnya, dan bahagia hidupnya; sesuai tujuan perkawinannya dan menjadi dambaan banyak pasangan. Layanan konseling perkawinan yang di¬seleng¬garakan oleh siapapun atau institusi manapun selayak¬nya menjadi kebutuhan bagi yang memerlukan, baik untuk tujuan-tujuan preventif, kuratif, maupun preservatif agar keadaan yang ”mengerikan” tidak terjadi.
  4. Terkait dengan penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia yang sudah akan diperluas di mana tidak lagi hanya di sekolah-sekolah, melainkan juga di masyarakat; berarti perlu penataan kembali kurikulum Program Studi Bimbingan dan Konseling yang sesuai secara bertahap. Ini berarti pula bahwa kajian yang saya lakukan terhadap variabel-variabel di atas bermakna ”men-triger” sekaligus ”menjemput bola” atas terselenggaranya layanan bimbingan dan konseling yang lebih luas sebagaimana diharapkan. Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa berfikir dan mengupayakan terwujudnya hal ini adalah salah satu kewajiban saya sebagai Guru Besar di Program Studi Bimbingan dan Konseling.


KESIMPULAN

Hadirin yang saya hormati,
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketidak harmonisan hubungan suami-isteri dapat berakibat tidak sehatnya perilaku seksual mereka, dan pada tingkat tertentu berpengaruh negatif  terhadap kualitas hidupnya. Pasangan suami-isteri tidak perlu khawatir dalam menyikapi kondisi yang mengerikan itu, karena ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghadapinya baik secara preventif, kuratif, maupun preservatif. Konseling perka¬win¬an yang diselenggarakan baik oleh perorangan atau kelembagaan, merupakan salah satu alternatif yang cukup menjanjikan untuk dapat diperolehnya kembali keharmonisan dan kebahagiaan sebagai suami-isteri, dan pada gilirannya perilaku seksual yang sehat dapat dinikmati kembali atas ridho Allah SWT.
Sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan,  layanan bimbingan dan konseling di Indonesia sudah saatnya diperluas tidak lagi hanya diselenggarakan di sekolah-sekolah; tetapi juga di masyarakat, seperti: layanan konseling perkawinan, konseling keluarga, konseling seksual, dan lain-lain. Tentu saja diawali dengan penataan kurikulum yang sesuai secara bertahap.

Ucapan Terima Kasih

Hadirin yang saya hormati,
Mengakhiri pidato pengukuhan saya ini, perkenankan saya sekali lagi mengungkapkan rasa syukur saya ke hadirat Allah SWT  yang telah melimpahkan rakhmat, hidayah, dan innayah-Nya kepada saya sekeluarga; sehingga pada hari ini saya dapat dikukuhkan sebagai Guru Besar. Di samping itu, pada kesempatan ini perkenankan saya mengungkapkan perasaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan jasanya, sehingga saya diperkenankan memangku jabatan fungsional terhormat sebagai Guru Besar bidang Bimbing¬an dan Konseling di FKIP Universitas Sebelas Maret.
Sangat banyak yang telah berjasa mengantarkan saya menjadi Guru Besar ini, di antaranya:

  1. Pemerintah Republik Indonesia, yang dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberi kepercayaan kepada saya sebagai Guru Besar bidang Bimbingan dan Konseling di FKIP Universitas Sebelas Maret.
  2. Rektor Universitas Sebelas Maret yang juga Ketua Senat: Bapak Prof. Dr. H. Moch. Syamsulhadi, dr. Sp.KJ.(K); Sekre¬taris Senat: Bapak Prof. Dr. H. Aris Sudiyanto, dr, Sp.KJ.(K); dan segenap anggota Senat Universitas. Demikian pula Dekan yang juga sebagai Ketua Senat FKIP Universitas Sebelas Maret: Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulah, M.Pd; para Pembantu Dekan; Ketua dan Sekretaris Jurusan; Ketua dan Sekretaris Program Studi; beserta seluruh anggota Senat Fakultas; yang telah mengusulkan saya untuk memangku jabatan akademik Guru Besar di FKIP Universitas Sebelas Maret. Di samping itu, juga para senior dan rekan sejawat di Program Studi Bimbingan dan Konseling, yang telah mem¬beri¬kan dorongan dan kesempatan kepada saya untuk memangku jabatan akademik yang terhormat ini.
  3. Prof. Dr. H. Muh. Djawad Dahlan (alm); Prof. Dr. H. Rochman Natawidjaja; Prof.Dr. Kusdwiratri Setiono; Prof.Dr. H. Achmad Sanusi; Prof. Dr. H. Moh. Surya; Prof. Dra. Hj. Warkitri; Prof. Dr. H. M. Saleh Muntasir (alm); beliau semua adalah Promotor dan Co-Promotor penulisan disertasi serta Pembimbing penulis¬an thesis/skripsi saya, yang telah ikut serta memberikan sumbangan dalam pendewasaan dan pengembangan kemam¬puan akademik saya.
  4. Para senior saya yang selalu mendorong saya untuk mencapai jabatan akademik Guru Besar ini, yakni: Drs. H. Thulus Hidayat, SU, MA; Dra. Hj. Chosiyah, M.Pd; Dr. H. Soetarno, M.Pd; Prof. Drs. Anton Sukarno, M.Pd; Prof. Dr. Kunardi, M.Pd; Prof. Dr. H. Santosa, MS, Sp.Ok. Pimpinan dan mantan pimpinan Program Studi Penyuluhan Pembangunan PPs UNS, yakni: Prof. Dr. Totok Mardikanto, MS; Prof. Dr. H. Rafik Karsidi, MS (yang juga PR I UNS); Ir. Supangya, MS;                  Dr. Ir. Hj. Eny Lestari, MS, dan rekan-rekan di Pusat Studi Kesehatan Seksual LPPM UNS, yakni: Prof. Dr. H. Aris Sudiyanto, dr, Sp.KJ (K); Prof. Dr. H. Fanani, dr, Sp.KJ (K); Prof. Dr. H. Setiono, SH, MH;  dr. Murbono, Sp.KK; dr. H. Istar Yuliadi; H. Arista, S.Psi,MM; dr. Andri Putranto, M.Kes.   yang selalu memotivasi saya untuk beranjak ke jabatan akade¬mik Guru Besar. Tidak lupa, kolega saya Taufiq Lilo, ST., MT yang telah banyak membantu penyiapan pidato pengukuhan ini.
  5. Semua guru saya sejak Sekolah Rakyat (SR) sampai dengan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan semua dosen saya di Program S1, S2, dan S3 yang tidak dapat saya sebut satu per¬satu; yang telah membekali ilmu pengetahuan dan ketrampilan serta ikut menanamkan semangat untuk selalu menuntut ilmu dan kemandirian pada diri saya.
  6. Kedua orang tua saya Bapak dan Ibu Marmosuwarno (alm dan almh), yang di kala suka dan sulit telah dengan sabar dan penuh kasih sayang mengasuh, mendidik, dan membesarkan saya; disertai pengorbanan dan jerih payah yang luar biasa dan penuh keikhlasan. Demikian pula senantiasa mendoakan dan merestui, serta mendorong setiap perjuangan saya agar bisa hidup layak di masyarakat. Kedua mertua saya Bapak dan Ibu Wiryowitono (alm dan almh) utamanya ayah mertua yang dengan gaya mendidiknya justru membuat saya dan isteri menjadi pribadi mandiri.
  7. Saudara-saudara kandung saya (mbak Sungatmi, dik Sri Partini, dik Surati, dik Soeharno, Drs dan dik Siswanto), serta saudara ipar saya (mas Kamsi, dik Paimin, dik Wirosujono, dik Sri Rahayu); yang selalu berdoa untuk saya sehingga saya dapat menduduki jabatan akademik Guru Besar. Demikian pula paman saya H. Tjitroatmodjo sekaliyan, kakak sepupu saya mbak Sri Lukasmi dan mas Sunardi Agus (alm); yang telah menolong orang tua saya di kala sulit dan mendoakan saya.
  8. Isteri saya tercinta Dra. Hj. Dwi Harini, dan keempat anak saya tersayang (termasuk menantu): Rini Hartanti Septina            Soeharto, SE.Ak dan Gatut Nugroho Agung Darmawan, ST (menantu); Dewi Wulansih Agustina Soeharto, SE; dan Erni Kusuma Meisita Soeharto; yang telah banyak berkorban dan berdoa selama saya menempuh pendidikan formal di Bandung (S2 dan S3), pendidikan dan latihan tambahan di Jakarta dan di Penang, Malaysia; dan telah mendorong saya untuk mencapai jabatan akademik Guru Besar ini.

Sekali lagi,  kepada  semua  yang  saya  sebut tadi dan yang tidak sempat saya sebut satu persatu saya sampaikan banyak terima kasih, semoga Allah memberikan balasan yang lebih banyak lagi, dan mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekhilafan yang telah saya perbuat. Amien.

Bi-Llahit al-Taufiq Waal-hidayah.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

DAFTAR  PUSTAKA

Abu Azzam Abdillah. (2007). Agar Suami tak Berpoligami: Meraih Simpati Suami Tanpa Menentang Syar’i. Bandung: Iqomatuddin Press.
Ali Qaimi. (2007), terjemahan: Abu Hamida MZ. Pernikahan: Masalah & Solusinya. Jakarta: Cahaya.
Bimo Walgito.(1984). Bimbingan dan Konseling Perkawinan.  Yogyakarta: Yabit Fak.    Psikologi UGM.
Brammer, L.M & Shostrom, E.L. (1982). Therapeutic  Psychology:   Fundamentals  of Counseling and Psychotherapy. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Burgess, Ernest W & Locke, Harvey J. (1960). The Family, From Institution to Companionship. New York: American Book Company.
Dadang Hawari (2006). Marriage Counseling (Konsultasi Perka¬winan). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gibson, Robert L & Mitchell, Marianne H. (1986). Introduction  to Counseling and Guidance. New York: MacMillan Publishing Company.
Latipun. (2008). Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Lembaran Negara RI Tahun 1974 No. 1. (1974). Undang-Undang   Republik Indonesia Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Rono Sulistyo. (1977). Pendidikan Sex. Bandung: Elstar Offset.
Sawitri Supardi Sadarjoen.(2005). Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual, dan Alternatif Solusinya. Bandung: Refika Aditama.
Sikun Pribadi dan Subowo. (1981). Menuju Keluarga Bijaksana.   Bandung: Yayasan Sekolah Isteri Bijaksana.
Sinolungan, A.E. (1979). Pengaruh Keluarga di Dalam  Masalah  Kecenderungan Nakal Siswa Remaja pada SMA-SMA  Manado.  (Disertasi). Bandung:  Sekolah Pascasarjana IKIP Bandung.
Soeharto. (1986). Sumbangan Keutuhan Keluarga dan Inteligensi  Anak Terhadap Adekuasi Penyesuaian Dirinya (Thesis). Bandung: Fakultas Pasca Sarjana.
Soeharto. (2007). Konseling Kesehatan Seksual. (Makalah).    Surakarta: Pusat  Studi Kesehatan Seksual.
Soeharto. (2007). Konseling Perkawinan dan Kesehatan Seksual.  (Makalah). Surakarta: Pusat studi Kesehatan Seksual.
Wimpie Pangkahila. (2006). Seks yang Membahagiakan: Menciptakan Keharmonisan Suami Isteri. Jakarta: Kompas.

2 Comments

  • Moahammad Radjab
    Posted 28 January 2020 12:23 pm 0Likes

    Alhamdulillah… izin save

  • Mega Setiani
    Posted 26 May 2018 2:40 am 0Likes

    memang edukasi seperti ini diperlukan untuk menambahh waawasan di dalam masyarakat

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.