Skip to content Skip to footer

PENCEGAHAN PRIMER TERHADAP PENYAKIT KARDIOVASKULER PADA PREDIABETES

Oleh :
Prof. Dr. Djoko Hardiman, dr., Sp.PD-KEMD
Disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka
Tanggal 19 Nopember 2009

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.

Ibu, Bapak dan hadirin yang saya muliakan,

Perkenankanlah pada kesempatan yang berbahagia ini saya mengajak hadirin yang mulia untuk memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT,  karena atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat berkumpul di Gedung Auditorium UNS dalam Sidang Senat Terbuka pada pagi hari ini untuk mengikuti penyampaian pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam, pada Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Saya menghaturkan terima kasih kepada Bapak Rektor/Ketua Senat Universitas Sebelas Maret yang telah mengizinkan saya menyampai­kan pidato pengukuhan yang berjudul:

Pencegahan Primer terhadap Penyakit Kardiovaskulerpada Prediabetes

Alasan saya memilih judul ini, yang pertama individu prediabetes berisiko terjadinya percepatan timbulnya aterosklerosis sehingga berisiko mengalami penyakit kardiovaskuler 1,5 kali dibanding orang normal; yang keduasebagian besar prediabetes dalam kurun waktu 10 tahun akan berkembang menjadi diabetes mellitus tipe-2 (DM tipe-2); yang ketiga prevalensi sindroma metabolik pada prediabetes lebih besar dibanding populasi normal sehingga lebih berisiko mengalami penyakit kardiovaskuler, mengingat sindroma metabolik merupakan kelompok beberapa faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler; yang keempat perlunya dilakukan pencegahan terhadap diabetes mellitus tipe-2 dan kegemukan yang telah disepakati para menteri kesehatan sedunia melalui persetujuan pada WHO dengan program “Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health“pada tahun 2004; yang kelimameningkatkan kesadaran kita semua untuk menjalan­kan pencegahan primer agar individu prediabetes tidak berkembang menjadi diabetes mellitus tipe-2 ataupun tidak masuk dalam sindroma metabolik maupun tidak menderita penyakit kardio­vaskuler.

Prediabetes merupakan suatu kondisi individu dengan kadar glukosa darah lebih tinggi dari rentang normal tetapi belum mencapai kondisi diabetik, yaitu individu dengan toleransi glukosa terganggu  dan  atau glukosa darah puasa terganggu (ADA, 2002) dan sebagian besar individu prediabetes telah didapatkan pening­katan risiko  percepatan timbulnya aterosklerosis (Hayden & Tyagi, 2002), yang selanjutnya terjadi penyakit kardiovaskuler (PKV) dan kematian dini akibat komplikasi penyakit kardiovaskuler ateros­klerotik (Eastman, 1997; Balkau  et al., 1998; The DECODE study group, 2001;  Saydah et al., 2001).

DM tipe-2 merupakan bagian terbesar dari diabetes yang ada ditengah masyarakat. Jumlah penderita DM tipe 2 di dunia dari tahun ke tahun makin lama makin meningkat, pada tahun 2003 jumlahnya sekitar 189 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat menjadi 324 juta atau meningkat 0,72 kali dibanding tahun 2003. Di kawasan Asia jumlah penderita DM pada tahun 2003 didapatkan jumlahnya sekitar 81,8 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat 0,91 kali yaitu sekitar 156,1 juta (Zimmet, 2003). Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2030 terdapat 12 juta penderita diabetes mellitus (diabetisi) di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2006).

Demikian juga jumlah individu dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) di dunia dari tahun ke tahun makin lama makin meningkat, pada tahun 2003 jumlahnya sekitar 314 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat menjadi 472 juta atau meningkat 0,50 kali dibanding tahun 2002. Di kawasan Asia jumlah individu TGT pada tahun 2003 didapatkan sekitar 170 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat 0,55 kali yaitu sekitar 263 juta (Zimmet, 2003).

Hadirin yang saya hormati,

Perkenankan saya untuk membahas masalah prediabetes.

Dalam Maret 2002 the Department of Health and Human Services(DHHS) dan American Diabetes Association (ADA) telah menentukan suatu terminologi baru suatu  keadaan atau kondisi individu dengan kadar glukosa darah lebih tinggi dari rentang normal tetapi belum mencapai kondisi diabetik, sebagai prediabetes yaitu individu dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), tanpa adanya keluhan maupun gejala apapun. Kondisi prediabetes yaitu IGT atau Toleransi Glukosa Terganggu bila kadar glukosa plasma 140 –   199 mg/dL, dan atau kadar glukosa plasma IFG atau Glukosa Darah Puasa Terganggu antara 100 – 125 mg/dL. Dalam kurun waktu 10 tahun akan berkembang menjadi DM tipe-2.

Individu dengan TGT atau GDPT mungkin kadar glukosanya normal (euglikemia) dalam kehidupan mereka sehari-hari, di­tunjuk­kan oleh kadar HbA1c yang normal atau mendekati normal. TGT dan GDPT sebenarnya bukanlah suatu entitas klinis tersendiri, tetapi lebih merupakan kategori risiko ke arah diabetes dan atau penyakit kardiovaskuler di masa mendatang. TGT sering dikaitkan dengan sindroma metabolik. Dengan demikian, kondisi prediabetik mungkin tidak terlibat langsung dalam pathogenesis penyakit kardiovaskuler, namun mungkin sebagai indikator peningkatan risiko berdasarkan hubungannya dengan faktor risiko kardio­vaskuler lainnya.

Resistensi insulin merupakan suatu keadaan penurunan kemampuan tubuh dalam merespon insulin baik yang berasal dari dalam maupun luar tubuh, sehingga terjadi penurunan pada ambilan glukosa (uptake glucose) dan penggunaan glukosa (utilization) oleh tubuh, dibanding orang normal (ADA, 1998; Lebovitz, 2001). Resistensi insulin merupakan dasar timbulnya prediabetes, dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain faktor keturunan, pola makan yang tidak sehat seperti tinggi lemak atau tinggi karbohidrat maupun kurang serat, pola hidup yang kurang aktivitas fisik atau olahraga, kegemukan (obesitas), ber­tambahnya umur, penggunaan obat-obat tertentu. Resistensi insulin terjadi pada beberapa jaringan seperti di hati, jaringan lemak dan otot skelet, yang pada akhirnya terjadi hiperinsulinemi. Kondisi hiperinsulinemia lambat laun akan menyebabkan terjadinya hiper­tensi, yang pada gilirannya dapat mempercepat timbul ateros­klerosis ataupun penyakit kardiovaskuler.

Suatu penelitian epidemiologi yang bertujuan mencari hubungan antara kadar glukosa dua jam pasca pembebanan (pada TTGO) dan angka kematian serta kejadian komplikasi kardio­vaskuler pada  penelitian Diabetes Epidemiology: Collaborative Analysis Of Diagnostic Criteria in Europe (DECODE), ber­kesimpulan bahwa ada korelasi kuat secara statistik antara kadar glukosa plasma 2 jam pasca pembebanan (TGT ataupun DM tipe-2) dengan meningkatnya angka kematian penyakit kardiovaskuler. Penelitian yang serupa The Funagata Diabetes Study yang mengamati subyek TGT selama 7 tahun, menyimpulkan bahwa angka kematian yang disebabkan penyakit arteri koroner dan stroke lebih tinggi pada TGT dibanding pada GDPT. Selanjutnya dari  penelitian DECODE dan Funagata study tersebut juga ber­kesimpul­an yang sama bahwa hiperglikemi merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskuler.

Hasil penelitian Hannefeld et al., terhadap penebalan tunika intima-media arteri karotis pada TGT dan GDPT, menyimpulkan bahwa baik pada TGT maupun pada TGT-GDPT tunika intima-media arteri karotis lebih tebal dibanding pada GDPT. Dari data penelitian epidemiologi maupun pemeriksaan tunika intima-media dapat disimpulkan bahwa hiperglikemi merupakan penyebab penyakit aterosklerosis kardiovaskuler.

Penelitian Hisayama (1996) meliputi 2427 subyek berumur antara 40-79 tahun, tanpa adanya infark miokard ataupun stroke, dilakukan test toleransi glukosa oral (TTGO) dengan pembebanan 75 gram glukosa. Ditemukan 1.693 subyek dengan toleransi glukosa normal (TGN), 474 subyek dengan toleransi glukosa terganggu (TGT), dan 260 subyek dengan diabetes mellitus. Setelah dilakukan pengamatan selama 5 tahun, disimpulkan bahwa subyek TGT (prediabetes) dengan hiperglikemi pasca pembebanan berisiko mendapatkan penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung koroner dan stroke) lebih tinggi secara bermakna dibanding kelompok subyek dengan toleransi glukosa normal. Hubungan ini lebih nyata pada peningkatan kadar glukosa pasca pembebanan yang melonjak. Berbagai penelitian epidemiologis lain juga mem­buktikan bahwa makin tinggi hiperglikemi pasca pembebanan merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler, seperti (1) Hono­lulu Heart Program (1999); (2) Insulin and CVD, Paris Prospective Study (1991); (3) The DECODE Study (2001); (4) The DECODE Study (2004).

Lonjakan-lonjakan hiperglikemi pasca pembebanan akan menyebabkan terbentuknya superoksid dalam mitokondria (mito­chondrial electron transport chain) meningkatkan stress oksidatif, peningkatan reaktive oxygen species (ROS) ini akan berakibat terjadinya peningkatan pembentukan carboxymethylisine (CML), peningkatan aktivitas protein kinase C (PKC), peningkatan akiti­vitas NFkB di monosit darah perifer, peningkatan faktor-faktor koagulasi, peningkatan oksidasi kolesterol LDL, yang akan mengakibat­kan terjadinya disfungsi endotel (Quagliaro et al., 2003).

Komplikasi pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) sampai sekarang masih merupakan tantangan yang belum terpecah­kan secara tuntas dalam managemen pasien dengan DM tipe-2. Pada pasien yang baru terdiagnosa DM tipe-2, lebih sering dihubungkan dengan komplikasi mikrovaskuler dibanding terjadi­nya  komplikasi  makrovaskuler. Salah satu penjelasan mengenai hubungan tersebut yaitu adanya beberapa hasil beberapa penelitian lain yang menyimpulkan bahwa risiko terjadinya penyakit kardio­vaskuler sudah berlangsung saat sebelum onset  DM tipe-2 muncul yaitu pada saat dalam kondisi prediabetes. Faktor risiko kardio­vaskuler pada umumnya terjadi pada individu prediabetes dan banyak faktor risiko tradisional lain, di antaranya obesitas, hiper­tensi, dan dislipidemia yang merupakan ciri utama sindroma resistensi insulin. Terjadinya peningkatan adanya resistensi insulin dan kemunduran sekresi insulin sekaligus merupakan prediktor terjadinya perkembangan ke arah DM tipe-2 (Festa et al., 2003). Sebelumnya dalam penelitian the San Antonio Heart Study bahwa perubahan ke arah aterogenik pada faktor risiko kardiovaskuler pada individu prediabetes utamanya disebabkan oleh adanya resistensi insulin dibanding defek sekresi insulin (Haffner et al., 1998; Festa et al., 2003).

Sedangkan penyakit kardiovaskuler terbukti berhubungan dengan adanya proses inflamasi kronik, maupun subklinis, yang diindikasikan pada kondisi adanya peningkatan kadar protein proinflamasi sistemik. Demikian juga bahwa protein proinflamasi telah terbukti berhubungan dengan adanya resistensi insulin (Festa et al., 2000) dan kadar glukosa darah. Selanjutnya peningkatan protein proinflamasi juga dihubungkan dengan insidensi diabetes mellitus pada populasi umur muda (Festa et al., 2005), populasi usia lanjut (Barzilay et al, 1999), wanita sehat usia muda (Fernadez-Real JM & Ricart W,  2003), dan populasi  usia muda suku Pima Indian (Vosarova  et al., 2002).

Di lain pihak peningkatan Kolesterol-LDL (Kolesterol jelek) merupakan salah satu di antara prediktor terjadinya penyakit arteri koroner. Penurunan Kolesterol-LDL akan menurunkan serangan penyakit vaskuler. Walaupun sebagian besar pasien dengan penyakit arteri koroner didapatkan kolesterol-LDL yang tinggi, namun banyak juga didapatkan pasien dengan kolesterol-LDL nya dalam batas normal. Dalam kelompok ini, faktor risiko nontradisional seperti low grade systemic inflammation telah terbukti dapat menyokong dalam menjelaskan perkembangan ke arah penyakit arteri koroner (Ridker, 2003). Adanya kelainan metabolisme koles­terol – LDL dengan peningkatan kolesterol-LDL yang kaya akan trigliserida lebih meningkatkan kondisi inflamasi vaskuler (Marz et al., 2004).

Hadirin yang saya hormati,

Perkenankan saya untuk membahas mengenai  DM tipe-2, obesitas dan sindroma metabolik

Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan tanda kadar glukosa darah yang lebih tinggi dari normal (hiperglikemia) yang merupakan akibat adanya kelainan kinerja insulin (resistensi insulin), gangguan dalam sekresi insulin, atau kombinasi keduanya. Gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan kerusakan beberapa organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.

Resistensi insulin merupakan suatu keadaan penurunan kemampuan tubuh dalam merespon insulin baik yang berasal dari dalam maupun luar tubuh, sehingga terjadi penurunan pada ambilan glukosa (uptake glucose) dan penggunaan glukosa (utilization) oleh tubuh, dibanding orang normal (ADA, 1998; Lebovitz, 2001). Demikian juga bahwa resistensi insulin merupakan dasar timbulnya DM tipe-2, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain faktor keturunan, pola makan yang tidak sehat seperti tinggi lemak atau tinggi karbohidrat maupun kurang serat, pola hidup yang kurang aktivitas fisik atau olahraga, kegemukan (obesitas), ber­tambah­nya umur, penggunaan obat-obat tertentu.

Konsekuensi adanya resistensi insulin dapat ditentukan dengan mengamati jalur aksi insulin dimana resistensi insulin terjadi dan latar belakang genetik individu, dan timbulnya kon­sekuensi tersebut sangat dipengaruhi kondisi fungsi sel b. Pada sindroma metabolik, resistensi insulin terjadi pada aktivitas insulin dalam meregulasi jalur PI 3-kinase (McFarlane et al., 2001). Pada kondisi fungsi sel b yang normal, timbulnya resistensi insulin akan menyebabkan peningkatan risiko terjadinya penyakit kardio­vaskuler dan perkembangan profil sel endotel ke arah terjadinya aterosklerosis atau sindroma polikistik ovarii pada wanita. Di lain pihak pada kondisi insufisiensi fungsi sel b, timbulnya resistensi insulin terutama akan menyebakkan terjadinya DM tipe-2.

Adanya gangguan dalam sekresi insulin pada penderita DM tipe-2, tubuh masih dapat tetap memproduksi insulin, tetapi tidak mencukupi. Fungsi kelenjar pankreas pada pasien DM tipe-2 tidak hanya memproduksi jumlah insulin yang tidak mencukupi, tetapi juga sekresi insulin yang terlambat dalam merespon peningkatan kadar glukosa dalam darah.

Fakta-fakta penting problem Diabetes di seluruh dunia di antaranya:

  1. Setiap 30 detik, di seantero dunia, satu kaki akan hilang sebagai akibat penyakit diabetes. Sehingga dalam satu tahun lebih dari 1 juta amputasi terpaksa dilakukan, dan diperkirakan hingga 85% amputasi ini seharusnya dapat dicegah.
  2. DM tipe-2  sebagai penyebab angka kematian yang lebih tinggi dibanding HIV/AIDs.
  3. Setiap 10 detik, satu orang meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan DM tipe-2, dan pada waktu yang bersamaan juga ditemukan 2 penderita DM tipe-2 baru.
  4. Diabetes adalah penyebab utama kebutaan dan penglihatan kabur pada orang dewasa di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
  5. Lebih dari 90% kasus diabetes merupakan DM – tipe-2.
  6. Seorang diabetesi tipe-2 mempunyai risiko serangan jantung yang sama besar dengan seorang non diabetes tetapi pernah mengalami serangan jantung.
  7. Kegemukan merupakan faktor penting bagi terjadinya DM tipe-2.
  8. Pada tahun 1985 terdapat 30 juta penderita DM tipe-2 di dunia, tahun 2000 meningkat menjadi 171 juta, dan diperkirakan pada tahun 2030 terdapat 366 juta penderita DM tipe-2.
  9. Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan terdapat 14 juta DM tipe-2, tetapi baru 50% yang sadar sebagai penderita DM tipe-2 dan di antaranya hanya 30% saja yang datang berobat.
  10. Sebenarnya banyak penderita DM tipe-2 tersebut dapat dikendalikan atau dicegah terjadinya, dengan hanya melak­sanakan pola hidup sehat seperti pola makan yang sehat, dan pola aktivitas fisik yang terprogram serta terukur.

Obesitas (kegemukan) merupakan suatu keadaan terjadinya  penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh, terjadi akibat energi yang masuk berlebihan (pola makan yang tidak sehat) dan energi yang digunakan tubuh menurun (pola hidup kurang aktivitas fisik), yang sering juga dihubungkan dengan adanya faktor keturun­­an (genetik). Obesitas dapat menimbulkan berbagai problem, seperti penampilan kurang menarik, rasa percaya diri berkurang, dan yang perlu kita sadari bahwa obesitas terutama obesitas abdominal (obesitas sentral) dapat menimbulkan gangguan kesehatan sub klinis (yang tanpa gejala) dan bila kondisi ini tidak dikelola dengan baik akan dapat menyebabkan timbulnya penyakit berbahaya di kemudian hari, terutama terjadinya penyakit jantung koroner dan DM tipe-2.

Lemak yang banyak ditimbun di pinggang dan rongga perut pada pria, umumnya seperti “buah apel”. Sedangkan pada wanita menyerupai “buah pir”, penumpukan lemak terjadi di bagian bawah, seperti pinggul, pantat dan paha. Gemuk bentuk “apel” lebih berbahaya dibandingkan gemuk bentuk “pir”. Yang ber­bahaya adalah timbunan lemak di dalam rongga perut, yang disebut sebagai obesitas sentral atau obesitas abdominal.

Cara yang paling gampang mengukur tingkat kegemukan adalah mencubit daging di bagian perut. Bila dapat mencubit daging di bagian perut sebesar lebih dari 5 cm, maka dapat dikatakan sebagai kegemukan atau obesitas.

WHO (1998) menggunakan Index Masa Tubuh (IMT) untuk mengukur tingkat obesitas. IMT dihitung dari Berat Badan (Kg) dibagi Tinggi Badan kuadrat (m2). Contoh : Bila tinggi badan            160 cm (1,6 m) dan berat badan 70 Kg,

Maka

Untuk orang di Indonesia (Asia Pasifik), kisaran IMT normal  antara  18,5 – 22,9 kg/m2, Lebih dari itu masuk kelompok berisiko, dan bila IMT di atas 25 kg/m2 disebut sebagai kegemukan atau obesitas (Inoue et al., 2000).

Pengukuran IMT tidak mencerminkan distribusi timbunan lemak di dalam tubuh. Untuk menilai timbunan lemak di dalam tubuh atau untuk mendeteksi kegemukan sentral atau obesitas abdominal maka dapat dilakukan pengukuran lingkar pinggang (LP) dengan menggunakan pita meteran (yang digunakan oleh penjahit). Mengingat kegemukan sentral atau kegemukan abdo­minal sering dihubungkan dengan komplikasi metabolik dan pem­buluh darah (kardiovaskuler), tampaknya pengukuran LP lebih memberi arti dibandingkan dengan IMT. Adanya timbunan lemak di perut tercermin dari meningkatnya lingkar pinggang (LP). Untuk ukuran normal bagi orang Indonesia, dikatakan obesitas bila “LP wanita lebih atau sama 80 cm dan pria lebih atau sama  90 cm” (Inoue et al., 2000).

Prediabetes dan DM tipe-2 seringkali bersama-sama dengan obesitas, hipertensi dan dislipidemia (kadar kolesterol HDL yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi) sebagai manifestasi dari Sindroma Metabolik yang merupakan kumpulan dari beberapa faktor risiko timbulnya penyakit kardiovaskuler, yang terjadi pada 47 juta orang di Amerika Serikat. Komponen sindroma metabolik tersebut sudah dapat diidentifikasi pada subyek prediabetik beberapa tahun sebelum ditegakkannya diagnosis DM tipe 2. Penelitian epidemiologis, termasuk Paris Prospective Study (PPS), menunjuk­kan bahwa prediabetes merujuk pada peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler. Pasien yang akhirnya menderita DM tipe-2, menunjuk­kan risiko ikutan gangguan aterosklerotik, yang di­manifestasi­kan sebagai peningkatan risiko 2-4 kali lipat untuk kejadian penyakit kardiovaskuler, stroke dan penyakit vaskuler perifer, dibandingkan subyek non diabetik. Risiko terjadinya serangan pertama infark miokard pada pasien diabetik mirip dengan risiko serangan berulang infark miokard pada pasien non diabetik yang telah mengalami serangan sebelumnya. Sayangnya, prognosis terjadinya serangan berulang infark miokard atau dilakukannya angioplasti perkutan lebih tinggi pada subyek diabetik daripada non diabetik. Disparitas tragis ini menekankan pentingnya pencegahan penyakit kardiovaskuler.

 

Upaya pencegahan primer terhadap penyakit kardiovaskuler

pada prediabetes

           

Dari uraian  di atas, bahwa prediabetes merupakan kondisi yang mendahului terjadinya DM tipe-2. Beberapa studi telah membuktikan bahwa resistensi insulin merupakan dasar timbulnya prediabetes. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh berbagai factor, antara lain faktor keturunan, pola makan yang tidak sehat seperti tinggi kalori atau tinggi gula maupun kurang serat, pola hidup yang kurang aktivitas fisik atau olahraga, kegemukan (obesitas), bertambahnya umur, penggunaan obat-obat tertentu. Resistensi insulin terjadi pada beberapa jaringan seperti di hati, jaringan lemak dan otot skelet, yang pada akhirnya terjadi hiper­insulinemi. Kondisi hiperinsulinemia lambat laun akan menyebab­kan terjadinya hipertensi, yang pada gilirannya dapat mempercepat timbul aterosklerosis ataupun penyakit kardiovaskuler. Demikian juga bahwa insidensi prediabetes dari tahuh ke tahun meningkat dengan pesat, apalagi risiko prediabetes untuk mendapatkan penyakit kardiovaskuler sama dengan diabetes mellitus. Oleh karena itu prediabetes merupakan ancaman yang tersembunyi, dan perlu kita sadari bahwa prediabetes dapat menimbulkan gangguan kesehatan sub klinis (yang tanpa gejala) dalam arti merasa sehat-sehat saja, namun bila kondisi ini tidak dikelola dengan baik akan dapat menyebabkan timbulnya penyakit berbahaya di kemudian hari terutama timbulnya penyakit kardiovaskuler dan DM tipe-2.

Pencegahan primer yang dimaksud merupakan upaya yang ditujukan pada individu prediabetes, agar dapat dicegah ber­kembang menjadi DM tipe-2 dan timbulnya penyakit kardio­vaskuler. Dengan berbagai upaya kendali lingkungan dan perilaku dalam masyarakat yang ditujukan untuk menurunkan tingkat faktor risiko penyebab pada populasi atau kelompok individu tanpa memperhatikan tingkat risiko individu. Merubah pola hidup secara intensif, intervensi dengan obat-obatan dan menghentikan rokok merupakan cara terbaik dalam tatalaksana prediabetes dengan tujuan mencegah perkembangan menjadi DM tipe-2  dan timbulnya  penyakit kardiovaskuler.

Ada 3 macam faktor risiko untuk timbulnya prediabetes yaitu faktor risiko yang tidak dapat dirubah, faktor risiko yang dapat dirubah dan faktor lain yang terkait dengan risiko prediabetes. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah meliputi (1) riwayat keluarga (genetik) dengan prediabetes; (2) umur, risiko untuk mendapatkan prediabetes meningkat seiring dengan meningkatnya umur; (3) riwayat lahir dengan berat badan rendah kurang dari                  2,5 kg. Sedangkan faktor risiko yang dapat dirubah meliputi                (a) pola hidup dengan makan yang tidak sehat, dengan tinggi kalori, tinggi gula dengan rendah serat, (b) kegemukan; (c) pola hidup kurang aktivitas fisik atau olah raga; (d) hipertensi;                       (e) dislipidemia. Selain itu masih ada faktor lain yang terkait dengan risiko prediabetes meliputi penderita sindroma metabolik, dan penderita dengan sindroma polikistik ovarium.

Dalam thesis yang berjudul “Intervensi jangka pendek dengan metformin pada prediabetes non obes” suatu penelitian perspektif eksperimental mengenai pencegahan primer per­kembang­an prediabetes ke diabetes dan aterosklerosis, saya laporkan bahwa intervensi jangka pendek dengan metformin pada subyek prediabetes non obes, dapat menurunkan secara signifikan risiko berkembangnya menjadi DM tipe-2, dan juga dapat menurunkan secara signifikan faktor risiko penyakit kardiovaskuler dibanding kelompok yang mendapatkan plasebo, namun pengen­dalian resistensi insulin dalam penelitian ini tidak dipengaruhi secara signifikan (Hardiman, 2005).

Laporan hasil penelitian The Diabetes Prevention Program Research Group dan The DPP randomized trial di Amerika Serikat, bahwa pada kelompok prediabetes yang menjalankan perubahan pola makan yang intensif dengan asupan rendah kalori dan rendah lemak, dan perubahan pola aktivitas fisik dengan latihan jasmani sedikitnya 150 menit tiap minggu dengan intensitas sedang, baik selama tiga tahun maupun yang 3,2 tahun dapat menurunkan faktor risiko penyakit kardiovaskuler secara signifikan, dibanding kelompok  dengan intervensi metformin ataupun yang mendapat placebo (Ratner et al., 2005; Goldberg et al., 2009).

Perubahan pola makan pada prediabetes dengan jumlah asupan kalori sesuai kebutuhan yang berdasarkan jenis kelamin, umur, berat badan dan aktivitas fisik dan pekerjaan sehari-hari. Jumlah asupan kalori makanan sehari-hari harus disesuaikan dalam usaha mencapai berat badan ideal. Asupan karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang, sehingga tidak menimbulkan kenaikan gula darah yang tinggi setelah makan. Selain itu asupan makanan juga mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat larut.

Dengan melaksanakan perubahan pola makan secara intensif, selain diperoleh penurunan berat badan sebanyak 5 – 10% bagi prediabetes dengan kegemukan, juga didapatkan penurunan faktor risiko penyakit kardiovaskuler seperti penurunan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL maupun kadar trigliserida serta pening­katan kadar koleserol HDL, yang semua ini dapat mencegah atau memperlambat perkembangan ke arah DM tipe-2 dan timbulnya penyakit kardiovaskuler.

Perubahan pola hidup kurang aktivitas dengan latihan jasmani yang terukur dan terprogram, disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu, latihan jasmani diusahakan sesuai dengan konsep CRIPE (Continuous, Rhythmical, Interval, Progressive and Endurance training). Dengan latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki atau jogging maupun senam ataupun renang, diusahakan mencapai zona sasaran yakni frekuensi denyut nadi maksimal  3/4 (220 – umur).  Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali tiap minggu, selama 30 – 45 menit. Dengan latihan jasmani yang intensif,  terprogram dan jangka panjang, dapat menurunkan berat badan, menurunkan kadar gula darah, memperbaiki kepekaan dan me­nambah jumlah reseptor insulin dengan demikian dapat menurun­kan resistensi insulin, menurunkan kadar kolesterol LDL dan trigliserida, meningkatkan kadar kolesterol HDL, memperbaiki dan memelihara elastisitas jaringan-jaringan organ tubuh seperti jantung atau paru maupun seluruh pembuluh darah dalam tubuh dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan hasil akhir dapat mencegah atau memperlambat perkembangan prediabetes ke arah timbulnya DM tipe-2 dan timbulnya penyakit kardiovaskuler.

Penutup

Prediabetes meliputi toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa terganggu, merupakan kondisi yang mendahului terjadinya DM tipe-2, perlu diketahui lebih dini untuk mencegah berkembangnya menjadi DM tipe-2 ataupun penyakit kardio­vaskuler.

Prediabetes dan sindroma metabolik merupakan sumber utama DM tipe-2, yang nantinya akan menimbulkan masalah kesehatan global yang makin bertambah, terutama akibat kompli­kasi kardiovaskulernya. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan glukosa baik puasa maupun 2 jam setelah pembebanan terutama bagi mereka yang mempunyai faktor risiko DM tipe-2 secara berkala.

Merubah pola makan yang tidak sehat maupun pola hidup yang kurang aktivitas fisik secara intensif dan berkesinambungan jangka panjang, intervensi farmakologi dan menghentikan rokok  merupakan tatalaksana prediabetes dengan tujuan mencegah perkembangan menjadi DM tipe-2 dan timbulnya penyakit kardio­vaskuler, yang akhirnya dapat mencegah meningkatnya morbiditas, mortalitas, dan beban pembeayaan kesehatan akibat komplikasinya.

Ucapan Terima Kasih

Hadirin yang saya muliakan,

Perkenankan sebelum mengakhiri pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam, sekali lagi saya panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang selalu melimpah­kan ridho, rochmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya serta karunia yang penuh barokah kepada saya sekeluarga.

Kepada Pemerintah Republik Indonesia saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan sebagai Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Semoga Allah SWT akan selalu memberikan kekuatan kepada saya untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajiban saya pada masa mendatang.

Kepada Rektor Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ(K); Sekretaris Senat UNS; Prof. Drs. Sukiyo; Prof. Drs. Haris Mujiman, M.A.,Ph.D. selaku mantan Rektor; dan para Guru Besar, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang mendalam atas persetujuan dan kesediaan saudara yang berkenan menerima saya untuk diangkat sebagai Guru Besar dan diterima masuk di lingkungan Senat Universitas Sebelas Maret.

Pada pengukuhan Jabatan Guru Besar saya ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

Prof. Dr. H. AA. Subianto, dr., MS. Dekan Fakultas Kedokteran UNS beserta seluruh Anggota Senat Fakultas Kedokteran UNS yang telah membantu proses pengusulan Guru Besar saya.

Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah mengizinkan saya untuk mendidik baik calon-calon dokter Sp.PD-1 dan calon-calon dokter di lingkungan Rumah Sakit.

Semua guru saya di SR. Harjodipuran, SMP Kasatriyan I,  SMAN III, serta seluruh dosen FK. PTPN Veteran dan FK. UNS Sebelas Maret semuanya di Surakarta, FK. UGM dan FK. Unair atas bimbingan Bapak dan Ibu semua sehingga saya dapat berhasil mencapai cita-cita saya.

dr. Ny. Poestika Sastroamijoyo, Sp.PD-Sp.JP (almarhum),  yang telah menerima saya untuk mengikuti pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta, dr. H. Haryono Adenan Sp.PD-KGEH (almarhum), Prof. H. AH Asdie, dr., Sp.PD-KEMD, Prof. P. Wijono, dr., Sp.PD-KEMD, Ph.D (almarhum), sebagai guru saya yang telah memberi ilmu hingga saya menjadi seorang ahli Penyakit Dalam.

Prof. Dr. H. Askandar Tjokroprawiro, dr., Sp.PD-KEMD; Prof. Dr. Marsetio Donosepoetro, dr., Sp.PK(K), Prof. Purnomo Suryohudoyo, dr.; Prof. Dr. H. Rochmad Romdoni, dr., Sp.PD, Sp.JP(K), sebagai guru saya yang telah memberikan ilmu, semangat, dorongan dan telah mengantar saya hingga dapat menyelesaikan Pendidikan Program Pasca Sarjana (S3).

dr. Pradana Soewondo, Sp.PD-KEMD sebagai ketua PB. PERKENI; Prof. Slamet Soejono, dr., Sp.PD-KEMD; Prof. Dr. Sidartawan Soegondo, dr., Sp.PD-KEMD selaku mantan PB.PERKENI, yang telah menerima saya menjadi anggota, menjadi ketua PERKENI Cabang Surakarta hingga saya dapat mengikuti seluruh kegiatan PERKENI untuk mendapat gelar Konsultan Endokrinologi Metabolisme dan Diabetes.

Prof. Dr. RRJ. Djokomoeljanto, dr., Sp.PD-KEMD; Prof. Dr. Darmono, dr., Sp.PD-KEMD, sebagai guru saya dalam bidang Endokrinologi & Metabolisme dari FK. UNDIP Semarang yang telah berkenan mengusulkan saya kepada Kolegium Ilmu Penyakit Dalam untuk mendapat gelar Konsultan Endokrinologi Metabo­lisme dan Diabetes.

Kepala Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK.UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta Prof. Dr. H. A. Guntur Hermawan, Sp.PD-KPTI; dr. H.M. Bambang Poerwanto, Sp.PD-KGH mantan Ka. Lab/SMF, seluruh staf dosen, tenaga administrasi, tenaga para­medik di Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK.UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah memberikan bantuan dan dorongan dalam bentuk apa pun sehingga saya dapat menyelesaikan pendi­dikan Program Pascasarjana di UNAIR Surabaya sampai dengan pengukuhan Guru Besar.

Laboratorium Prodia Jakarta dan Surakarta yang telah membantu dalam menyelesaikan Pendidikan Program Pasca Sarjana serta terlaksananya acara pengukuhan saya sebagai Guru Besar.

Rekan-rekan Farmasi atas kerja sama yang baik dalam menyelesaikan S3 dan terlaksananya acara pengukuhan saya sebagai Guru Besar.

Semua penderita beserta keluarga yang dalam situasi kritis dan sulit tetap tabah, patuh dan penuh pengertian dalam upaya berobat. Tanpa disadari mereka telah menambah pengetahuan dan pengalaman saya yang sangat berharga. Dengan demikian secara tidak langsung mereka telah berperan sebagai guru yang saya hormati.

Almarhum orang tua saya, Bapak dan Ibu R. Pronodiwirjo yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang sampai dapat meraih keberhasilan saya ini. Saya mengucap­kan banyak terima kasih dan hormat yang setinggi-tingginya. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan mengampuni segala dosanya dan diterima ibadahnya.

Keempat anakku, Dicky Arnendro Tamtomo, SH, Sp.N, beserta menantu Maya Widyana Dewi, SE dan cucu Inez Arnendyo Putri serta Jasmine Arnendyo Tamtomo; Ryan Rachmanto dr., Sp.PD beserta menantu Miskiyah dr., Sp.A dan cucu Ariel Rachmanto serta Karenina Rachmanto; Jodi Purnomo SE-MM beserta menantu R. Indah Hafidha, SE dan cucu Vania Permatasari, dan Ova Rachmawati, ucapan terima kasih tak terhingga atas pengertian kalian yang memahami kesibukan ayah kalian, dorongan dan doa kalian semuanya untuk mencapai gelar ini. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rochmat dan karunia-Nya.

Istri saya tercinta, yang telah mendampingi saya selama tiga puluh tujuh tahun baik pada saat suka maupun duka, selalu setia dan ikhlas serta tanpa menghiraukan kepentingannya sendiri, dia selalu mendorong dan membantu dalam menyelesaikan pendidikan saya mulai dari S1, S2, S3 hingga mencapai jabatan Guru Besar. Dimata para putra putri kami dia bagaikan motor penggerak roda kehidupan keluarga yang dengan sabar dan ikhlas mengasuh serta membimbing mereka sampai ketiga putra kami berhasil menyelesai­kan pendidikannya S1 dan S2, dan putri kami yang baru dalam pendidikan S1 Fakultas Kedokteran UNS. Saya berdoa semoga Allah SWT memberikan imbalan atas pengorbanannya dan kami semua senantiasa dalam naungan ridlo-Nya.

Semua hadirin, tamu undangan, semua pihak dan handai taulan serta para Guru Besar dan teman sejawat yang tak dapat saya sebut satu persatu, baik secara langsung maupun tak langsung telah menghadiri dan ikut membantu tercapainya jabatan Guru Besar ini.

Pada akhirnya, saya sebagai manusia biasa tidak akan lepas dari khilaf serta kesalahan baik dalam ucapan maupun tindakan yang telah mengenai siapa saja terutama selama proses pengurusan Guru Besar ini. Maka dari itu, dengan setulus hati saya mohon maaf sebesar-besarnya dan semoga Anda sekalian sudi kiranya dengan ikhlas memberi maaf kepada saya.

Wa billaahi taufik wal hidayah

Wassalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh

Daftar Pustaka

American Diabetes Association (ADA), 1998. Type 2 Diabetes in  children and adolescents Consencus Statement). Diabetes Care23 : 381-389.

American Diabetes Association (ADA), 2002. Screening for diabetes. Diabetes Care 25(suppl.1): S21-S24.

American Diabetes Association National Institute of Diabetes,  Digestive and Kidney Diseases, 2004. The Prevention or Delay of type 2 Diabetes.  Diabetes  Care 27; Suppl 1 : S47-52.

Balkau B, Shiply M, Jarret RJ, Pyorala K, Forhan A, Eschwege E, 1998.  High blood glucose concentration is a risk factor for mortality in middle-aged nondiabetic men : 20-year follow up in the Whitehall study, the Paris Prospective Study, and the Helsinski Policemen study. Diabetes Care 21 : 360-367.

Barzilay J, Spiekerman CF, Wahl PW, Tracy RP, et al., 1999.  Cardiovascular disease in older adults with glucose disorders: Comparison of ADA criteria for diabetes mellitus with WHO criteria. Lancet 354:622-625.

Buchfiel CM, David Curb J, Arakaki R, Abbott RD, et al., 1999. Cardiovascular risk factors and hyperinsulinemia in elderly men: The Honolulu Heart Program Annals of Epidemiology  6 : 490-497

Eastman RC, Cowie CC, Harris MI, 1997. Undiagnose diabetes or impaired glucose tolerance and cardiovascular. Diabetes Care  20 : 127-128

Fernadez-Real JM & Ricart W, 2003. Insulin Resistance and Chronic Cardiovascular Inflammatory Syndrome. Endo­crine Review 24(3): 278-301.

Festa A, Agostino RD, Howard G, Mykkanen L, Tracy RP, Haffner SM, 2000. Chronic subclinical inflammation of the Insulin resistance syndrome. Circulation 102: 42-47.

Festa A, Hanley AJG, Tracy RP, D’Agostino R, Haffner SM,  2003. Inflammation in the Prediabetic State Is Related to Increased Insulin Resistance Rather Than Decreased Insulin Secretion.Circulation 108: 1822-1830.

Festa A and S. Haffner SM, 2005. Inflammation and Cardio­vascular Disease in Patients With Diabetes: Lessons From the Diabetes Control and Complications Trial Circulation 111(19) : 2414-2415.

Fontbonne AM & Eschwege EM, 1991. Insulin and CVD. Paris Prospective Study. Diabetes Care 14 (6) : 461-469.

Fujishima M, Kiyohara Y, Kati I, Ohmura T et al., 1996.  Diabetes and cardiovascular disease in a prospective population survey in Japan. The Hisayama Study. Diabetes 4S (Suppl 3): 14S – 16 S.

Goldberg RB, Temproza M, Haffner S, Orchard TJ, Ratner RE, Fowler S, Mather K, et al., 2009. Effect of progression from impaired glucose tolerance to diabetes on cardiovascular risk factors and its amelioration by lifestyle and metformin intervention. Diabetes Care 32:726-732.

Haffner SM, Lehto SL, Ronnemaa T, Pyorala K, Laakso M, 1998. Mortality from coronary heart disease in subjects with type-2 daiobetes and in non-diabetic subjects with and without prior myocardial infarction. N Engl J Med 339:229-234.

Hardiman D, 2005. Disertasi Intervensi jangka pendek dengan bmetformin pada prediabetes non obes. Suatu perspective pencegahan primer perkembangan ke diabetes dan ateros­klerosis (Penelitian eksperimental). Program Pasca­sarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Hayden MR & Tyagi SC, 2002, Intimal redox stress: Accelerated atherosclerosis in metabolic syndrome and type 2 diabetes mellitus. Atheroscleropathy. Cardiovascular Diabetology 1:3.

Hayden MR, Tyagi SC, 2000. Remodeling of the endocire pancreas : The central role of amylin and insulin resistance.Soauth Med J 93 : 24-28.

Inoue s, Zimmet P, Caterson I, Chunming C, Ikeda Y, Khalid AK, Kim YS, et al., 2000. The Asia-Pacific Perspective : Redefining Obesity and Its Treatment. International Insitute 2: 8-26.

Lebovitz HE, 2001. Insulin resistance : Definition and consequences. Exp Clin Endocrinol Diabetes 109 Suppl.2: S135-48.

März, W, Scharnagl H, Winkler K, Tiran A, Nauck M, Boehm BO, Winkelmann, BR. 2004. Low-density lipoprotein trigly­cerides associated with low-grade systemic inflammation, adhesion molecules, and angiographic coronary artery disease. Ciculation110:3068-3074.

McFarlane SI,  Banerji M  and  Sowers JR, 2001. Insulin resistance and cardiovascular disease. The Journal of Clinical Endocrino & Metab 86(2): 713-718.

PERKENI, 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe-2 di Indonesia.

Quagliaro L, Piconi L, Assaloni R, Martinelli L, Motz E, Ceriello A, 2003. Intermittent high glucose enhances apoptosis related to oxidative stress in human umbilical vein endothelial cells: the role of protein kinase C and NADPH-oxidase activation. Diabetes 52: 2795-2804

Ratner RE, Golberg RB, Haffner S, Marconvinn S, Orchard TJ et al., 2005. Impact of intensive lifestyle and metformin therapy on cardiovascular disease risk factors in the diabetes prevention program. Diabetes Care 28: 888-894.

Reaven GM, 1998. Banting Lecture: role of insulin resistance in human disease. Diabetes 37:1595-1607.

Rewers M & Hamman RF, 1995. Risk factors for non-insulin dependent diabetes. In: National Diabetes Data Group, editors. Diabetes in America. 2nd ed.Bethesda (MD): National Institutes of Health/NIDDK. P.179-220.

Ridker PM, Buring JE, Cook NR, Ruifai N, 2003. C- Reative Protein, the metabolic syndrome and risk o incident cardiovascular events. An 8 year follow-up of 14719 initially healthy American women. Circulation 107:391-397.

Saydah SH, Loria CM, Eberhardt MS, Brancati FL, 2001. Subclinical states of glucose intolerance and risk of death in the U.S. Diabetes Care 24 : 447-453.

Stratton IM, Adler AL, Neil HA, Matthews DR, Manley SE, Cull CA, Hadden D, Turner RC, Holman RR, 2000. Association of glycaemia with macrovascular and microvascular complications of type 2 diabetes (UKPDS-35): prospective observational study, BMJ 321: 405-412.

The DECODE study group, 2001. Glucose tolerance and cardio­vascular mortality comparison of fasting and 2 hour diagnostic criteria. Arch Intern Med 161 : 397- 405.

The DECODE Study Group (2004). Prediction of the risk of cardiovascular mortality including glucose as a risk factor. The DECODE Study. Diabetologia 47: 2118-2128.

The Diabetes Prevention Program Research Group, 2005. Intensive Lifestyle Intervention or Metformin on Inflammation and Coagulation in Participants With Impaired Glucose Tolerance.Diabetes 54:1566-1572.

Tuomileho J, Qiao Q, Balkau B, Borch-Johnson K, 2001. Glucose tolerance and all cause mortality. Cardiol Rev 18: 241-253.

Turner RC, Millns H, Neil HA, Stratton IM, Manley SE, 1998. Holman RR. Risk factor for coronary artery disease in non-insulin dependent diabetes mellitus : United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS 23). BMJ; 316 : 823-828.

Vozarova B, Weyer C, Linsay RS, Pratley, Bogardus RE, Tataranni PA, 2002. High white blood cell count is associated with a worsening of insulin sensitivity and predicts the development of type 2 diabetes. Diabetes 51: 455-461.

WHO, 1998. Obesity : Preventing and Managing the Global Epidemic.

Zimmet P, 2003. The burden of type 2 diabetes : are we doing enough? Diabetes Metab 29 : 6S9-6S18.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.