Skip to content Skip to footer

PENCEGAHAN PRIMER STROKE ISKEMIK DENGAN MENGENDALIKAN FAKTOR RISIKO

Prof. Dr. Oemar Sri Hartanto, dr., Sp.S (K)
Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka UNS
Tanggal 14 Desember 2009

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.
Hadirin yang saya muliakan,
Mengawali pidato pengukuhan saya pagi ini, marilah bersama kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpah¬kan rahmat, taufik dan hidayahNya sehingga kita dapat berkmpul di Auditorium Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam keadaan sehat wal afiat untuk menghadiri sidang Senat Terbuka dengan acara  pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Saraf pada Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Saya menghaturkan terimakasih pada Bapak Rektor/Ketau Senat Universita Sebelas Maret yang telah mengizinkan saya menyampai¬kan pidato pengukuhan yang berjudul:
Pencegahan Primer Stroke Iskemik  dengan Mengendalikan Faktor Risiko

Hadirin yang saya muliakan,
Stroke tetap menjadi permasalahan kesehatan yang utama sampai saat ini. Stroke mampu mempengaruhi kehidupan manusia dan ekonomi. Insidensinya diperkirakan > 700.000 di Amerika Serikat setiap tahun dan menyebabkan > 160.000 orang meninggal tiap tahunnya, dengan sekitar 4,8 juta orang penderita stroke yang dapat bertahan sampai saat ini. Meskipun terdapat 60% angka penurunan pada mortalitas akibat stroke selama 29 tahun ini sejak 1968 sampai dengan 1996, rata–rata penurunan baru dimulai pada tahun 1990 secara lambat dan kemudian mengalami stabilitas. Walaupun secara keseluruhan telah terjadi penurunan sebesar 3,4 % dari jumlah mortalitas pada penderita stroke antara tahun 1991 hingga 2001, namun jumlah kematian sebenarnya akibat stroke sekitar 7,7%. Stroke menempati peringkat ketiga penyebab kematian. Insidensi stroke mungkin meningkat. Sejak tahun 1988 hingga 1997, rata-rata penderita stroke yang dirawat di rumah sakit meningkat 18,6% (dari 560 menjadi 664 per 100.000), sedangkan total dari penderita stroke yang membutuhkan perawatan di rumah sakit meningkat 38,6% (dari 592.811 menjadi 821.760 tiap tahunnya). Pada tahun 2004, biaya yang diperlukan untuk perawat¬an stroke diperkirakan sekitar 53,6 milyar dolar (biaya langsung dan tidak langsung), dengan rata–rata biaya yang dikeluarkan sekitar 140.048 dolar seumur hidup. (AHA, 2004).
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecen¬derungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indo¬nesia dalam dasawarsa terakhir. Terdapat kecenderungan menyerang generasi muda yang masih produktif. Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia identik dengan lifestyle masyarakat, di antara¬nya olahraga, merokok, minum alkohol, pola makan, kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau kolesterol yang melanda di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia.
Stroke juga menjadi penyebab utama dari gangguan fungsi¬onal, 20% dari penderita stroke yang dapat bertahan membutuhkan perawatan pada insitusi khusus selama 3 bulan dan 15%-30% menjadi kecacatan permanen. Stroke menyebabkan perubahan pola hidup yang berpengaruh tidak hanya pada penderitanya namun juga pada seluruh keluarga dan orang yang merawatnya. Analisis manfaat menunjukkan bahwa lebih dari separuh stroke memberi risiko yang lebih buruk daripada kematian. Walaupun telah di¬temu¬kan pengobatan yang berguna pada pasien dengan stroke iskemik akut menggunakan aktivator plasminogen intravena dan terapi lain untuk fase akut yang cukup menjanjikan, tindakan prevensi yang efektif merupakan pengobatan terbaik untuk mengurangi risiko stroke. Prevensi primer sangat penting karena >70% dari stroke merupakan serangan pertama. Insidensi stroke pada umur tertentu di Oxfordshire, United Kingdom, menurun sampai 40% selama 20 tahun berhubungan dengan peningkatan penggunaan terapi preventif dan pengendalian faktor risiko. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya,individu dengan risiko tinggi atau yang cenderung mengalami stroke saat ini dapat dididentifi¬kasi dan ditargetkan untuk mendapat perhatian khusus. (Adams et al, 2005).
Stroke merupakan suatu kematian secara tiba-tiba dari sel-sel pada area otak yang spesifik yang disebabkan oleh aliran darah yang tidak adekuat. Stroke terjadi ketika aliran darah ke suatu bagian dari otak terhambat, baik oleh karena pembuluh darah di otak pecah maupun karena adanya sumbatan oleh gumpalan darah.  Tergantung pada daerah kerusakan yang ditimbulkan, stroke dapat menyebabkan paralysis, kehilangan penglihatan, gangguan ber¬bicara, kehilangan daya ingat dan daya pikir, koma, atau kematian.
Menurut WHO stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain gangguan vaskuler

Patogenesis Stroke iskemik/non hemoragik
Hadirin yang saya muliakan,
Dinding pembuluh darah normal terdiri dari :
tunika intima     :    lapisan sel endothelial skuamus simpleks
tunika media    :    fibroblast dan sel otot polos dengan dukungan kolagen dan jaringan elastik tunika adventitia: terutama terdiri dari kolagen fibrous yang tebal
Dalam jaringan otak dan medulla spinalis lapisan adventitia biasanya sangat tipis dan lapisan elastik di antara lapisan media dan adventitia tampaknya sedikit.
Lapisan intima merupakan suatu lapisan barrier/penghalang  yang penting terhadap bocornya darah dan komponennya ke dalam dinding pembuluh darah. Dalam perkembangan plak aterosklerotik, kerusakan terhadap sel endotelium dari lapisan intima adalah kejadian utama. Dalam perkembangannya plak aterosklerotik memegang peranan penting dalam terbentuknya oklusi pembuluh arteri oleh trombosis dan atau emboli.

Plak aterosklerotik
Mengikuti kerusakan dari lapisan intima (endotel), sel otot polos dimuati dengan kolesterol, lemak, phospolipid; kolagen; kesemuanya membangun suatu lapisan subintimal.
Perdarahan mungkin dapat muncul di dalam plak atau plaknya dapat mengalami ulcerasi ke dalam lumen dari pembuluh membentuk trombus mural intarlumen. Dengan jalan mana saja, lumen dari pembuluh darah yang terlibat stenosis atau oklusi.
Plak itu sendiri dapat menimbulkan emboli. Kolesterol hadir sebagian besar dalam bentuk kristal di distal pembuluh. Kolesterol ester, lipids, dan phospolipid masing-masing memain¬kan peran dalam agregasi dari emboli.
Bifurcatio carotid pada leher adalah daerah yang paling sering dimana plak ateroma menyebabkan stenosis atau oklusi.
Emboli platelet muncul dari trombus yang  berkembang atas kerusakan endotelium. Trombus ini diproduksi sebagian oleh platelet akibat kontak dengan jaringan kolagen yang terbuka /terekspose. Sel endotelial mensintesis prostacyclin yang mana merupakan suatu vasodilator potent dan penghambat dari agregasi paltelet. Tromboxane A2 , disintesis oleh platelet, mempunyai efek yang berbeda. Dalam pembentukan thrombus kedua prostaglandin ini secara aktiv berkompetisi satu sama lain.
Teknik standar dalam mengukur aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF) menyediakan informasi aliran baik global dan regional pada pasien dengan iskemik atau infark serebral. Baru-baru ini dengan adanya positron emission tomo¬graphy (PET), mencatat metabolisme oksigen dan glukosa, sebaik/ sama baiknya dengan aliran darah dan volume darah, memberikan detail yang lebih dan ketelitian/ketepatan pengertian dari perubahan patofisiologi stroke.

Perubahan-perubahan dalam infark serebri (kaskade iskemik)
Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa salah satu dari asam amino excitatory neurotransmiter, glutamat, yang berlebih adalah suatu neurotoxin kuat, memegang peranan penting dalam kerusakan otak iskemik. Neuron-neuron yang mati akan menge¬luar¬kan glutamat, yang selanjutmya membanjiri sel-sel sekitarnya. Glutamat ini akan menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang. Glutamat akan merusak membran sel neuron dan membuka kanal kalsium. Kemudian terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel. Sel yang mati ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya membanjiri lagi neuron-neuron di sekitarnya. Neuron-neuron yang rusak juga akan menge¬luarkan radikal bebas yaitu charged oxygen molecules (seperti nitric oxide atau NO), yang akan merombak molekul lemak di dalam membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan terjadi¬lah influks kalsium. (Rosamond et al, 1999).

Hemisfer yang tidak mengalami iskemik:
Pengurangan ringan dalam aliran global CBF – kemungkin¬an akibat depresi transneural dari metabolisme dalam hemisfer yang tidak terkena/terganggu.
Pada otak yang normal, aliran darah otak ke bagian yang khusus/particular bervariasi tergantung pada kebutuhan metabolik, yakni suplai oksigen dan glukosa bergandengan dengan kebutuhan jaringan. Setelah terjadi infark, antara daerah yang kurang aliran¬nya dan yang banyak perfusinya, terdapat area yang jumlah perfusi¬nya relatif dimana aliran diturunkan/dikurangi melebihi yang dibutuhkan jaringan, yaitu ketidaksesuaian aliran dan metabolisme telah terjadi.
Penelitian dengan SPECT imaging memberi kesan bahwa 40% dari infark mengalami reperfusi dengan darah dalam waktu  48 jam.
Hemisfer yang mengalami iskemik mengalami pengurangan global aliran darah otak. Pada daerah yang mengalami infark dan daerah sekitarnya , perubahan yang lemah/tak terlihat dari daerah aliran darah otak (rCBF)dapat terdeteksi. Area yang alirannya berkurang dibatasi oleh area yang mengalami peningkatan aliran – luxury perfusi – akibat vasodilatasi dari arteriolar bed dalam merespon asidosis laktat.
Perubahan ini dalam rCBF adalah sementara dan kembali ke normal dalam beberapa hari setelah onset. Derajat gangguan rCBF berkorelasi dengan hasil akhir. Aliran kurang dari 28ml/ menit/100gram berakibat dalam perkembangan dari perubahan morfologik dari infark.

Manifestasi Klinis Dari Stroke

  1. Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi. Manifestasi klinis stroke dapat berupa: kelumpuhan wajah atau anggota badan, biasa¬nya hemiparesis, gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan hemisensorik), adanya gangguan kesadaran (konfusi, delirium, letargia, stupor atau koma), afasia (gangguan bicara), kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami ucapan, disartria (bicara pelo atau cadel), gangguan penglihatan (hemia¬nopia, atau diplopia), ataksia, vertigo, mual muntah atau nyeri kepala.

    FAKTOR RISIKO STROKE
    Hadirin yang saya muliakan,
    Usaha pencegahan primer terjadinya stroke iskemik meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengendalikan faktor risiko stroke. Upaya ini ditujukan kepada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke .Berikut akan saya sampaikan macam-macam faktor risiko stroke, bagaimana mengen¬dalikannya, anjuran-anjuran, atau rekomendasi yang perlu diper¬hati¬kan.
    Faktor risiko adalah karakteristik (demografi, psikologi, anatomi, fisiologi dan patologi) yang ada pada seseorang yang dapat menimbulkan atau meningkatkan risiko untuk menderita penyakit tertentu. Berbagai macam faktor risiko dilaporkan pada patogenesis terjadinya stroke namun faktor usia, hipertensi, merokok, dan diabetes dikatakan sebagai faktor risiko yang mendahului pada semua jenis stroke. Penyakit jantung juga banyak didapatkan dalam kaitan dengan stroke iskemik.
    Faktor risiko terjadinya stroke dapat dibagi dalam :
    FAKTOR RISIKO YANG TIDAK DAPAT DIUBAH
    (’’Non Modifiable’’)
    Usia: Insiden stroke akan meningkat secara eksponensial menjadi dua hinggá tiga kali lipat setiap dekade diatas usia 50 tahun dan ada data yang menyebutkan 1 dari 3 orang yang berusia diatas 60 tahun akan tenderita salah satu jenis stroke.
    Jenis kelamin: Ternyata pria lebih berisiko kena serangan stroke, demikian hasil penelitian. Tetapi lebih banyak wanita yang meninggal karena stroke. Serangan stroke pada pria umumnya terjadi pada usia lebih muda dibanding wanita, sehingga tingkat kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Wanita, meski jarang kena stroke, namun serangan itu datang pada usia lebih tua, sehingga kemungkinan meninggal lebih besar. Selain itu, gejala pada wanita sangat berbeda dengan gejala umum, sehingga terabaikan.
    Genetik: Riwayat stroke pada orang tua (baik ayah maupun ibu) akan meningkatkan risiko stroke. Peningkatan risiko stroke ini dapat diperantarai oleh beberapa mekanisme, yaitu: penurunan genetis faktor risiko stroke,, penurunan kepekaan terhadap faktor risiko stroke,, pengaruh keluarga pada pola hidup dan paparan lingkungan,, interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.
    Ras: Di Amerika Serikat, berbagai laporan epidemiologi menunjuk¬kan adanya perbedaan yang berarti dalam hal insidensi untuk semua jenis stroke dan infark serebri lebih besar pada kelompok berkulit hitam. Lebih banyak dijumpai faktor risiko seperti hipertensi dan diabetes pada kelompok berkulit hitam (Simons et al, 1998).

    FAKTOR RISIKO YANG TELAH DIKETAHUI DAN DAPAT DIUBAH
    Hadirin yang saya muliakan,
    Terdapat banyak faktor risiko yang telah diketahui menye¬bab¬kan serangan stroke iskemik dengan data-data yang jelas menunjukkan adanya penurunan risiko stroke dengan pengobatan. Faktor risiko yang terpenting untuk serangan stroke adalah penyakit vaskular aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, hal ini menunjukkan  penatalaksanaan yang digunakan dari pedoman penanganan stroke belum terlaksana dengan baik. Dengan adanya riwayat penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, gagal jantung, atau gejala penyakit arterial perifer) menyebabkan pening¬katan risiko yang signifikan untuk terjadinya serangan stroke dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki riwayat penyakit tersebut, setelah dilakukan penyesuaian dengan faktor risiko lain (risiko relatif (RR) = 1.73, 95% convidence interval (CI) 1.68 hingga 1.78 untuk laki-laki; RR = 1.55, 95% CI 1.17 hingga 2.07 untuk perempuan; disesuaikan dengan umur, tekanan darah, hipertrofi ventrikel kiri, merokok, fibrilasi atrium, dan diabetes). Pengobatan yang digunakan untuk kondisi tertentu (contoh¬nya penggunaan antiagregasi platelet) mungkin dapat menurunkan risiko stroke. Faktor risiko serangan stroke dan faktor risiko penyakit kardiovaskular sering overlap. Keberhasilan dari manajemen faktor risiko ditinjau dari keadaan yang mempengaruhi stroke secara spesifik selain itu juga dapat dilihat dari  penyakit vaskular yang telah mengalami penurunan secara global.
    Oleh karena itu, dianjurkan bagi individu yang menunjuk¬kan penyakit vaskular aterosklerosis non serebrovaskular (penyakit jantung koroner, gagal jantung, atau gejala penyakit arterial perifer) memiliki faktor risiko yang tinggi untuk mengalami serangan stroke. Pengobatan yang digunakan untuk manajemen pada keadaan tertentu (contohnya penggunaan antiagregasi platelet) dan peng¬obat¬an lain yang direkomendasikan pada  stroke guideline dapat menurunkan risiko stroke.

    HIPERTENSI
    Hipertensi diderita oleh lebih dari 65 juta orang di Amerika Serikat dan merupakan faktor risiko utama terjadinya infark serebri maupun perdarahan intraserebral. Hubungan antara tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular adalah ”kontinyu, konsisten, dan tidak terpengaruh faktor risiko lainnya,” Semakin tinggi tekan¬an darah, semakin besar risiko terjadinya stroke. Tekanan darah, terutama sistol, meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Sebuah studi di Framingham menemukan bahwa individu dengan normotensi pada usia 55 tahun memiliki risiko 90% untuk menjadi hipertensi. Lebih dari dua pertiga orang dengan usia >65 tahun menderita hipertensi.
    Selama ini terdapat bukti bahwa lebih dari 30 tahun dengan mengontrol tekanan darah yang tinggi dapat membantu mencegah stroke sama baiknya dengan pencegahan atau mengurangi kerusak¬an target organ, termasuk gagal jantung kongestif dan gagal ginjal. Sebuah meta-analisis dari 18 percobaan random jangka panjang menemukan bahwa baik terapi dengan -blocker (RR = 0.71; 95% CI 0.59 hingga 0.86) ataupun dengan diuretik (RR = 0.49; 95%    CI 0.39 hingga 0.62) sama efektifnya dalam pencegahan stroke. Secara keseluruhan, terapi antihipertensi dapat menurunkan insi¬densi stroke 35% hingga 40%.
    Pada sebuah penelitian, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dari kejadian stroke di antara kelompok penderita hiper¬tensi (rata–rata tekanan darah diastole antara 100 dan 115 mmHg) dan yang mempunyai tekanan diastolik rata–rata 85.2, 83.2, atau 81.1 mmHg. Pedoman penatalaksanaan nasional yang terbaru merekomendasikan penurunan tekanan darah hingga < 140/90 mmHg (dengan target lebih rendah pada beberapa kelompok, misalnya individu dengan diabetes; lihat bagian diabetes), dan penelitian masih terus dilakukan untuk menentukan target terendah yang paling optimal secara umum.
    Banyak kategori dari obat antihipertensi, termasuk diuretik thiazid, penghambat konversi enzim angiotensin (ACEIs), bloker reseptor angiotensin (ARBs),bloker reseptor -adrenergik, dan bloker kanal kalsium, mampu mengurangi risiko kardiovaskular, termasuk risiko dari stroke, pada pasien dengan hipertensi. Tekanan darah yang terkontrol dapat dicapai oleh banyak pasien, tetapi mayoritas membutuhkan kombinasi dengan ≥ 2 agen antihipertensi.
    Keuntungan dari terapi hipertensi sebagai prevensi primer untuk stroke sudah jelas. Pilihan dari terapi spesifik yang diguna¬kan sangat individual, namun keberhasilan penurunan tekanan darah umumnya lebih penting daripada obat spesifik mana yang digunakan untuk mencapai target ini. Hipertensi sering tidak ter¬obati di masyarakat, dan program untuk meningkatkan pemenuhan akan kebutuhan terapi perlu dikembangkan dan didukung.
    Dianjurkan skrining teratur untuk hipertensi (sedikitnya setiap 2 tahun pada mayoritas orang dewasa dan dengan frekuensi yang lebih sering untuk golongan tertentu dan orang tua) dan manajemen yang tepat, termasuk perubahan diet, modifikasi gaya hidup, dan terapi farmakologis seperti yang tercantum dalam JNC 7, sangat dianjurkan. (Chobanian et al, 2003).
    Pengendalian hipertensi dilakukan dengan target tekanan darah < 140/90 mmHg, jika menderita Diabetes Mellitus atau penyakit ginjal kronik dianjurkan tekanan darah < 130/80 mmHg. (PERDOSSI, 2007).
    PERHATIAN TERHADAP KEBIASAAN MEROKOK
    Hadirin yang saya muliakan,
    Hampir setiap multivariabel penilaian factor risiko stroke (misalnya Framingham, Cardiovascular Health Study, dan Honolulu Heart Study telah mengidentifikasi merokok sebagai factor risiko yang potensial untuk stroke iskemik, terkait dengan perkiraan dua kali lipat risiko stroke iskemik. Selain itu, merokok telah jelas dikaitkan dengan 2-4 kali lipat peningkatan risiko terjadinya stroke hemoragik. Hasil penelitian meta-analisis dari 32 penelitian mem¬per¬kirakan RR untuk stroke iskhemik menjadi 1.9 (95% CI 1,7 – 2.2) untuk perokok dibandingkan yang bukan perokok dan RR untuk perdarahan subarachnoid menjadi 2.9 (95% CI 2,5-3,5). Angka kematian stroke yang berhubungan dengan merokok di Amerika Serikat diperkirakan antara 21.400 (tanpa mengesamping¬kan faktor perancu yang potensial) dan 17.800 (dengan menge¬sampingkan), hal ini menunjukkan bahwa merokok memberikan kontribusi sampai 12% hingga 14% dari semua kematian akibat stroke.
    Merokok mungkin juga meningkatkan efek dari faktor risiko lain. Contohnya, efek sinergis antara penggunaan kontrasepsi oral dan merokok pada risiko infark serebri. Pada yang bukan perokok, wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi oral dikelompok¬kan sebagai kontrol, kejadian infark serebri 1.3 kali lebih besar (95% CI 0.7 hingga 2.1) untuk wanita perokok tetapi tidak menggunakan kontrasepsi oral, 2.1 kali lebih besar (95% CI 1.0 hingga 4.5) untuk wanita bukan perokok tetapi memakai kontrasepsi oral, namun 7.2 kali lebih besar (95% CI 3.2 hingga 16.1) untuk pengguna kontrasepsi oral dan perokok ( dengan catatan diharapkan odds ratio (OR) pada ketiadaan hubungan antara perokok dengan pengguna kontrasepsi mencapai  2.7).
    Merokok jelas berhubungan dengan risiko stroke. Studi epidemiologis menunjukkan adanya penurunan risiko dengan berhenti merokok sama sekali. Meskipun telah terdapat program yang efektif untuk memfasilitasi penghentian merokok, data menunjukkan bahwa partisipasi untuk program yang dapat menurun¬kan kejadian stroke tersebut sangatlah kurang.
    Tidak merokok (untuk yang hingga saat ini perokok) dan  penghentian merokok sangat dianjurkan. Data didapat dari studi kohort dan studi epidemiologis yang konsisten dan terpercaya. Himbauan kepada masyarakat terhadap pengaruh merokok untuk prevensi stroke dapat dipertimbangkan. Adanya konseling, peng¬gantian nikotin, dan medikasi oral untuk penghentian merokok efektif untuk para perokok dan hal ini juga dapat dipertimbangkan
    Rekomendasi PERDOSSI tahun 2007, merokok menyebab¬kan peninggian koagubilitas, viskositas darah, meninggikan kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meninggikan tekanan darah, meningkatkan hematokrit, menurunkan HDL, meningkatkan LDL kolesterol. Berhenti merokok juga memperbaiki fungsi endotel, sedang perokok pasif risiko sama dengan perokok aktif. (Kurth et al, 2003).

    DIABETES MELLITUS
    DM tipe-2 merupakan bagian terbesar dari diabetes yang ada di tengah masyarakat. Jumlah penderita DM tipe 2 di dunia dari tahun ke tahun makin lama makin meningkat, pada tahun 2003 jumlahnya sekitar 189 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat menjadi 324 juta atau meningkat 0,72 kali dibanding tahun 2003. Di kawasan Asia jumlah penderita DM pada tahun 2003 didapatkan jumlahnya sekitar 81,8 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat 0,91 kali yaitu sektitar 156,1 juta (Zimmet, 2003). Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2030 terdapat 12 juta penderita diabetes mellitus (diabetisi) di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2006)
    Risiko stroke dapat diminimalkan pada penderita diabetes. Sebuah penelitian kecil secara random mengenai perlakuan intensif multifaktorial pada penderita diabetes tipe 2 dan mikroalbuminuria dengan target penderita yang mengalami hiperglikemi, hipertensi, dislipidemia, dan mikroalbuminuria diberi intervensi termasuk di dalamnya modifikasi faktor risiko perilaku dan penggunaan dari statin, ACEI, ARB, atau obat antiplatelet. Setelah rata-rata 7.8 tahun, risiko terjadinya kejadian kardiovaskular menurun men¬dekati 50% (dengan Hazard Ratio (HR) = 0.47; 95% CI 0.22 hingga 0.74; P=0.01) yang mengunakan pengobatan intensif di¬banding¬kan dengan terapi konvensional. Pada penelitian ini didapat¬kan 3 orang dengan stroke non fatal, 4 orang dengan infark miokard non fatal, dan 3 orang meninggal akibat penyakit kardio¬vaskular dari 80 pasien yang diberi intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol dimana terdapat 11 orang dengan stroke non fatal, 8 orang dengan infark miokard non fatal, dan 1 orang meninggal karena penyakir kardiovaskular.
    Program komprehensif yang meliputi kontrol ketat terhadap hipertensi dengan pengobatan ACEI atau ARB dapat menurunkan risiko stroke pada penderita diabetes. Kontrol gula darah dapat menurunkan komplikasi mikrovaskular, namun fakta menunjukkan penurunan risiko stroke dengan kontrol gula darah secara ketat  kurang bermanfaat. Sebuah studi terpercaya menunjukkan bahwa pengobatan pasien diabetes dengan statin menurunkan risiko terjadi¬nya serangan stroke.
    Bagaimanapun kontrol DM yang ketat terbukti mencegah komplikasi vaskuler yang lain, dan ini sangat mungkin menurunkan risiko stroke juga. Selain itu, perbaikan kontrol DM akan mengu¬rangi progresi aterosklerotik pembuluh-pembuluh darah besar. The Atherosclerosis Risk in Communities Study Investigators (ARIC) menemukan pasien-pasien yang sebelumnya menderita DM yang tidak terdiagnosis ternyata mengalami kecepatan progresi atero¬sklerotik karotis yang lebih besar dibanding pasien yang telah diketahui menderita DM, yang berarti diagnosis dan terapi dini DM mungkin membantu mencegah progresi penyakit makrovaskuler. (US Preventive Services Task Force, 1996)
    Pengendalian kadar gula darah pada penderita Diabetes Mellitus dengan target Hb A1c < 7%. Dianjurkan hipertensi terkontrol ketat pada pasien dengan diabetes tipe 1 maupun tipe 2 (JNC 7 menganjurkan tekanan darah < 130/80 mmHg pada pasien diabetes) sebagai bagian dari program komprehensif untuk menurun¬kan risiko stroke. Pengobatan pada orang dewasa dengan diabetes, khususnya yang memiliki faktor risiko lain, dianjurkan terapi dengan statin untuk menurunkan risiko terjadinya serangan stroke. Dianjurkan juga pengobatan menggunakan ACEI atau ARB pada pasien diabetes.

    ATRIAL FIBRILASI
    Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang pria dewasa, AF ditemukan pada 1-1,5% populasi di negara-negara barat dan merupakan salah satu faktor risiko independen stroke. Prevalensi AF meningkat seiring per¬tambahan umur, ditemukan 1% pada usia <60 tahun tetapi kurang lebih 10% pada usia >80 tahun.
    Atrial fibrilasi apapun penyebabnya dapat menyebabkan terjadinya emboli/jendalan darah yang memicu terjadinya suatu stroke Atrial fibrilasi non valvuler sebagai penyebab sumber emboli mempunyai variasi yang luas yaitu mulai dari lone atrial fibrillation sampai ventrikel dengan gagal jantung kongestif.
    Dengan atau tanpa adanya atrial fibrilasi, semua pasien dengan katup jantung mekanik memerlukan antikoagulan, dengan target level anti koagulan bervariasi tergantung tipe dan posisi katup serta adanya faktor risiko lainnya. Rata-rata kejadian trombo¬emboli pada pasien dengan katup jantung mekanik adalah 4.4 per 100 pasien per tahun tanpa terapi anti trombotik, 2.2 per 100 pasien per tahun dengan pengobatan anti platelet, dan 1 per 100 pasien per tahun dengan terapi warfarin. Pasien dengan atrial fibrilasi paroksismal maupun persisten dan penyakit jantung katup seperti stenosis mitral memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya emboli pada masa yang akan datang dan membutuhkan antikoagulan .
    Prevalensi atrial fibrilasi meningkat sesuai umur. Atrial fibrilasi dialami  5% pada golongan umur ≥ 70 tahun, dan rata- rata atrial fibrilasi dialami oleh pasien berumur 75 tahun.  Diperkirakan bahwa sekitar seperempat kejadian stroke pada umur yang sangat tua (≥ 80 tahun) berhubungan dengan atrial fibrilasi. Atrial fibrilasi juga berhubungan dengan peningkatan mortalitas setelah faktor risiko lain disingkirkan. Stroke yang berhubungan dengan atrial fibrilasi sangat berat dan sering terjadi kelumpuhan, yang terpenting kontrol ritme tetap ada untuk menurunkan kejadian stroke, dan telah didiskusikan sebelumnya, terapi antitrombotik tetap menjadi pilihan utama untuk prevensi stroke.
    Atrial fibrilasi sangat penting, merupakan faktor risiko stroke yang dapat diatasi. Risiko terjadinya stroke diketahui rendah (2% pertahun) pada pasien yang diterapi dengan asprin. Perlu menjadi catatan bahwa pedoman dapat bervariasi  pada pengelolaan faktor risiko stroke. Terapi jangka panjang dengan antikoagulan sangat dibutuhkan untuk menurunkan risiko stroke pada orang dengan risiko tinggi serta tidak ada kontraindikasi untuk pemakaian antikoagulan. Perlindungan untuk pasien semakin berkembang, penggunaan antikoagulan oral yang mudah digunakan mungkin akan meningkatkan risk-benefit ratio. Namun terjadi kontroversi tentang level target optimal dari antikoagulan yang dapat berisiko terjadinya perdarahan. Banyak pasien dengan atrial fibrilasi, terutama pada usia > 75 tahun, yang seharusnya dapat mengambil manfaat dari antikoagulan namun tidak diberikan pengobatan ini mengingat adanya risiko di atas.
    Penggunaan antikoagulan pada pasien dengan atrial fibrilasi yang disebabkan penyakit jantung katup (terutama yang meng¬gunakan katup jantung mekanik) sangat dianjurkan. Terapi anti¬trombotik (warfarin atau aspirin) dianjurkan untuk mencegah stroke pada pasien yang menderita atrial fibrilasi tanpa penyakit jantung katup berdasarkan pada adanya risiko absolut untuk terjadi stroke, dengan mempertimbangkan risiko perdarahan, pilihan pasien, dan kemudahan untuk monitoring. Terapi dengan warfarin (INR 2.0 sampai 3.0) dianjurkan untuk pasien dengan risiko tinggi (>4% risiko stroke tiap tahunnya) (dan pada kebanyakan pasien dengan risiko sedang dengan mempertimbangkan adanya risiko perdarahan) dengan atrial fibrilasi yang secara klinis tidak ditemu¬kan kontraindikasi untuk antikoagulan oral. (Bonow RO et al, 1998).

    KONDISI LAIN PADA PENYAKIT JANTUNG
    Tipe lain dari penyakit jantung yang dapat menyebabkan risiko stroke tromboemboli adalah kardiomiopati, penyakit jantung katup (misalnya prolaps katup mitral, endokarditis, protesa katup jantung), dan defek kongenital pada jantung (seperti foramen ovale persisten (PFO), defek septum atrial, aneurisma septum atrial). Potensi terjadinya emboli jantung berhubungan dengan sekitar 40% kejadian stroke pada populasi usia muda Timbulnya penyakit serebrovaskular berhubungan erat dengan adanya gejala atau tidak adanya gejala dari penyakit jantung. Sebagai tambahan, infark miokard berhubungan dengan adanya atrial fibrilasi dan hal ini menyebabkan emboli kardiogenik. Oleh karena faktor risiko tersebut, pasien dengan infark miokard masuk dalam kelompok  yang berisiko tinggi terjadi stroke. Sindrom koroner akut ber¬hubungan dengan stroke pada fase akut, mengenai 0.8% pasien. Mayoritas stroke yang terjadi (0.6%) adalah stroke iskemik.
    Berbagai pedoman American Heart Association/ American College Cardiology merekomendasikan strategi untuk menurunkan risiko stroke pada pasien dengan berbagai macam kondisi jantung. Termasuk manajemen pasien dengan penyakit jantung katup, unstable angina, angina stabil kronis, dan infark miokard infark akut. Hal ini memberi alasan untuk memberikan terapi warfarin pada pasien post infark miokard dengan elevasi segmen ST dan disfungsi ventrikel kiri dengan abnormalitas luas pada dindingnya dan warfarin mungkin dapat diberikan pada pasien dengan dis¬fungsi berat ventrikel kiri, dengan atau tanpa gagal jantung.

    DISLIPIDEMIA
    Studi epidemiologis pada awalnya tidak menemukan ada¬nya keterkaitan yang konsisten antara level kolesterol dengan angka kejadian stroke namun ternyata dapat menyebabkan stroke hemoragik ataupun iskemik. Tiga studi prospektif pada pria menunjukkan peningkatan rata–rata kejadian stroke iskemik pada tingkat kolesterol total yang tinggi, terutama pada level 240 hingga 270 mg/dL.
    Hubungan antara kolesterol HDL dan stroke iskemik paling baik ditemukan dari studi prospektif karena inflamasi jaringan dan defisist kalori juga dapat menurunkan level HDL setelah stroke. Copenhagen City Heart Study, mencakup pria maupun wanita, menemukan 47% penurunan kejadian stroke iskemik setiap peningkatan 1 mmol/L kolesterol HDL.209 Pada tiga studi populasi berbasis prospektif, pria memiliki risiko yang signifikan untuk terjadinya stroke iskemik dengan level kolesterol HDL yang rendah, khususnya pada level, < 30 hingga 35 mg/dL. Proyek Eurostroke menenukan risiko kecil kejadian stroke iskemik pada pria  dengan kadar HDL rendah (tidak terlalu signifikan) tapi kejadian stroke iskemik yang lebih besar pada wanita dengan HDL yang rendah (secara garis besar signifikan). Studi di Jepang  dan Amerika Serikat menemukan kecenderungan terjadinya risiko stroke iskemik pada wanita dengan kadar HDL rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kadar HDL yang rendah merupakan faktor risiko stroke iskemik pada pria, namun bukti lain tetap dibutuhkan untuk menguji pengaruhnya pada wanita.
    Kadar trigliserida masih dikaji kembali, peningkatan kadar¬nya sulit untuk dievaluasi sebagai faktor risiko stroke. Peningkatan trigliserida merupakan komponen dari sindrom metabolik. Pernah dilaporkan adanya kadar trigliserida yang tinggi cenderung terjadi pada pasien yang pernah mengalami stroke iskemik. Pada sebuah studi 11.117 subyek dengan CAD, kejadian iskemik serebro¬vaskular berhubungan secara signifikan dengan trigiserida yang tinggi dan kadar kolesretol HDL yang rendah.
    Lipid plasma dan lipoprotein (kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan lipoprotein (a)) mempe¬ngaruhi risiko terjadinya stroke iskemik, namun keterkaitannya secara pasti masih belum jelas. Pada umumnya, peningkatan kadar kolesterol total berhubungan dengan peningkatan rata-rata stroke iskemik yang lebih tinggi. HDL yang rendah merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke iskemik pada pria, namun bukti lain tetap dibutuhkan untuk menentukan pengaruhnya pada wanita.
    National Cholestrol Education Program III memberikan guideline manajemen pada pasien yang tidak mengalami gangguan serebrovaskular dan mengalami peningkatan kolesterol total atau peningkatan kolesterol non HDL dengan adanya hipertrigli¬seri¬demia. Dianjurkan pada pasien yang diketahui menderita CAD dan pasien dengan hipertensi risiko tinggi meskipun dengan kolesterol LDL yang normal untuk dilakukan modifikasi gaya hidup dan terapi statin. Penggunaan terapi penurun lipid pada pasien diabetes dibahas secara khusus pada pedoman tersebut. Pengobatan yang dianjurkan pada pasien yang diketahui menderita CAD dan koles¬terol HDL yang rendah mencakup penurunan berat badan, pening¬katan aktifitas fisik, berhenti merokok, dan penggunaan niacin atau gemfibrozil bila memnungkinkan.
    Pengendalian kadar kolesterol pada penderita dislipidemia dengan diet dan obat penurun lemak, target kadar kolesterol LDL   < 100 mg/dl. Sedangkan pada penderita dengan risiko stroke tinggi  target kadar kolesterol LDL < 70 mg/dl. (Gordon  et al, 2001).

    STENOSIS KAROTIS ASIMTOMATIK
    Berlin Aging Study, sebuah studi berbasis populasi meng¬amati kesehatan fungsional secara sukarela pada kelompok usia 70 hingga 100 tahun, menemukan prevalensi sekitar 4% dari stenosis karotis ≥ 75% pada pria maupun wanita. Oleh karena itu, dapat disimpulkan 5% dan 10% dari pria dan wanita berusia > 65 tahun menderita stenosis karotis >50% dengan  1% mengalami stenosis > 80%.
    Dianjurkan pada pasien dengan stenosis arteri karotis asimtomatik dilakukan skrining untuk faktor risiko stroke lain yang dapat diatasi dan diberikan terapi intensif untuk semua faktor risiko yang ditemukan. Penggunaan aspirin dianjurkan untuk yang tidak memiliki kontraindikasi  karena aspirin telah diuji memiliki efek antiplatelet pada semua percobaan kecuali pada pembedahan tangan pada sebuah studi, dimana memiliki kecenderungan tinggi untuk terjadinya infark miokard pada pasien yang tidak diberikan aspirin. Profilaksis dengan endarterektomi karotis sangat dianjur¬kan  pada pasien yang telah dipilih secara selektif dengan stenosis arteri karotis derajat berat dan dilakukan oleh dokter bedah dengan, 3% rata–rata mortalitas atau morbiditas Pedoman pemilihan pasien bisa didapat dari dugaan kondisi komorbid dan harapan hidup, sama seperti faktor individual lain, dengan pengertian bahwa efek terburuk dari prosedur ini adalah kematian mengingat pasien sudah pada stadium akhir, maka perlu didiskusikan antara keuntungan dan risiko dari prosedur ini dengan pilihan akhir tergantung pada pasien. Stenting angioplasti karotis mungkin adalah alternatif yang dapat dialakukan selain endartektomi pada pasien asimptomatik dengan risiko tinggi bila dilakukan prosedur pembedahan; bagai¬mana¬pun juga, masih diperlukan laporan periprosedural dan rata– rata kejadian selama satu tahun secara keseluruhan, hal ini menyebab¬kan ketidakjelasan pada kelompok pasien ini untuk memilih prosedur lain. (Wang TJ et al, 2003).

    DIET DAN NUTRISI
    Hadirin yang saya muliakan
    Dalam studi ekologi dan beberapa studi prospektif, tingkat kelompok tertinggi dengan konsumsi garam berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya stroke. Sebuah populasi dengan tingkat konsumsi potassium tertinggi juga berhubungan dengan penurunan risiko terjadinya stroke dalam studi prospektif. Di sini ditegaskan bahwa kebanyakan pendekatan metodologi, sebagian sulit memperkirakan takaran diet elektrolit,menghindari pernyataan tentang risiko dan terkadang memberikan hasil negative palsu pada studi observasional.
    Efek potensial dari sodium dan potassium sebagai risiko terjadinya stroke muncul sebagai faktor yang mengatur tekanan darah. Dalam uji klinis, utamanya studi tentang respon dosis menyatakan hubungan antara intake sodium dan tekanan darah adalah hubungan langsung dan progresif tanpa ambang penerimaan yang jelas. Dalam uji klinik yang lain, terutama studi tentang respon dosis antara hubungan intake sodium dengan tekanan darah adalah langsung dan terlihat jelas tanpa sebuah permulaan. Pada percobaan yang lain, sebuah peningkatan potasium intake telah menunjukkan pada penurunan tekanan darah dan mengurangi efek dari sodium. Diet kaya akan sayuran dan buah-buahan, termasuk pendekatan diet untuk menghentikan hipertensi Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet (kaya akan buah, sayuran, dan produk harian yang rendah lemak dan lemak tak jenuh), tekanan darah lebih rendah. Bagaimanapun, ada satu dasar biologi yang beralasan, dan beberapa keterangan empiris dari binatang percobaan, bahwa efek dari kalium dan sodium pada stroke juga melalui mekanisme-mekanisme yang tidak terikat pada tekanan darah. Seperti yang didokumentasikan dalam suatu tinjau¬an ulang terbaru oleh institut dari pengobatan, intake natrium masih tinggi dan intake potassium benar-benar rendah di Amerika Serikat.
    Faktor-faktor berkenaan dengan diet lain mungkin mem¬pengaruhi risiko terjadinya stroke, tetapi bukti adalah yang tidak cukup untuk membuat rekomendasi spesifik. Di negara-negara Asia, terdapat intake yang rendah dari protein binatang, lemak jenuhi, dan khoresterol telah dihubungkan dengan satu risiko pening¬katan terjadinya stroke, tetapi hubungan seperti (itu) sudah lebih sedikit terlihat di negara-negara barat.
    Percobaan-percobaan yang dikendalikan secara random yang dipusatkan pada  diet dan target  khusus belum ada. Menurut studi epidemiologi, ada kemungkinan bahwa diet-diet kaya akan sayuran dan buah-buahan dan dengan mengurangi kadar garam dan meningkatkan intake pottasium akan mengurangi risiko terjadinya stroke.
    Pemakaian garam dapur berlebihan meningkatkan terjadi¬nya stroke, mungkin ini dikaitkan dengan terjadinya kenaikan tensi. Pola makan yang tidak seimbang dapat menimbulkan suatu kelainan sindroma metabolik, yaitu obesitas sentral, Body Mass Index > 30 kg/m2, Obesitas sentral dihitung jika lingkar perut > 102 cm pada laki-laki, dan >88 cm pada wanita.
    Intake sodium yang dikurangi dan intake potassium yang ditingkatkan direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah, yang dengan demikian mengurangi risiko dari stroke. Pemasukan kalium yang direkomendasikan adalah < 2.3 g/d (100 mmol/d), pemasukan kalium yang direkomendasikan adalah > 4.7 g/d                (120 mmol/d). Diet dari Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), yang menekankan buah, sayur-mayur, dan produk harian rendah lemak, dan lemak total dan tak jenuh), tekanan darah lebih rendah juga direkomendasikan. Diet yang kaya akan sayur-mayur dan buah-buahan boleh menurunkan risiko stroke bisa diper¬timbang¬kan. (He K et al, 2001).
    Sedang rekomendasi PERDOSSI 2007 menganjurkan penambahan asupan kalium dan mengurangi asupan natrium         (<6 gr/hari). Bahan-bahan yang mengandung natrium seperti mono¬sodium glutamat, sodium nitrat dikurangi. Sebaiknya makanan harus segar. Pada penderita hipertensi, asupan natrium yang dianjur¬kan ≤2,3 gram/hari dan asupan kalium ≥ 4,7 gram/hari. Mengu¬rangi makanan tinggi lemak jenuh dan mengurangi asupan trans fatty acids seperti kue-kue, krakers, telur, makanan yang digoreng dan mentega. Mengutamakan makanan yang mengandung poly unsaturated fatty acids, monounsaturated fatty acids, makanan berserat dan protein nabati. Nutrien harus diperoleh dari makanan, bukan suplemen. Tidak dianjurkan untuk makan berlebihan dan memperhatikan menu seimbang, tetapi tetap bervariasi dan tidak tunggal. Menghindari makanan dengan densitas kalori rendah dan kualitas nutrisi rendah. Sumber lemak yang digunakan hendaknya berasal dari sayuran, ikan, buah polong, dan kacang-kacangan. Mengutamakan makan yang mengandung polisakarida seperti nasi, roti, pasta, sereal dan kentang daripada gula (monosakarida dan disakarida).

    INAKTIVITAS FISIK
    Hadirin yang saya muliakan
    Studi tentang respon terhadap dampak–dampak dari aktivitas olahraga yang bersemangat dan mengeluarkan sedikit energi masih sedikit. Pada Northern Manhatan Stroke Study bentuk intensif dari aktivitas olahraga memberikan penambahan manfaat sebagai pem¬banding dengan aktivitas ringan sampai sedang. Penambahan proteksi telah diamati dengan meningkatkan lamanya latihan. Bagaimanapun juga,  aktivitas seperti itu pada individu yang lebih tua sungguh telah menurun. Dampak-dampak perlindungan dari aktivitas olahraga bisa menjadi sebagian penengah dalam mengu¬rangi tekanan darah dan mengendalikan risiko lain terhadap factor-faktor penyakit jantung dan syaraf, penyakit kencing manis, dan peningkatan berat badan. Pada mekanisme biologi yang lain juga telah memiliki hubungan dengan aktivitas olahraga, mencakup pengurangan plasma fibrinogen dan aktivitas platelet dan pening¬kat¬an aktivitas jaringan plasma plasminogen dan pemusatan HDL. (Hedley et al, 2002)
    Sekarang ini tersedia data yang mendukung tentang manfaat dari aktivitas olahraga. Pedoman yang ditetapkan centers for disease control and prevention (CDC) dan lembaga kesehatan nasional menganjurkan orang amerika harus melakukan latihan sedang kurang lebih 30 menit atau lebih, terutama setiap individu setiap hari dalam seminggu. Untuk stroke, manfaatnya terlihat jelas pada aktivitas yang ringan hingga berat, seperti berjalan, dan data menunjukkan manfaat tambahan dari peningkatan tingkat dan waktu aktivitas rekreasi. Aktivitas olahrara dapat dirubah menjadi kebiasaan namun menbutuhkan waktu yang lebih besar untuk memberikan tekanan pada kampanye pencegahan terhadap stroke.
    Kebiasaan hidup pasif berhubungan dengan risiko terjadi¬nya stroke. Studi klinik mendokumentasikan penurunan risiko terjadinya serangan pertama stroke dengan latihan rutin yang sebelumnya belum dilakukan, akan tetapi latihan memiliki efek menguntungkan dalam beberapa kepentingan lain sebagai factor risiko stroke dan penurunan factor risiko stroke dalam beberapa studi epidemiologi
    Peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan karena ber¬hubungan dengan penurunan risiko terjadinya stroke, pedoman latihan direkomendasikan oleh CDC dan The National Institute of Health adalah latihan regular ( >-30 menit dengan intensitas latihan moderat setiap harinya) sebagai bagian dari pola hidup sehat yang sangat neralasan.

    OBESITAS DAN DISTRIBUSI LEMAK TUBUH
    Klasifikasi  tradisional dari status berat badan didefinisikan sebagai BMI (body mass index) yaitu berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. Seseorang dengan BMI antar 25 sampai 29,9 kg/m2 diklasifikasikan sebagai berat badan lebih, dan seseorang dengan BMI >_30 kg/m2 diklasifikasi¬kan sebagai obesitas.
    Obesitas abdominal sering diukur dengan perbandingan lingkar pinggang dan panggul atau lingkar pinggang. Secara klinis, obesitas abdominal didefinisikan sebagai keadaan dimana lingkar pinggang lebih dari 102 cm (40 inch) pada laki-laki dan 88 cm (35 inch) pada wanita. Prevalensi rata-rata dari obesitas dan overweight selalu meningkat di Amerika Serikat dan di manapun, dengan pengaruh terbesar pada anak dan dewasa. Overweight utamanya terjadi pada ras kulit hitam dan anak-anak Hispanic. Menurut data survei nasional mengumpulkan antara periode tahun 2000 sampai 2001, prevalensi overweight dan obesitas meningkat dengan luar biasa: 65,7% dari remaja di AS mengalami overweight dan obesitas, 30,4% diantaranya adalah obese.
    Bukti pertumbuhan badan menunjukkan bahwa peningkatan berat badan berhubungan dengan risiko terjadinya stroke dalam dosis respon tertentu. Meskipun tidak terdapat percobaan klinis yang menguji efek penurunan berat badan yang mempengaruhi terjadinya stroke, penurunan berat badan berhubungan dengan penurunan tekanan darah (lihat pada bagian hipertensi) dan mungkin berkontribusi dalam menurunkan risiko stroke. Percobaan random dengan penurunan berat badan untuk mengurangi risiko stroke harus dihubungkan.
    Studi epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan berat badan dan lemak abdominal secara langsung berhubungan dengan risiko stroke. Penurunan berat badan direkomendasikan karena akan menurunkan tekanan darah dan dengan demikian mungkin menurunkan risiko terjadinya stroke.

    FAKTOR RISIKO POTENSIAL ATAU YANG KURANG DIKETAHUI DAN DAPAT DIMODIFIKASI
    Hadirin yang saya muliakan,
    Terdapat beberapa faktor risiko potensial atau yang kurang diketahui dan dapat dimodifikasi, di antaranya,
    SINDROM METABOLIK
    Pengaturan dari komponen individual sindrom metabolic, termasuk pengaturan gaya hidup dan farmakoterapi telah direko¬mendasikan dalam The National Cholesterol Education Program (Adult Treatment Panel III (ATP III) dan JNC VII, sebagai suatu pemunculan kembali pedoman ini, yang telah disahkan. Pengaturan gaya hidup, termasuk di dalamnya olahraga, penurunan berat badan yang tepat, dan diet yang benar. Farmakoterapi meliputi medikasi untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan lipid, mengotrol kadar glukosa, penanganan mikroalbuminuria atau proteinuria, dan terapi dengan antipletelet, (ex,aspirin) tergantung keadaan individu dan faktor risikonya. Tidak diketahui secara pasti obat yang dapat memperbaiki aspek resistensi insulin yang berguna yang dapat menurunkan risiko terjadinya stroke.

    PENYALAHGUNAAN ALKOHOL
    Pengurangan konsumsi alcohol bagi seorang peminum berat melalui screening dan metode konseling seperti dikemukakan The US Preventive Services Task For Update 2004 yang telah disahkan. Bagi seseorang yang mengkonsumsi alcohol, sebuah rekomendasi <- 2 kali minum perhari bagi laki-laki dan <- 1 kali minum bagi perempuan yang tidak hamil menggambarkan staus terbaik dari pengetahuan antara hubunga alcohol dan risiko terjadinya stroke

    PENYALAHGUNAAN OBAT
    Keberhasilan identifikas dan manajemen dari penyalah¬gunaan obat adalah tantangan. ketika seorang pasien diidentifikasi memiliki masalah ketergantungan obat, merujuk pada konseling yang tepat adalah sangat diperlukan.

    KONTRASEPSI ORAL
    Kenaikan risiko stroke berkaitan dengan pemakaian kontra¬sepsi oral dosis rendah pada wanita tanpa faktor risiko tambahan tampak rendah. Hal itu mendukung bahwa kontrasepsi oral kurang baik bagi wanita dengan faktor risiko tambahan seperti, merokok sigaret, gangguan tromboemboli primer. Bagi individu dengan peningkatan faktor risiko, terapi agresif terhadap faktor risiko stroke sangat  bermanfaat.

    GANGGUAN PERNAPASAN SAAT TIDUR
    Sleep Disturbance Breathing (SDB) berhubungan dengan risiko stroke.Tanya jawab saat pemeriksaan terutama pada pasien dengan obesitas abdominal dan hipertensi, tentang gejala SDB dan rujukan kepada seorang ahli tidur untuk evaluasi lebih lanjut adalah mungkin beralasan, khususnya bagi pasien dengan hipertensi yang resisten dengan pengobatan.

    MIGRAIN
    Masih terdapat keterbatasan data yang merekomendasikan pendekatan penanganan khusus yang dapat mengurangi risiko serangan stroke pertama pada wanita dengan migraine, termasuk migraine dengan aura.

    HIPERHOMOSISTEINEMIA
    Rekomendasi untuk menemukan pedoman terbaru intake harian dari folat (4oo microgram perhari), B6 (1,7 miligram perhari), dan B12 (2,4 mikrogram perhari) dengan konsumsi sayuran, buah, polong-polongan, daging, ikan, padi berfortifikasi dan sereal (untuk wanita tidak hamil, dan tidal menyusui) mungkin berguna untuk menurunkan risiko stroke. Di sini masih terdapat keterbatasan data yang merekomendasikan pendekatan spesifik yang dapat menurunkan risiko terjadinya stroke pertama pada pasien dengan peningkatan kadar homosistein. Sementara peng¬gunaan asam folat dan vitamin B yang telah diketahui memiliki peningkatan kadar homosistein untuk memberikan keselamatan dan biaya perawatan yang lebih rendah .

    PENINGKATAN LIPOPROTEIN (a)
    Meskipun tidak terdapat rekomendasi yang jelas tentang modifikasi Lp(a) yang dapat dibuat karena tidak adanya hasil studi yang menunjukkan keuntungan klinis, perawatan dengan niasin (formula lepas cepat dan luas dengan total dosis perhari 2000 mg yang dapat ditoleransi) bisa dipertimbangkan karena dapat mengurangi kadar Lp (a) sebanding 25%. Rekomendasi lebih lanjut sangat ditunggu dengan hasil percobaan prospektif akan manfaat niasin dan statin  dalam subjek berbagai konsentrasi Lp(a) dan Apo (a0 dengan subtype yang sama.

    PENINGKATAN LIPOPROTEIN YANG BERKAITAN dengan PHOSPOLIPASE A2
    Tidak terdapat rekomendasi tentang modifikasi Lp-PLA2 yang dapat dibuat karena tidak adanya hasil penelitian yang menunjukkan keuntungan klinis dengan penurunan kadarnya dalam darah.

    HIPERKOAGULABILITAS
    Di sini masih terdapat keterbatasan data yang mendukung rekomendasi khusus untuk pencegahan stroke primer pada pasien dengan trombofilia herediter maupun didapat.

    INFLAMASI
    Tidak terdapat bukti yang mendukung manfaat (hs-CRP) untuk menyaring seluruh populasi dewasa sebagai sebuah marker risiko vaskuler umum. Modifikasi faktor risiko yang agresif direkomendasikan bagi pasien dengan factor risiko tinggi terjadi¬nya stroke memberikan pengaruh terhadap faktor risiko tradisional tanpa memperhatikan kadar hs-CRP.

    INFEKSI
    Data masih sangat kurang untuk merekomendasikan terapi antibiotic untuk pencegahan stroke yang didasarkan seropositif terhadap 1 atau sebuah kombinasi organisme patogen penyebab. Penelitian yang akan datang dalam mengurangi risiko stroke didasarkan pada penanganan penyakit infeksi akan dibutuhkan dengan stratifikasi yang hati-hati dan identifikasi pasien dengan risiko paparan organisme.

    ASPIRIN
    Aspirin tidak direkomendasikan sebagai pencegahan stroke primer pada laki-laki. Pedoman terbaru merekomendasikan penggunaan aspirin sebagai profilaksis kardiovaskuler pada individu dengan factor risiko yang cukup tinggi untuk memberi keuntungan yang berhubungan dengan treatmen (dalam 10 tahun, risiko antara 6% sampai 10%), dan panel ini menyetujuinya. Aspirin sangat berguna bagi pencegahan stroke primer pada wanita dengan factor risiko yang cukup tinggi sehingga memberi keuntungan terhadap factor risiko yang berhubungan dengan terapi. Manfaat aspirin dalam kondisi khusus lainnya (seperti, atrial fibrilasi, stenosis arteri carotis) masih dibicarakan dalam kesem¬patan yang relevan untuk pernyataan tersebut (Hayden M et al,

    PENYAKIT SICKLE SEL (SCD)
    Dianjurkan pada anak – anak dengan  SCD untuk dialkukan skrining dengan TCD ultrasonik dimulai pada usia 2 tahun. Terapi transfusi dapat dipertimbangkan pada pasien yang memiliki peningkatan risiko. Meskipun jarak skrining optimal tidak pasti, dapat dipertimbangkan pada anak yang lebih muda dan telah dilakukan TCD pada tingkat tertentu dapat dilakukan skrining dengan frekuensi lebih banyak untuk memonitor perkembangan pada kelompok risiko tinggi dengan indikasi. Studi terbaru masih diperlukan, apakah perlu meneruskan transfusi pada penderita dengan terapi TCD karena akan kembali pada kondisi normal. Kriteria MRI dan MRA untuk menyeleksi anak–anak untuk pencegahan stroke primer dengan menggunakan transfusi masih belum ditetapkan, dan tes ini tidak dapat menggantikan TCD. Orang dewasa dengan SCD dapat dievaluasi untuk mengetahui faktor risiko stroke  dan dimanajemen berdasarkan pedoman umum pada pernyataan ini.

    TERAPI HORMON POSTMENOPOUSE
    Telah direkomendasikan bahwa terapi hormonal post¬menopouse (dengan estrogen, dengan atau tanpa progestin) tidak dapat digunakan sebagai pencegahan primer stroke. Manfaat terapi hormon pengganti untuk indikasi lain harus diinformasikan dengan risiko yang diperkirakan untuk efek vaskuler yang muncul yang telah dilaporkan dalam uji klinis. Tidaklah tersedia data yang cukup tentang manfaat dari terapi bentuk lain seperti estrogen dengan modulasi reseptor selektif.

    PENUTUP
    Hadirin yang saya muliakan,
    Banyak faktor risiko yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik. Untuk itu, berbagai anjuran, saran, dan pendapat yang apabila hal tersebut dilakukan bisa mengendalikan berbagai macam faktor risiko stroke dan dengan demikian kita dapat mencegah terjadinya stroke iskemik tersebut.

    UCAPAN TERIMA KASIH
    Hadirin yang saya muliakan
    Kini sampailah kita pada bagian akhir dari pidato pengukuh¬an saya. Sudah barang tentu saya sangat bersyukur ke hadirat Allah swt. atas segala limpahan taufik dan hidayah-Nya sehingga saya mendapat kekuatan dan kemampuan untuk mencapai jabatan guru besar yang terhormat ini.
    Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada:
    Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Menteri Pendi¬dikan Nasional atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan akademik sebagai guru Besar di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS).
    Kepada Prof. Dr. H.M. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K), mantan Rektor Prof. Drs. Haris Mudjiman, M.A., Ph.D. beserta Sekretaris Senat Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K), para anggota Senat Universitas, saya mengucapkan terimakasih atas persetujuan kenaikan jabatan dan pangkat saya.
    Kepada Prof. Dr. H. AA. Subijanto, dr., M.S. selaku Dekan dan Ketua Senat Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan anggota Senat Fakultas, saya sampaikan ucapan terimakasih atas persetujuan dan kesediaan pengangkatan kenaikan pangkat saya sebagai Guru Besar dan menerima saya di lingkungan Senat UNS.
    Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur RS Dr. Moewardi dan beberapa rumah sakit lain di Surakarta, saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengembangkan keahlian saya di bidang I Penyakit Saraf, baik untuk pelayanan, maupun pendidikan dan penelitian.
    Kepada Prof. DR. Suroto, dr., Sp.S (K) selaku Ka. SMF dan semua teman sejawat di bagian Ilmu Penyakit Saraf FK.UNS/RS Dr. Moewardi dan juga semua teman anggota PERDOSSI cabang Surakarta saya berterima kasih atas dukungan dan kerja samanya yang baik.
    Kepada para penderita penyakit stroke yang pernah saya rawat beserta keluarganya, saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya kepada saya. Penderitaan yang dialami telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi saya untuk terus mendalami ilmu saya.
    Kepada para guru saya sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan pascasarjana saya mengucapkan terima kasih atas semua pelajaran dan pengarahan yang pernah diberikan kepada saya.
    Kepada para murid dan mahasiswa yang pernah saya bimbing atau saya beri kuliah saya juga mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya dalam proses belajar mengajar yang selama ini kita jalani.
    Kepada teman-teman karyawan fakultas kedokteran khusus¬nya dan karyawan Universitas Sebelas Maret pada umumnya, tentu saya tidak lupa juga mengucapkan terima kasih atas bantuan serta kerja sama yang diberikannya selama ini.
    Teristimewa kepada para guru, teman, sahabat serta sejawat yang hadir dari dalam dan luar kota saya mengucapkan terima kasih atas bimbingan, dorongan dan kerja sama yang diberikan selama ini. Semoga hubungan kita terus bertambah akrab dalam upaya mengembangkan ilmu penyakit saraf serta pendidikan dan kesehatan masyarakat pada umumnya.

    Hadirin yang saya muliakan,
    Pada kesempatan ini, izinkanlah saya menyampaikan rasa hormat dan kasih sayang kepada keluarga terdekat saya.
    1. Kepada kedua orang tua saya, Ayah Oemar Hadi Siswoyo (Alm.) dan Ibu Suwarni (Alm.) saya mengucapkan terima kasih atas didikan dan tempaannya, yang tidak mungkin terbalas oleh saya. Semoga apa yang saya capai dapat menyenangkan hati orang tua saya. Khususnya kepada almarhum Ayah, Oemar Hadi Siswoyo yang sewaktu hidupnya selalu mendoakan saya untuk menjadi anak yang sholeh dan pandai. dan Almarhum Ibu yang selalu meneladani taat ibadah, sabar dan sosial. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosanya.
    2. Kepada kedua mertua saya, Bapak Soeparman (Alm.) dan Ibu Warsinah saya mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan doa restunya. Semoga almarhum Bapak Soeparman (Alm.) juga diampuni segala dosa dan diterima semua amal ibadah dan arwah beliau di sisi-Nya.
    3. Kepada semua saudara saya yang tercinta saya mengu¬cap¬¬kan terima kasih atas pengertian dan kerja sama kita selama ini.
    4. Kepada ketiga anak saya yang tercinta: Prasetia Adi Nugraha, S.T., M.M., Mira Laksmia Santi, S.T., dan Dr. Hendra Cahya Kumara, dan kedua menantu saya, Arina, S.E, M.M. dan Kokoh Firstono Jamil, S.T serta cucu pertama yang belum diberi nama. Saya menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas pengertian, dukungan serta doanya bagi saya dalam menekuni pekerjaan saya. Saya selalu berdoa semoga semua anak dan menantu saya bercita-cita mulia, tangguh, dan mempunyai daya juang yang tinggi dalam menjalani hidup ini dan kelak banyak berguna di masyarakat.
    5.  Kepada istri saya tercinta Prih Mardijanti, S.Si, yang telah mendampingi saya selama 34 tahun baik pada saat suka maupun duka selalu setia dan ikhlas serta tanpa menghiraukan kepentingannya sendiri. Dia selalu mendorong dan membantu dalam menyelesaikan pendidikan saya, mulai dari S1, S2, S3 hingga mencapai jabatan guru besar. Di mata para putra putri kami, dia bagaikan motor penggerak roda kehidupan yang dengan sabar dan ikhlas mengasuh serta membimbing mereka sampai ketiga putra kami berhasil menyelesaikan pendidikannya S1 dan S2. Saya berdoa Semoga Allah SWT memberikan imbalan atas pengor¬banan¬nya dan kami semua selalu dalam naungan dan ridloNya.
    Kepada Semua hadirin, tamu undangan, semua pihak dan handai taulan serta para guru besar dan teman sejawat yang tak dapat saya sebut satu persatu baik secara langsung maupun tak langsung telah menghadiri dan ikut membantu tercapainya jabatan guru besar ini.
    Akhirnya kepada semua pihak saya juga mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekeliruan saya baik yang saya sengaja maupun tidak, selama saya menekuni pekerjaan saya di lingkungan fakultas dan Universitas Sebelas Maret, pada masa lalu maupun pada masa datang.
    Semoga Allah swt. selalu memberikan semangat, kesabar¬an, petunjuk dan kemudahan bagi kita semua yang ikut berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan di negeri ter¬cinta, Indonesia.

    Terima kasih atas kesabaran dan perhatian Hadirin.

    Wa billaahi taufik wal hidayah
    Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh

    DAFTAR PUSTAKA

    Adams H, Adams R, Del Zoppo G, Goldstein LB; Stroke Council of the American Heart Association; American Stroke Assocation. Guidelines for the early management of patients with ischemic stroke: 2005 guidelines update: a scientific statement from the Stroke Council of the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2005;36:916 –923.
    American Heart Association. Heart Disease and Stroke Statistics—2004 Update. Dallas, Tex: American Heart Association; 2003.
    Anthoni, R & Charles, W. 2002. Aetiology and pathology of stroke. www.pharmj.com/pdf/hp/200202/hp_200202_stroke1.pdf
    Bonow RO, et al. ACC/AHA guidelines for the management of patients with valvular heart disease: a report of the American College of Cardiology/American Heart Asso¬ciation Task Force on Practice Guidelines (Committee on Management of Patients With Valvular Heart Disease).       J Am Coll Cardiol. 1998;32(5):1486 –1588.
    Broderick J, Brott T, Kothari R, Miller R, Khoury J, Pancioli A, Gebel J, Mills D, Minneci L, Shukla R. The Greater Cincinnati/Northern Kentucky Stroke Study: preliminary first-ever and total incidence rates of stroke among blacks. Stroke. 1998;29:415– 421.
    Cappuccio FP, Oakeshott P, Strazzullo P, Kerry SM. Application of Framingham risk estimates to ethnic minorities in United Kingdom and implications for primary prevention of heart disease in general practice: cross sectional population based study [published correction appears in BMJ. 2003;327:919]. BMJ. 2002;325:1271.
    Chobanian AV, et al; National Heart, Lung, and Blood Institute Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure; National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;289:2560 –2572
    Davies DP, Rodgers H, Walshaw D, James OF, Gibson GJ. Snoring, daytime sleepiness and stroke: a case-control study of first-ever stroke.J Sleep Res. 2003;12:313–318.
    Fang J, Alderman MH. Trend of stroke hospitalization, United States, 1988–1997. Stroke. 2001;32:2221–2226
    Gerai. 2008. Peran Statin Dalam Global Risk Reduction, Bukan Sekedar Penurun LDL. Majalah Farmacia vol 7 No.7 hal.58
    Gillum RF, Mussolino ME, Ingram DD. Physical activity and stroke incidence in women and men. The NHANES I Epidemiologic Follow-up Study. Am J Epidemiol. 1996; 143:860–869.
    Gordon T, Kannel WB, Castelli WP, Dawber TR. Lipoproteins, cardiovascular disease, and death. The Framingham Study. Arch Intern Med. 2001;141:1128 –1131.
    Grau AJ, Buggle F, Becher H, Zimmermann E, Spiel M, Fent T, Maiwald M, Werle E, Zorn M, Hengel H, Hacke W. Recent bacterial and viral infection is a risk factor for cerebro¬vascular ischemia: clinical and biochemical studies. Neurology. 1998;50:196 –203.

    Grundy SM, Pasternak R, Greenland P, Smith S Jr, Fuster V. AHA/ACC scientific statement: assessment of cardio¬vascular risk by use of multiple-risk-factor assessment equations: a statement for healthcare professionals from the American Heart Association and the American College of Cardiology. J Am Coll Cardiol. 1999;34:1348 –1359.
    Guyton JR, Blazing MA, Hagar J, Kashyap ML, Knopp RH, McK

2 Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.