Skip to content Skip to footer

PENDEKATAN BIOREGION DALAM PENGEMBANGAN BUDIDAYA TANAMAN BIOFARMAKA

Oleh:
Prof. Dr. Ir. Sulandjari, M.S.
Tanggal 6 Agustus 2009

Bismillahirahmannirrahim

Yang saya hormati:

Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat dan para Anggota Senat Universitas Sebelas Maret;
Ketua dan para Anggota Dewan Penyantun Universitas Sebelas Maret;
Para Pejabat Sipil maupun Militer;
Para Pembantu Rektor, Direktur dan Asisten Direktur Program Pasca Sarjana UNS, Dekan dan Pembantu Dekan di Lingkungan Unversitas Sebelas Maret;
Para Ketua dan Sekretaris Lembaga, Kepala Biro, dan Ketua UPT serta seluruh pejabat di lingkungan Universitas Sebelas Maret;
Para Rekan Sejawat, Dosen dan segenap sivitas akademika UNS
Para Tamu Undangan, Wartawan, Sanak Keluarga, Handai Taulan serta hadirin yang berbahagia

Assalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua.

Pertama-tama pada kesempatan yang membahagiakan ini perkenankanlah saya bersama hadirin sekalian untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah tiada habis – habisnya melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita semua dapat berkumpul di ruangan yang penuh berkah ini dalam keadaan sehat wal-afiat tiada kurang suatu apa, untuk mengikuti acara sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Atas perkenan-Nya pulalah saya dapat berdiri di mimbar yang terhormat ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar Agroekologi pada Fakultas Pertanian UNS, yang berjudul :
Pendekatan Bioregion Dalam Pengembangan
Budidaya Tanaman Biofarmaka

Hadirin yang saya muliakan,

Judul ini saya pilih karena rasa syukur saya akan keberuntung¬an kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki begitu banyak plasma nutfah tanaman berkhasiat obat (biofarmaka). Taslim (2004)  melaporkan bahwa tidak kurang dari 7.000 spesies tumbuhan berkhasiat obat yang berarti meliputi  90% dari jumlah tanaman obat yang terdapat di kawasan Asia. Lebih lanjut  Alrasyid (1991) menyatakan  Indonesia mempunyai tumbuhan obat kurang lebih  9.606 spesies. Namun sampai saat ini, belum terdapat catatan yang pasti mengenai jumlah tumbuhan yang telah dimanfaatkan sebagai obat yang terdapat di Indonesia. Zuhud (1997) menyatakan bahwa kekayaan jenis tumbuhan obat yang terdapat di ekosistem alami di Indonesia berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan, yang telah berhasil diidentifikasi dan diinventarisasi tidak kurang dari 1845 jenis tumbuhan obat.
Lebih dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat. Di Indonesia, tumbuhan obat merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan, yang berupa ramuan jamu tradisional dan telah digunakan sejak ratusan tahun yang lalu. Tumbuhan obat telah berabad-abad didayagunakan oleh bangsa Indonesia dalam bentuk jamu untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapinya dan merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang perlu dipelihara dan dilestarikan.
Kondisi pemanfaatan obat tradisional serta adanya perubahan gaya hidup akan memberikan peluang pasar yang makin besar sehingga memberikan dampak yang positif bagi perkembangan industri obat tradisional dan fitofarmaka. Pemanfaatan keaneka¬ragaman hayati berupa berbagai ramuan jamu-jamu telah menarik perhatian jauh di luar batas negara Indonesia dan pemakaian jamu sebagai obat alternatif untuk berbagai penyakit khususnya untuk penyakit yang tidak berhasil disembuhkan dengan obat-obatan modern, sekarang terus meningkat. Saat ini industri jamu tradisi¬onal maju pesat dan secara ekonomis menguntungkan negara. Mengingat permintaan yang terus meningkat, pengadaan bahan baku obat atau jamu dengan cara pemungutan langsung dari alam akan mengancam keberadaan populasinya. Beberapa spesies tumbuhan adalah spesies yang secara alam dinyatakan langka serta terancam kepunahan.
Di Indonesia, kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan dan pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat, serta pengambilan tumbuhan obat dengan tidak mempertimbangkan aspek kelestarian dapat dipandang sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian dan penurunan populasi tumbuhan obat, sehingga secara tidak disadari kelangkaan jenis tumbuhan obat terus meningkat. Pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia diduga akan terus ber¬langsung mengingat eratnya keterikatan bangsa Indonesia pada tradisi  kebudayaannya dalam memakai jamu. Di samping itu, beberapa bahan baku jamu telah menjadi komoditas ekspor yang handal untuk menambah devisa negara. Sayangnya meningkatnya pemanfaatan tumbuhan obat sebagai komoditas ekspor belum diikuti dengan pembudidayaan yang rasional dan pelestarian plasma nutfahnya. Kenyataan ini akan memaksa perlunya suatu kesadaran terhadap pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lebih hati-hati dan lebih optimal dan lebih didasarkan pada kesadaran bahwa alam merupakan stok bahan baku obat-obatan yang potensial.
Hal inilah yang  mendorong saya untuk mengkaji lebih jauh pengembangan  tanaman biofarmaka dengan pendekatan bioregion yaitu memaksimalkan kapasitas manusia (sosial, budaya, ilmu pengetahuan) serta  pengelolaan ekologi untuk beradaptasi pada kondisi ekologis setempat yang terus berubah.

Hadirin yang saya hormati,

Bioregion adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam; yang tidak ditentukan oleh batasan politik dan administratif tetapi dibatasi oleh batasan geografik, komunitas manusia serta sistem ekologi. Dalam suatu cakupan bioregion, terdapat mozaik lahan dengan fungsi konservasi maupun budi daya yang terikat satu sama lain secara ekologis. Dengan demikian pengelolaannya merupakan pendekatan integratif dalam pengelolaan keseluruhan bentang alam yang terikat secara ekologis yang menyandarkan dirinya pada tiga komponen yaitu: (1)  komponen ekonomi yang mendukung usaha pendayagunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dalam matriks kawasan budi daya, dengan pengembangan budidaya jenis-jenis unggulan setempat   (2) Komponen ekologi yang terdiri atas kawasan-kawasan ekosistem alam yang saling berhubungan satu sama lain melalui koridor, baik habitat alami maupun semi alami dan (3) Komponen sosial budaya yang dapat memfasilitasi parti¬sipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam serta memberi¬kan peluang bagi pemenuhan  kebutuhan sosial/budaya secara lintas generasi. (Sumardja, 1997).
Konsep biorgion dari sudut pandang sumberdaya biofarmaka dan pengetahuan tradisional masyarakat lokal merupakan ikatan yang sangat erat untuk keberlanjutan pengembangan budidaya biofarmaka. Sebagai contoh setiap region hutan mengandung keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang tinggi dan spesifik, dan berguna untuk mengobati penyakit dan menjaga kesehatan masyarakat setempat. Dengan melibatkan informan pangkal (tokoh adat, pemerintah, agama), informan pokok (ahli pengobatan tradisional) dan pelengkap (anggota masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan mengenai tumbuhan obat) kita dapat mengetahui macam biofarmaka yang esensial diperlukan oleh etnis setempat untuk menjaga kesehatannya. Sebagai contoh dari hasil penelitian diperoleh 28 jenis tumbuhan obat pada suku Heibebulu dan 24 jenis pada masyarakat suku Moi. Jenis tumbuhan yang paling dominan digunakan sebagai obat pada kedua lokasi penelitian tersebut adalah dari Famili Euphorbiaceae. Pemanfaatan¬nya terutama untuk jenis penyakit seperti batuk, demam, sakit perut, alat KB tradisional dan malaria (Herny, 2001). Selanjutnya (Zuhud et al., 2000) melaporkan di Taman Nasional Meru Betiri terdapat 355 jenis tumbuhan, terbagi ke dalam 92 famili. Dari total jenis tumbuhan tersebut, 291 jenis (81,7%) telah teridentifikasi mempunyai khasiat obat.
Pengetahuan tradisional masyarakat lokal tidak bisa dilepas¬kan dari pengembangan konsep bioregional dan IPTEK. Pengem¬bangan IPTEK yang tidak berbasis pada sumberdaya alam hayati setempat sering tidak berhasil secara maksimal dan tumbuh hanya sesaat. Hal ini disebabkan karena sumberdaya alam dan sumber¬daya manusia yang berpengetahuan tradisional dimarginalkan dan akhirnya kemandirian dan kepercayaan diri menjadi hancur. Pengembangan tanaman biofarmaka didasarkan kepada beberapa pertimbangan antara lain  (1) besarnya potensi tanaman biofarmaka dan kayanya pengetahuan tradisional masyarakat akan peman¬faatan¬nya (2) berkembangnya pasar simplisia/obat tradisional atau adanya perusahaan jamu di sekitar lokasi; (3) tersedianya lahan yang sesuai baik secara ekologis maupun aksesibilitas untuk pengembangan budidaya tanaman biofarmaka (4) sumberdaya manusia (para pakar dibidang biofarmaka dan petani) telah siap.

Hadirin yang saya muliakan,

Marilah kita tinjau nilai ekonomi dari tanaman biofarmaka. Komoditas ini sangat tangguh terhadap gangguan krisis moneter karena basis harga pemasarannya dalam dolar Amerika. Dalam kondisi saat ini harga jual yang tinggi (dalam rupiah) menjadikan produk berbasis sumberdaya alam ini sebagai penghasil devisa yang tangguh.
Menurut data dari Sekretariat Convention on Biological Diversity, pasar global obat herbal pada tahun 2000 mencapai US$ 43 milyar. WHO mencatat pada tahun 2000 pasar obat herbal yang tergolong besar adalah sebagai berikut: Cina (US$ 5 milyar); Eropa barat (US$ 6,6 milyar); Amerika Serikat (US$ 3 milyar); Jepang (US$ 2 milyar) dan Kanada (US$1 milyar). Demikian pula pasar Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun (tahun 2001  sebesar Rp. 1,3 trilyun dan tahun 2002 naik menjadi Rp. 1,5 trilyun),  di Malaysia nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai US$1,2 miliar, dengan tren pasar meningkat 13% per tahun (Sampurno, 2003).
Kecenderungan masyarakat dunia yang memprioritaskan produk yang ekologis daripada kimiawi, menyebabkan permintaan akan obat bahan alami juga akan terus meningkat. Nilai obat modern yang berasal dari ekstrak tumbuhan tropis di dunia pada tahun 1985 mencapai US$ 43 milyar, 25% obat modern tersebut bahan bakunya berasal dari tumbuhan. Sedangkan nilai jual obat tradisional pada tahun 1992 di dunia mencapai US$ 8 milyar (Maxmillian, 2007).
Untuk kawasan Asia, dalam hal ini Cina berdasar data terakhir tahun 2000, ada 11146 jenis biofarmaka yang dimanfaat¬kan pada industri TCM (Tradisional China Medicine) dengan memanfaatkan area seluas 760.000 hektar dengan total output 8.500.000 metrik ton dan secara rutin pembudidayakan sekitar 200 jenis biofarmaka utama sepanjang tahun. Dengan kurang lebih 1200 industri dan 600 di antaranya memiliki kebun terintegrasi dengan pabrik China dapat meraup omset US$ 5 milyar (domestik) dan US$ satu milyar (ekspor). (Maxmillian, 2007).
Di pasar domestik, rimpang temulawak (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan rimpang jahe (Zingiber officinale Roxb.) merupakan dua jenis biofarmaka budidaya yang banyak dipasok oleh petani untuk industri obat tradisional, baik industri besar maupun menengah, yaitu rata-rata 310.870 kg/tahun dan 272.854 kg/tahun. Jenis-jenis biofarmaka yang diminta oleh negara-negara industri farmasi, seperti tapak dara (Catharanthus roseus),kina (Chinchona spp), kecubung (Datura metel), pule pandak (Rauwolfia serpentina) dan valerian (Valeriana officinalis) umumnya dapat tumbuh di Indonesia dan tidak membutuhkan persyaratan yang spesifik untuk tumbuhnya (Maxmillian, 2007).
Dari data dan angka di atas menunjukkan bahwa prospek ke depan biofarmaka kita masih terbuka lebar pemasarannya.

Hadirin yang saya hormati,

Kekayaan jenis tanaman biofarmaka yang terdapat di ekosistem alami di Indonesia berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan, oleh karena itu strategi pengembangan tanaman biofarmaka  haruslah mempertimbangkan secara cermat faktor biogeografi dan ekologinya. Di dalam usaha budidaya suatu tanaman, diperlukan pengetahuan tentang faktor tumbuh tanaman tersebut, karena dalam proses budidaya suatu tanaman yang berorientasi pada produk¬tivitas tanaman selain kemampuan suatu tanaman beradaptasi pada faktor lingkungan yang sedang berubah juga memerlukan pengetahuan tentang faktor-faktor produksi untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang optimum. Pengetahuan tentang daerah penyebaran tumbuhan digunakan untuk menentukan  tipe  iklim  dan  tanah  yang  sesuai  sehingga dapat memilih tempat budidaya.
Nilai tanaman biofarmaka adalah terletak pada kandungan bahan aktif atau metabolit sekundernya dan keberadaan metabolit sekunder dalam tumbuhan sangat tergantung pada lingkungan terutama faktor-faktor yang mempengaruhi proses enzimatik antara lain jenis tanah, unsur hara, curah hujan, temperatur dan cahaya. Disamping itu bagian dari tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat atau berkhasiat obat untuk berbagai jenis tanaman berbeda. Kadang bagian akar, daun, bunga buah dsb. Per¬masalahan¬nya adalah bahan aktif sebagai hasil utama tanaman biofarmaka pembentukannya memerlukan tekanan lingkungan sedangkan untuk mendapatkan simplisia dengan bobot kering yang tinggi diperlukan faktor lingkungan yang mendukung fotosintesis yang maksimal. Dengan demikian dalam memproduksi tanaman biofarmaka dengan bobot simplisia yang tinggi adalah dilema.
Hoft et al., (1996) menyatakan, beberapa laporan menunjuk¬kan bahwa pada tanaman terjadi reaksi positip bila kekurangan air terhadap kandungan metabolit sekunder, seperti alkaloid tidak muncul di bawah kondisi kelembaban udara tinggi; kandungan alkaloid tertinggi pada Opium poppy (candu) yang ditanam di Rusia, Polandia dan Hongaria terjadi di bawah kondisi kekurangan air; dan stress air meningkatkan nikotin pada tembakau. Pada penelitiannya terhadap Tabernaemontana pachysiphon menunjuk¬kan bahwa intensitas cahaya yang rendah merangsang pembentukan alkaloid tetapi menurunkan pertumbuhan. Lebih dari 20% bobot kering akar berkurang pada intensitas cahaya yang rendah, namun kadar isovoacangine meningkat.
Tanaman pule pandak (R. Serpentina), akarnya mengandung lebih dari 50 senyawa alkaloid yang berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit, faktor limit untuk pertumbuhannya adalah tanaman ini menghendaki naungan. Hasil penelitian yang saya lakukan menunjukkan bahwa pada kerapatan naungan 50% sampai dengan kerapatan naungan  80%, kadar reserpina lebih tinggi daripada kerapatan naungan 20%; namun bobot akar pertanaman tertinggi didapat pada tingkat naungan 20% (Sulandjari et al., 2005).
Ketinggian tempat juga dapat berpengaruh terhadap kandungan bahan aktif dari tanaman biofarmaka. Biji dari tanaman kelabet (Trigonella spp) yang berfungsi sebagai antidiabetik, kandungan alkaloid trigonelina-nya lebih tinggi apabila ditanam di dataran tinggi daripada di dataran rendah (Hendrison, 2007). Demikian juga pada tanaman pule pandak kandungan reserpinanya lebih tinggi apabila ditanam di dataran rendah daripada di dataran tinggi (Sulandjari, 2007).
Sisi lain dari tanaman biofarmaka yang berfungsi bagi kesehatan tubuh manusia, beberapa jenisnya dapat digunakan sebagai pestisida dan herbisida bahkan untuk pupuk atau sebalik¬nya dapat merugikan karena dapat menjadi inang dari suatu penyakit bagi tanaman lain. Sebagai contoh adalah Ageratum conyzoides (Babandotan/wedusan), tanaman ini lebih dikenal dalam lingkungan pertanian sebagai gulma karena kemampuan adaptasinya yang tinggi, sehingga dapat hidup dimana-mana sehingga menjadi tanaman pengganggu.
Babandotan  telah digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Di India, tanaman ini digunakan sebagai bakterisida, antidisentri dan anti-lithik. Di Indonesia, babandotan banyak digunakan untuk obat luka, radang (inflamasi) dan gatal-gatal. Namun apabila diperhatikan dengan teliti, lebih dari 30% tanaman babandotan menunjukkan gejala lurik kekuningan seperti terserang virus dan hal ini terbukti pada penelitian yang menunjukkan bahwa tanaman babandotan yang bergejala virus dapat menjadi sumber penyakit untuk tanaman tomat dan cabai yang telah banyak menimbulkan kerugian akibat serangan Geminivirus ( Sukamto, 2007).
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa dalam pengembangan tanaman biofarmaka faktor ekofisiologis haruslah menjadi pertimbangan.

Hadirin yang saya muliakan,

Di dalam mengembangkan budidaya tanaman biofarmaka berbasis pengelolaan bioregional dapat ditempuh melalui cara di dalam habitat aslinya (in-situ) dan di luar habitat aslinya (ex-situ). Menurut McNeely et al.,(1992) strategi terbaik bagi pelestarian jangka panjang adalah pelestarian in-situ, tetapi untuk spesies yang langka dan telah terdesak populasinya perlu strategi ex-situ.
Pengembangan budidaya tanaman biofarmaka yang dilakukan di kawasan hutan (hutan produksi, hutan lindung atau pada zona rehabilitasi taman nasional) dapat dilakukan dengan sistem agrowanatani atau pola agroforestri. Agroforestri merupakan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis dan berbasis ekologi, dengan memadukan tegakan pepohonan sehingga mampu mempertahankan terjadinya interaksi antara ekologi, ekonomi, dan unsur-unsur lainya, terutama dengan sosial-budaya sehingga dapat terwujud pembangunan yang berkelanjutan (Adnan, 2006). Namun perlu diperhatikan kemungkinan adanya sifat alelopati dari tegakan ataupun tanaman biofarmaka itu sendiri yang memungkinkan untuk berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil masing-masing tanaman.
Konsep yang menyatakan bahwa tumbuhan dapat menimbul¬kan pengaruh buruk atau beracun atau hambatan pada tumbuhan lain yang dikenal sebagai alelopati dikemukakan oleh de Candolle sejak tahun 1932. Fenol merupakan salah satu komponen senyawa yang bersifat alelopatik yang dapat ditemukan dalam jumlah cukup besar pada hampir semua tumbuhan. Terutama tanaman-tanaman yang diketahui menghasilkan minyak atsiri dan metabolit sekunder lain seperti Eukaliptus dan Akasia. Senyawa fenol dapat dikeluar¬kan melalui akar, daun ataupun organ tumbuhan lainnya. Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa sekunder yang memegang peranan penting dalam interaksinya antara tumbuhan yang satu dengan yang lainnya. Bertambahnya senyawa-senyawa fenol yang sifatnya autoinhibitor meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan tumbuhan tersebut (Hall et al., 1982).
Beberapa penelitian pernah dilakukan terhadap tumbuhan Eucalyptus deglupta adanya senyawa alelokemi yang dilepaskan ke lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan lain yang berasosiasi. Senyawa yang menghambat pertumbuhan berupa fenol yang mudah larut dalam air, terpen yang mudah menguap, telah dapat diperoleh dari daun, kulit kayu dan akarnya (Silander et al., 1983). Selanjutnya senyawa fenol dapat masuk ke dalam tanah melalui pelindian, daun, eksudat akar atau karena dekomposisi sisa-sisa tumbuhan (Rice, 1984).
Di samping itu pola tanam tumpangsari telah banyak dilakukan oleh masyarakat yaitu tanaman biofarmaka antara lain empon-empon dengan tanaman pangan; tumpangsari tanaman jahe diantara karet muda; tempuyung dengan daun dewa dan lain-lain  Pemanfaatan lahan marginal dapat juga menjadi pilihan untuk pengembangan tanaman biofarmaka mengingat luas lahan marginal di Indonesia mencapai 140 juta ha dan baru sebagian kecil saja yang sudah dimanfaatkan sehingga tidak mengurangi lahan-lahan subur yang disediakan untuk tanaman pangan.

Hadirin yang saya hormati,

Kegiatan utama yang harus dilakukan dalam pengembangan budidaya tanaman biofarmaka dengan pendekatan bioregion adalah pembimbingan dan pendampingan kepada masyarakat pelaku budidaya tanaman biofarmaka terutama masyarakat tepi hutan untuk memberikan pengertian dan motivasi dalam melestarikan kekayaan tanaman biofarmaka kita. Dalam pembimbingan dilakukan pembelajaran dalam budidaya dan pasca panen yang memenuhi syarat dalam kualitas sebagai bahan baku obat. Selanjutnya membangun kemitraan dengan industri jamu/ dan industri fitofarmaka. Dalam kerjasama dengan mitra, keuntungan yang dapat diambil adalah jenis simplisia biofarmaka yang dibutuhkan untuk industri mitra, waktu panen, dan penjaminan pasar dari hasil budidaya, oleh karenanya kelestarian tanaman biofarmaka akan lebih terjaga dan terjamin sesuai dengan daya dukung lingkungan.
Agar unsur-unsur bioregion tersebut berjalan dengan baik maka pemerintah setempat diperlukan sebagai fasilitator dan penunjang kemitraan tersebut. Dalam hal ini peran LSM sangat berarti. Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian berperan dalam penelitian-penelitian, pelatihan dan pendidikan serta bersama pemerintah memonitor dan mengevaluasi program.
Sebagai akhir dalam uraian yang telah saya kemukakan,  dalam menunjang pengembangan tanaman biofarmaka dengan pendekatan bioregion perlulah kiranya dilakukan pemetaan biofarmaka budidaya berdasarkan  kesesuaian lahan hubungannya dengan bahan aktif dan ekofisiologi dan letak Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) ataupun Industri Obat Tradisional (IOT) untuk menunjang dalam menetapkan kebijakan dan agribisnis tanaman biofarmaka.

Hadirin yang saya muliakan,

Sebelum saya akhiri pidato pengukuhan ini, perkenankanlah saya sekali lagi menghaturkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan ridho- Nya sehingga saya memperoleh keper¬cayaan memangku jabatan tertinggi bidang pendidikan di perguruan tinggi yaitu Guru Besar dalam bidang ilmu Agroekologi. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan tuntunan dan kemudahan kepada saya dalam mengemban tugas mulia ini sehingga ber¬manfaat bagi  Negara, Bangsa dan Agama, Amin.
Pada kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Pendidikan Nasional, atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk mengemban jabatan terhormat ini serta Pimpinan dan angota Senat Universitas Sebelas Maret beserta Pimpinan dan anggota Senat Fakultas Pertanian UNS yang telah menyetujui, mengusulkan dan memproses pengangkatan Guru Besar saya. Tak lupa ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Ketua dan Sekretaris Jurusan Agronomi, Ketua Laboratorim Ekologi dan Mangement Produksi Fak. Pertanian UNS, yang selama ini memberikan bantuan dan kerjasama yang baik.
Secara khusus saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada

  • Bp. Ariadhie Nursasongko, S.H., pada saat beliau menjabat di bagian Kerjasama UNS, telah banyak membantu, mendorong dan memberi motivasi untuk terselesaikannya studi S3 saya.
  • Kakak dan juga sahabat saya Ir. Retni Marduhartati, M.S.
  • Teman sejawat saya Prof. Dr. Ir. Achmad Yunus, M.S.
  • Sahabat saya Drs. H. Ahmad Syarifuddin,

yang telah membantu banyak hal dalam kehidupan ataupun tugas  saya sehingga banyak beban ataupun masalah menjadi mudah untuk diselesaikan. Semoga Allah SWT melimpahkan pahala- Nya, Amin.
Ucapan terimakasih yang tulus saya tujukan kepada Promotor dan juga panutan saya, Alm. Prof. Dr. Ir. Soemantri Sastrosoedarjo.  Di samping itu ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Ko Promotor yang telah membimbing saya meskipun tidak sampai selesai yaitu, Alm. Prof. Ir. Soedharujian; Alm. Prof. Dr. Ir. Rudjiman, MS; Alm. Prof. Dr. Ir. Oemi Haniin, M.Sc.; Alm. Prof. Dr. Ir. H. Soekardi Wisnubroto. Semoga beliau-beliau mendapat¬kan ketenangan, kebahagiaan dan tempat yang terhormat di sisi-Nya. Amin. Kepada Promotor dan Ko Promotor saya, Prof. Dr. Soewidjio Pramono, Apt. DEA; Prof. Dr. Ir. Didik Indradewa; Dr. Ir. Aziz Purwantoro, M.Sc.; saya mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga dalam membimbing, hingga saya dapat menyelesai¬kan program S3 di UGM. Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada para penguji disertasi saya yaitu, Prof. Dr. Prapto Yudono, MSc.; Prof. Dr. Ir. Putu Sudira, M.Sc.; Prof. Dr. Ir.  Edi Purwanto, M.Sc.; Prof. Dr. Ir. Susamto, M.Sc.; Dr. Ir. Bambang Sunarminto, S.U., dan Dr. Ir. Endang Sulistyaningsih, M.Sc.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada para guru-guru saya sejak SD Bopkri dan IKIP; SMPN.V, SMAN I di Jogjakarta dan SMA BUPI di Bandung serta para Dosen dan Pembimbing Tesis saya di S1 dan S2 UGM. Kepada sahabat-sahabat  saya para dosen di Fak. Pertanian UGM yang saya cintai antara lain Muhartini; Mbak. Cicik Nasrulah; Mbak  Setyastuti; Dik Erlina dan
Dik Rohmanti serta sahabat-sahabat saya di SMAN I Yogya, Erning, dr. Anisah, Prof. Basuswasta, Nuryatin, S.H., dll. saya mengucapkan terimakasih dan semoga persahabatan kita tetap langgeng. Kepada teman-teman saya di Fak. Pertanian UNS,                Ir. Wartoyo, M.S.; Dr. Ir. Nandariyah, M.S.; Dra. Soewarni, M.P, Prof. Dr. Ir. Djoko Purnomo, M.P.; Dr. Ir. MTh. Budihastuti, M.Si; Ir. Triyono D.S., MP.; Drs. Sugiyono, M.P.; Prof. Dr. Bambang Pudjiasmanto, M.S.; Prof. Dr. Ir. Priyono, M.S. dan teman sejawat lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kerjasama dan dukungan dalam berkarya selama ini. Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada Staf Administrasi Fak. Pertanian UNS, P. Warno, P. Suroto, P. Sutino, P. Wardoyo dan teman-teman  lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu, atas bantuan untuk kelancaran tugas-tugas saya.
Dalam lingkup keluarga, pertama-tama saya ingin menghatur¬kan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua saya Alm. RM. Sudardji Sosrosuparto dan Almarhumah Ibu. Nindiyati yang dengan segenap cinta kasih dan perhatiannya telah membesarkan dan mendidik saya sehingga saya berhasil menyelesai¬kan pendidikan dan dapat berdiri di mimbar yang terhormat ini. Semoga saya masih terus dapat menyebut nama beliau dalam doa-doa saya untuk ketenangan dan kebahagiaanya di sisi Allah SWT. Amin. Demikian juga kepada kedua mertua saya Alm.R. Saroyo Dipo dan Almh. Ibu Marisestri.
Kepada kakak-kakak saya yang saya kasihi, Dyah Harjanti dengan Purwanto, B.Sc; Prof. Dr. Drg. Pinandi Sri Pudyiani, Sp.Ort. dengan Prof. Dr. Bambang Irawan M., SpPD-KKV., SpJP(K).,FIHA.; Mbak Sasmerti R; dan adik-adik saya yang saya sayangi Dra. Sri Hartati dengan Sumarno, S.H.; Drs. Pradopo dengan Sudiyati; Pradipto (Alm) dengan Uli; Tyas Winoroyekti dengan Faizal L., S.H.; Dra. Murtijayanti, M.M. dengan Drs. Sofyan T., M.M..;  Prof. Dr. Drg. Wihaskoro S., PhD. Dengan Drg. E. Herminajeng,M.S.; Dra. Menuk Gandini dengan Drs. Aris. Suherlan; Dra. Hesti Darmawati dengan M. Husni, S.H. dan Ir. D.W. Gunarti dengan Ir. Budiutomo. Serta Keponakan dan cucu-cucu saya. Pada kesempatan ini ingin saya sampaikan rasa syukur dan bahagia yang sungguh saya rasakan atas kebersamaan dan kehangatan dalam keluarga kita sehingga sesuatu yang berat terasa menjadi ringan. Alhamdullilah.
Kepada suami saya tercinta yang telah lama meninggalkan saya Alm. Drh. Mas Besar S. Dipo. Apabila memungkinkan saya ingin menyampaikan bahwa saya akan terus berjuang untuk memenuhi pesannya yaitu mengantar anak kami menjadi dokter dan Alhamdulilah dengan bantuan berbagai pihak, sekarang telah masuk Co Ass dan sebentar lagi selesai. Insyaallah, Amin.
Terima kasih tiada terhingga secara khusus saya sampaikan kepada anak sekaligus juga sahabat saya Dite Bayu Nugroho yang dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati, memberikan ketenangan batin dan semangat kepada ibunya sehingga saya menjadi kuat untuk menyelesaikan amanah dan kuwajiban-kuwajiban saya untuk keluarga. Dite, mama selalu siap men¬dampingi kamu dalam mencapai cita2mu dan doa mama semoga Allah mengabulkannya, Amin.
Terima kasih yang setulusnya saya haturkan kepada para hadirin sekalian atas kesabaran dan perhatiannya beserta permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila ada tutur kata dan sikap saya yang kurang berkenan di hati para hadirin sekalian selama saya membacakan pidato pengukuhan saya ini.

Billahitaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, 2006. Belajar Kepada Rakyat: Pengelaan Hutan dan Kawasan dengan Kearifan  Lokal. www.blog.com. 6 hlm.
Hendrison Marnis, 2007. Pengaruh Ppemupukan Nitrogen Pada pH Tanah Berbeda terhadap Hasil dan kadar Alkaloid Biji Kelabet Trigonella Foenum graecum L.) di Dua lokasi dengan Ketinggian dan Musim Tanaman Berbeda. http://www.digilib.itb.ac.id.com.
Herny E.I.S. 2001. Inventarisasi tumbuhan obat pada masyarakat Suku Heibebulu dan Suku Moi Kabupaten Jayapura Irian Jaya. IJPTUNCEN
Hall,A.B.,U.Blum & R.C.Fites, 1982. Stress Modification of     Allelopathy of Helianthus annus L. Debries on Seed     Germination. Am.J.Bot. 64,776-783.
Hoft M.;R. Verpoortee; E.Beck.1996.Growth and alkaloid contents in leaves of Tabernaemontana pachysiphon Stapf (Apocy¬naceae) as influenced by light intensity, water and nutrient supplay. Oecologia (1996) 107: 160-169.
Hall,A.B.,U.Blum & R.C. Fites, 1982. Stress Modification of Allelopathy of Helianthus annus L. Debries on Seed Germination. Am.J.Bot. 64, 776-783.
McNeecly, J.A., Kenton, R.M., Walter, V.R., Russel, A.M., Timothy B.W. 1992. Conserving The World’s Biological Diversity. Paper in International Course on Regenerative Agriculture. International Institute of Rural Reconstruction, Silang, Carvite, Philippines.
Maximillian.2007. Pharmacy Business; an overview of pharmacy related and healthcare industry. Agrofarmasi (2). Phyto¬pharmacy. Februari.
Rice,E.L., 1984. Allelopathy. Second Edition. Academic Press Inc. London. Ltd.
Sumardja, E. 1997. “Pendekatan Bioregional dan Prospeknya di Indonesia”.  Prosiding Diskusi Panel Manajemen Bioregional Taman Nasional Gn. Gede Pangrango, Taman Nasional Gn. Halimun dan Gunung Salak.  Puslitbang Biologi LIPI dan Program Studi Biologi Pasca Sarjana UI. Depok.
Sampurno, 2003. “Kebijakan Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia. Makalah Seminar Nasional Tumbuhan Obat. Indonesia. XXXIII. Univ. Pancasila”.
Sulandjari, Suwidjijo P., Sukardi W. 2005. Hubungan mikroklimat dengan kandungan reserpina pule pandak. Majalah Obat tradisional. 10(33)34-38.
Silander,J.A.,B.R. Trenbath & L.R.Fox, 1983. The Allelopathic     Potential of A     Native Plant. Oecologia. 58, 415.
Taslim Ersam. 2004. “Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia Dalam Merekayasa Model Molekul Alami”.  Makalah Seminar Nasional Kimia VI.
Zuhud, E.A.M. 1997. Mencari Nilai Tambah Potensi Hasil Hutan Non Kayu Tumbuhan Obat Berbasiskan Pemberdayaan Masyarakat Tradisional Sekitar Hutan. Tidak dipublikasikan.
Zuhud, E.A.M, Siswoyo, Hikmat dan Sandra. 2000.  Inventarisasi, Identifikasi dan Pemetaan Potensi Wanafarma Propinsi Jawa Timur. Laporan. Tidak Dipublikasikan.

1 Comments

  • Mega Setiani
    Posted 26 May 2018 3:21 am 0Likes

    terima kasih informaasinya

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.