Skip to content Skip to footer

PENGGUNAAN TEKNIK MOLEKULER UNTUK MEMPERBAIKI SIFAT PRODUKSI HEWAN TERNAK

Oleh :
Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D.

Yang saya hormati,
Bapak  Rektor/ Ketua  Senat,  Sekretaris  Senat
dan para Anggota Senat Universitas Sebelas Maret,
Para  Anggota  Dewan  Penyantun,
Para  Pejabat  Sipil  dan  Militer,
Para  Dekan  dan  Pembantu  Dekan  di  lingkungan  Universitas  Sebelas  Maret,
Para  Ketua  dan Sekretaris  Lembaga,  Kepala  Biro  dan  para  Kepala  UPT,  serta  seluruh pejabat  di  lingkungan  Universitas  Sebelas  Maret,
Para  Ketua  Jurusan,  Ketua  Laboratorium,  dan  Staf  Pengajar  Fakultas  Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas  Sebelas  Maret,
Segenap Tamu  Undangan,  rekan Sejawat dan  Staf  Administrasi,  Mahasiswa, dan hadirin  yang  saya  hormati,

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,
Pertama-tama marilah kita bersama panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga pada pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama di ruang ini, dan atas perkenan-Nya pulalah saya dapat berdiri di mimbar yang terhormat ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang Genetika Molekuler Fakultas MIPA UNS di hadapan para hadirin semua.

Pendahuluan
Hadirin yang saya hormati,
Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi hewan ternak maupun tanaman budidaya telah lama diusahakan mulai dari peng¬gunaan pendekatan yang konvensional sampai pada penggunaan teknologi molekuler yang akhir-akhir ini dikembangkan.  Dalam pidato ini, saya mengambil contoh pemanfaatan teknik molekuler dalam seleksi untuk memperoleh bibit yang unggul dalam produksi daging (pertumbuhan) pada sapi pedaging berdasarkan hasil-hasil penelitian yang saya lakukan selama ini serta beberapa referensi terkait.
Peningkatan produksi daging  maupun peningkatan sifat fenotip lain yang dimiliki makhluk hidup pada umumnya, akan lebih tepat bila dilakukan melalui seleksi yang tidak hanya ber¬dasarkan pada penampakan luar (fenotipe), melainkan melalui seleksi langsung pada tingkat DNA yang mengkodekan fenotipe yang akan diperbaiki. Seleksi pada level DNA lebih akurat di¬banding seleksi secara konvensional yang hanya berdasarkan fenotipe, karena seleksi secara molekuler ini dilakukan pada gen yang mengkodekan sifat yang akan diperbaiki dan bukan hanya melalui efeknya terhadap suatu fenotipe.

Produksi daging sapi di Indonesia
Haris Syahbuddin (2005) menjelaskan bahwa dengan jumlah penduduk yang sangat besar di Indonesia ini, merupakan pangsa pasar yang sangat potensial untuk berbagai produk per¬tanian dan industri, namun demikian hingga saat ini berbagai produk pertanian yang dihasilkan belum dapat mencukupi permin¬taan pasar dalam negeri. Antara permintaan dan suplai masih terdapat senjang yang sangat besar. Kenyataan dilapangan yang ditemukan oleh Swastika dan Ilham dkk (dalam Syahbudin 2005) menunjukkan bahwa, suplai produksi pertanian untuk memenuhi permintaan di tahun 2003 terhadap beras (35.01 juta ton) terdapat senjang sekitar 4.54 juta ton, kedelai (1.56 juta ton) senjang 0.28 juta ton, jagung (9.65 juta ton) senjang 0.80 juta ton, kentang (1033.42 ribu ton) senjang 12.8 ribu ton, daging ayam broiler (205.87 ribu ton) senjang 11.5 ribu ton, dan daging sapi (253.33 ribu ton) senjang 50.8 ribu ton. Senjang tersebut akan bertambah besar pada tahun-tahun mendatang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia, bila tanpa diikuti dengan penerapan teknologi yang memadai.
Di Jawa Tengah, sesuai dengan data produksi daging sapi yang dikeluarkan oleh departemen pertanian (2006), menunjukkan bahwa Produksi daging sapi Jawa tengah dari tahun 2000 sampai 2005 selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2000, produksi daging propinsi Jawa tengah: 54.560 ton pertahun, sedangkan pada tahun 2005 produksinya mencapai 66.450 ton pertahun. Produksi daging sapi nasional pada tahun 2005 adalah sebesar 463.820, sehingga Jawa Tengah mensuport sekitar 14.3% dari kebutuhan daging nasional.
Keadaan inilah yang memacu Pemerintah provinsi Jawa Tengah bertekad menjadi sentra produksi ternak sapi potong dan sapi perah dengan menetapkan peternakan sebagai salah satu sub-sektor pertanian yang akan tumbuh paling baik dibandingkan subsektor lainnya. Rachmat Sujianto (2004) menjelaskan bahwa Jawa Tengah berupaya mewujudkan sub-sektor ini dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan daging sapi nasional, serta mampu menjadi motor penggerak perekonomian di provinsi ini, sehingga provinsi ini menempatkan penanganan di bidang peternakan dalam skala prioritas. Kenaikan produk daging sapi itulah yang juga menjadi faktor utama mendorong Jawa Tengah lebih serius mengupayakan peningkatan terhadap penyediaan sapi potong dan setiap tahunnya sebanyak 457.000 ekor mampu dihasilkan di provinsi ini untuk memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri yang saat ini mencapai 287.000 ekor, sedangkan sumbangan untuk memasok pasar di luar daerah mencapai 170.000 ekor. Sedangkan populasi sapi potong di Jawa Tengah yang kini menduduki rangking kedua nasional mencapai sebanyak 1.345 juta ekor. Kenaikan produksi ternak tersebut diharapkan akan lebih cepat melalui penerapan program Inseminasi Buatan (IB).
Sapi lokal Indonesia, seperti sapi Bali, memiliki kelebihan berupa kemampuan reproduksi dan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan Indonesia, baik terhadap iklim, ketersediaan pakan alami, ketersediaan air dll. Namun demikian, meskipun sapi jenis ini memiliki kelebihan-kelebihan tersebut, kualitas dan kuantitas produksinya lebih rendah bila dibandingkan dengan sapi impor. Alasan inilah yang menyebabkan mengapa para peternak Indonesia khususnya yang memiliki modal usaha besar mulai meninggalkan sapi lokal. Perbaikan genetis melalui IB dengan menggunakan pejantan sapi jenis limusin dan simental, memberikan hasil yang cukup baik. Menurut Sugiyono Pranoto dalam Rachmat Sujianto (2004), sapi betina lokal yang diinseminasi mani beku pejantan sapi limusin maupun simmental mampu melahirkan anak sapi dengan pertumbuhan yang lebih cepat bila dibandingkan sapi lokal. Pada usia tiga tahun, sapi hasil inseminasi dengan mani beku limusin maupun Simmental bobotnya mampu mencapai 800 kg, jauh lebih besar dibandingkan dengan sapi lokal dengan usia sama yang rata-rata hanya memiliki berat badan 350 kg per ekor.
Aspek lain yang kurang menguntungkan bagi perkem¬bang¬an sapi lokal Indonesia adalah belum adanya usaha untuk perbaikan keturunan dengan teknologi yang tepat. Usaha untuk menyeleksi dan menyingkirkan sapi-sapi yang kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara tidak pernah dilakukan, dan bagaimanapun laju pertumbuhannya tidak pernah dihiraukan. Hal semacam ini di¬samping kurang menguntungkan dari segi ekonomi, juga dapat memperburuk keturunan-keturunan berikutnya. Dengan memper¬baiki kualitas maupun kuantitas produksi sapi lokal Indonesia, maka diharapkan minat para peternak untuk beternak sapi lokal menjadi lebih meningkat, sehingga kepunahan sapi lokal Indonesia dapat dihindari dan sekaligus ketergantungan Indonesia akan daging maupun sapi dari negara lain (import) dapat dikurangi. Pening¬katan kebutuhan daging yang tidak diikuti dengan pening¬katan produksi daging dalam negeri telah menyebabkan pemerintah Indonesia sampai saat masih melakukan impor daging maupun sapi bakalan. Indonesia melakukan import sapi bakalan pada tahun 2004 sebanyak 330.000 ekor.

Berbagai permasalahan terkait dengan produksi hewan ternak
Produksi hewan ternak dipengaruhi oleh banyak faktor, yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam faktor lingkungan dan faktor genetis. Salah satu faktor lingkungan utama yang mempengaruhi produktivitas hewan ternak adalah berupa pakan, baik kualitas maupun kuantitas pakan. Untuk mengatasi permasalahan kualitas pakan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Kualitas pakan akan mempengaruhi sistem pencernaan dan metabolisme hewan yang pada gilirannya akan mempengaruhi produktivitas hewan ternak. Rendahnya produktivitas merupakan contoh permasalahan terkait dengan rendahnya kualitas atau kuantitas pakan, serta per¬masalahan-permasalahan lain seperti resistensi terhadap penyakit maupun faktor lingkungan yang lain. Disamping itu, masing-masing individu hewan ternak memiliki sistem pencernaan dan sistem metabolisme yang diatur secara genetis, yang antara indi¬vidu satu dengan individu lain dalam populasi itu terdapat variasi. Variasi genetis inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam pemuliaan.
Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam pro¬duksi daging pada sapi pedaging maupun hewan penghasil daging lainnya, sehingga memiliki nilai ekonomi penting dalam budidaya hewan ternak. Untuk meningkatkan sifat produksi daging (pertum¬buhan),  secara umum dapat dilakukan melalui pendekatan biotek¬nologi yang bersifat sementara (temporary approach) maupun yang bersifat permanen (permanent approach), yang secara skematis ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1: Peran Bioteknologi dalam Peningkatan pertumbuhan

Seleksi berdasarkan marka gen
Marka gen adalah variasi sekuen DNA yang mencirikan terjadinya variasi sifat fenotipe, baik yang secara langsung mem¬pengaruhi sifat tersebut maupun secara tidak langsung karena ter¬jadi linkage (pautan) dengan sekuen DNA yang mempengaruhi sifat fenotip. Ide dasar yang melatar belakangi perlunya seleksi ber¬dasarkan marka gen adalah adanya kemungkinan gen-gen dengan pengaruh signifikan yang menjadi target khusus dalam seleksi. Kegunaan utama marka gen adalah untuk seleksi/ pemuliaan hewan berdasarkan variasi pada aras DNA terpilih. Peta DNA pada sapi (bovine genome map) yang dibuat berdasarkan marka pada aras DNA menggunakan teknik-teknik molekuler telah memungkinkan untuk mengidentifikasi lokus-lokus gen yang bertanggung jawab terhadap variasi sifat yang memiliki nilai ekonomi penting (quan¬titative trait loci/ QTL). Dari peta semacam inilah muncul suatu pendekatan molekuler untuk melakukan pemuliaan hewan guna memperoleh suatu individu unggul. Teknik ini dikenal dengan pen¬dekatan Marker Assisted Selection (MAS), yaitu suatu pende¬katan langsung untuk memperoleh hewan-hewan yang secara genetik superior. Dalam perkembangannya, pendekatan molekuler ini di¬bedakan menjadi: MAS (Marker Assisted Selection) dan GAS (Genotypic assisted selection). MAS digunakan dalam seleksi ber¬da¬sarkan pada marka yang berhubungan dengan gen yang dikehen¬daki (indirect marker), sedangkan GAS digunakan dalam seleksi langsung pada gen yang dikehendaki (direct marker). Pendekatan MAS maupun GAS dapat digunakan pada hewan, tumbuhan maupun manusia, dengan berbagai macam tujuan.
Efisiensi dari MAS dalam peningkatan kualitas hewan produksi tergantung pada beberapa faktor antara lain heritabilitas sifat yang akan ditingkatkan, proporsi varian sifat tambahan yang disebabkan oleh marka, dan ketepatan teknik seleksi. Namun demikian, Edwards dan Page (1994) serta Lande dan Thompson (1990) menyatakan bahwa peningkatan sifat genetik sampai 50% dapat dipastikan terjadi dengan teknik MAS ini. Peningkatan ini terjadi karena lebih akuratnya teknik MAS dalam seleksi, dan pengurangan waktu seleksi antar generasi karena gen dapat diiden¬tifikasi sejak awal kelahiran atau bahkan semasa masih dalam embryo. Pendekatan marka gen telah banyak digunakan dengan baik untuk sifat-sifat: 1) Resistansi terhadap penyakit, 2). Kualitas dan kuantitas karkas, 3). Fertilitas dan reproduksi, 4). Produksi susu, dan  5). Keragaan pertumbuhan
MAS merupakan suatu cara potensial untuk meningkatkan susunan genetik populasi tanaman dan hewan budidaya. Karena sebagian besar sifat yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang diper¬timbangkan dalam peningkatan genetik pada hewan dan tumbuhan merupakan sifat kuantitatif, dimana sifat ini  dikendalikan oleh beberapa gen bersama dengan faktor lingkungan yang masing-masing gen memiliki pengaruh terhadap sifat fenotip yang nampak, maka peningkatan sifat yang memiliki nilai ekonomi penting ini menjadi kompleks dan tidak mudah bila dilakukan secara konven¬sional. Contoh dari sifat kuantitatif ini adalah produksi susu dan kecepatan pertumbuhan pada hewan. Pada program peningkatan genetik secara konvensional, seleksi dilakukan dengan berdasarkan fenotipe (sifat) yang nampak saja tanpa mengetahui gen mana yang sebenarnya diseleksi. Dengan demikian berkembangnya marka molekuler ini disambut secara antusias yang besar karena merupa¬kan suatu penemuan utama yang menjanjikan untuk mengatasi keterbatasan teknik konvensional. Untuk mendapatkan marka gen, dapat dilakukan melalui dua pendekatan utama, yaitu:  1). Pende¬katan marka gen kandidat (Candidate gene marker approach), dan        2). Pendekatan marka random (Random marker approach).
Pendekatan marka gen kandidat didasarkan pada penge¬tahuan pendukung yang telah ada seperti bukti-bukti kausatif secara fisiologi dan biokimia yang menunjukkan bahwa gen yang dipilih terlibat pada sifat yang diinginkan. Misal dipilihnya gen penyandi hormon pertumbuhan untuk studi gen-gen yang mempengaruhi pertumbuhan karena produk dari gen tersebut adalah sangat penting dalam pertumbuhan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah terbatas hanya pada sifat-sifat yang telah diketahui hubungan fisiologis dan biokimianya. Sedangkan keuntungan pendekatan ini adalah bahwa gen yang dipelajari terlibat pada sifat fenotip yang diinginkan, sesuai untuk analisis yang menunjukkan kontribusi lokus kandidat terhadap variasi total fenotip, dan hasil yang diperoleh inter¬pre¬table secara fisiologis dan biokimia. Sebaliknya, pada pende¬katan marka random berusaha melokalisasi marka gen dengan melakukan pengukuran genotipe pada sejumlah loki yang sangat banyak (kese¬luruhan genome) tanpa mengetahui pengaruh fenotipnya, dengan harapan ada locus/loci yang berpautan dengan sifat yang diingin¬kan. Dengan demikian, maka marka yang dicari tidak hanya ter¬batas pada sifat-sifat yang telah diketahui keterkaitan gen secara fisiologis dan biokimianya, namun demikian, susah untuk mengin¬ter¬pretasikan varian molekuler dalam hubungannya dengan sifat fenotip secara fisiologis dan biokimia, sehingga pendekatan ini kurang valuable dibanding pendekatan kandidat.

Gen Hormon Pertumbuhan
Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan yang meliputi pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim, fasilitas pemeliharaan, dan faktor genetis yang diken¬da¬likan oleh gen. Modifikasi faktor lingkungan dapat digunakan untuk peningkatan pertumbuhan namun bersifat sementara. Pening¬katan pertumbuhan secara temporer ini tidak diturunkan kepada keturunannya, sehingga tidak cocok untuk perbaikan keturunan. Sedangkan faktor genetis yang mengkodekan sifat pertumbuhan diturunkan kepada keturunannya, sehingga sangat tepat digunakan dalam program pemuliaan untuk memperoleh bibit unggul.
Pertumbuhan dikendalikan oleh beberapa gen, baik gen yang pengaruhnya besar (major gene) maupun gen yang pengaruh¬nya kecil (minor gene). Salah satu gen yang diduga merupakan gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon pertumbuhan yang mempengaruhi sekresi hormon pertum¬buhan. Disamping itu, DNA mitokondria yang terletak di luar inti (sitoplasma) juga berpengaruh pada pertumbuhan mengingat DNA ini merupakan pengendali proses pembentukan energi bagi tubuh (Sutarno, 2002).
Hormon pertumbuhan pada sapi (bovine growth hormone) mempunyai peran utama pada pertumbuhan, laktasi dan perkem¬bangan kelenjar susu (Cunningham, 1994; Hoj et al., 1993). Dalam hubungannya dengan pertumbuhan pada sapi, penelitian yang dilakukan oleh Burton et al. (1994) pada sapi pedaging Eropa me¬nun¬jukkan bahwa pemberian hormon pertumbuhan dapat mening¬katkan rata-rata pertumbuhan sapi. Meningkatnya pertumbuhan ini diduga melalui perantara kerja IGF-I (Armstrong et al., 1995). Dugaan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ballard et al. (1993) yang menunjukkan bahwa pengaruh secara tidak lang¬sung melalui IGF-I menyebabkan terjadinya peningkatan pertum¬buhan (Gambar 2). Dengan demikian, terjadinya variasi tingkat pertumbuhan antar individu yang disebabkan oleh variasi genotip gen hormon pertumbuhan yang menyebabkan terjadinya variasi sirkulasi hormon pertumbuhan diperkirakan diperantarai oleh aktivitas IGF-I.

Gambar 2. Skema menunjukkaan peran hormon pertumbuhan dalam pengaturan bahan metabolit untuk pembakaran (fuel regulation) dan peningkatan pertumbuhan (Sutarno, 1998).

Publikasi terakhir tentang pengaruh variasi gen pengkode hormon pertumbuhan pada pertumbuhan (berat capaian harian) sapi Benggala (Sutarno, 2003) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan, yaitu individu dengan genotipe (MspI+-) merupakan individu yang superior dalam pertumbuhan. Penemuan ini sesuai dengan penemuan terdahulu yang menunjukkan bahwa variasi gen hormon pertumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan sapi peda¬ging jenis Composit dan Hereford (Sutarno, 1998). Sampai bebe¬rapa tahun yang lalu, seleksi untuk memperoleh bibit unggul umumnya dilakukan hanya berdasarkan penampakan luar (fenotip). Individu yang memiliki fenotip baik dikawinkan dengan individu lain yang fenotipnya juga baik dengan harapan diperoleh keturunan yang fenotipnya baik. Namun demikian, teknik ini kurang tepat, keadaan lingkungan yang menguntungkan, misalnya faktor makan¬an, air dan fasilitas pemeliharaan dapat menjadikan suatu individu memiliki penampakan luar yang baik, namun faktor ini tidak dapat diturunkan. Dengan demikian, perlu adanya seleksi yang didasar¬kan pada gen yang bertanggung jawab terhadap munculnya sifat fenotip yang diinginkan.
Pada sapi pedaging dan hewan lain yang diternakkan untuk tujuan produksi daging, hormon pada aksis somatotrop (seperti hormon pertumbuhan dan IGF-I) adalah merupakan titik awal yang tepat untuk pendekatan kandidat gen. Hormon ini mempengaruhi pertumbuhan, produksi susu dan komposisi tubuh hewan mamalia, dan rerata sekresi hormon pertumbuhan telah diduga berhubungan dengan rerata pertumbuhan yang lebih tinggi pada beberapa spesies hewan ternak (Winkelmann et al., 1990). Pada kondisi lingkungan pemeliharaan yang sama, faktor yang bertanggung jawab terhadap variasi pertumbuhan adalah gen yang menyebabkan terjadinya variasi sirkulasi hormon pertumbuhan dalam setiap individu. Sekresi hormon ini dipengaruhi oleh gen pengkode hormon per¬tum¬buhan. Menurut Schlee et al., (1994b) polimorfisme pada gen hormon pertumbuhan menyebabkan terjadinya perbedaan sintesis hormon, sehingga terjadi perbedaan konsentrasi/ sirkulasi hormon tersebut. Perbedaan ini menyebabkan terjadinya variasi pertum¬buhan antar individu. Dengan demikian, variasi DNA pada gen hormon pertumbuhan dapat dijadikan kandidat yang potensial sebagai gen penanda (marka gen) sifat pertumbuhan sapi.
Penelitian yang dilakukan pada sapi jenis Hereford dan Composit di Wokalup Research Station Australia Barat oleh Sutarno et al., (1996) dan Sutarno (1998) menunjukkan bahwa variasi pada lokus gen hormon pertumbuhan secara signifikan mem¬pengaruhi terjadinya variasi rerata pertumbuhan. Sebelumnya, Schlee et al. (1994b) menemukan bahwa perbedaan genotip dari gen hormon pertumbuhan mempengaruhi konsentrasi sirkulasi hormon pertumbuhan dan IGF-I pada sapi Eropa jenis Simental. Rocha et al. (1992) juga telah menemukan hubungan signifikan antara allele hormon pertumbuhan dengan berat badan waktu lahir serta lebar punggung saat lahir pada sapi jenis Brahman. Meskipun variasi-variasi ini telah banyak dilaporkan pada sapi Eropa, sampai saat ini masih sangat terbatas adanya laporan mengenai terjadinya variasi gen pengkode hormon pertumbuhan pada sapi pedaging lokal Indonesia (Sutarno and Aris Junaidi, 2001; Sutarno, 2003).
Untuk tujuan seleksi dalam rangka memperoleh sapi lokal Indonesia yang unggul dalam produksi daging, maka sangat pen¬ting untuk memperoleh penanda gen (marka gen) dari populasi sapi lokal Indonesia melalui analisis secara menyeluruh dari perpaduan antara data fenotip (pertumbuhan), data genotip (allele), serta semua data pendukung yang mungkin mempengaruhi pertumbuhan (jenis, jenis kelamin, umur, konsentrasi hormon pertumbuhan ter¬sirkulasi).
Gen hormon pertumbuhan sapi (bovine growth hormone gene) telah dipetakan terletak pada kromosom 19 dengan lokasi q26-qtr (Hediger et al., 1990). Sekuen gen ini terdiri dari 1793 bp yang terbagi dalam lima ekson dan dipisahkan oleh 4 intron. Intron A, B, C dan D berturut-turut terdiri dari 248 bp, 227 bp, 227 bp dan 274 bp, dan secara sederhana dipresentasikan pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Skema menunjukkan struktur gen hormon pertumbuhan pada sapi. Huruf A, B, C dan D menunjukkan intron, sedangkan angka romawi I, II, III, IV dan V menunjukkan akson                    (Sutarno, 1998).

Variasi gen pengkode hormon pertumbuhan telah dilapor¬kan pada sapi Eropa, misalnya sapi perah jenis Red Danish (Hoj et al., 1993), sapi pedaging jenis Bavarian Simental (Schlee et al., 1994a), serta sapi pedaging jenis Hereford dan Composite (Sutarno, 1998; Sutarno et al., 1996), dan sapi Benggala, sapi Bali dan sapi Madura (Sutarno, 2001; 2003). Variasi yang terjadi pada sapi Eropa tersebut umumnya disebabkan oleh adanya delesi, substitusi atau insersi (Sutarno, 1998), demikian juga untuk sapi lokal Indo¬nesia jenis Benggala, Madura dan Bali (Sutarno, 2003).
Penelitian-penelitian terhadap hewan percobaan di labo¬ratorium maupun hewan ternak seperti sapi telah dilakukan untuk mengungkap adanya pengaruh variasi genotip terhadap sirkulasi hormon pertumbuhan maupun secara langsung pengaruhnya terha¬dap kecepatan pertumbuhan. Pada sapi pedaging jenis Simmental, Schlee et al. (1994a) menunjukkan bahwa individu yang memiliki genotip LV (Leucine/Valine) pada gen hormon pertumbuhan adalah superior dalam pencapaian berat karkas dan kualitas daging. Polimorfisme yang dideteksi dengan TaqI pada gen hormon per¬tumbuhan dilaporkan berhubungan dengan berat lahir pada sapi jenis Brahman (Rocha et al., 1991). Sedangkan pada sapi Korea telah dilaporkan bahwa polimorfisme TaqI pada gen ini secara signifikan berhubungan dengan pertumbuhan sapi (Choi et al., 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Sutarno (1998) terhadap sapi Hereford dan Composite dari Wokalup Reasearch station-Australia menunjukkan bahwa polimorfisme MspI gen hormon pertumbuhan pada daerah antara ekson III dan IV secara signifikan mempenga¬ruhi pertumbuhan, dimana individu yang memiliki allele MspI (–) bersifat superior. Sedangkan untuk sapi lokal Indonesia jenis Benggala, akhir-akhir ini dilaporkan bahwa allele MspI (+-) adalah superior (unggul) dalam produksi daging/ pertumbuhan (Sutarno, 2003). Hubungan antara variasi genotip pada lokus hormon per¬tum¬buhan dengan total pertumbuhan sapi ini kemungkinan dise¬bab¬kan oleh perbedaan sirkulasi hormon pertumbuhan sebagai akibat adanya variasi gen hormon pertumbuhan.
Seleksi untuk memperoleh bibit unggul berdasarkan marka DNA seperti polimorfisme DNA dapat diperoleh hasil yang lebih akurat dan efisien (Schlee et al., 1994b). Variasi gen pada gen hormon pertumbuhan berhubungan dengan variasi hormon per¬tumbuhan dan IGF-I, selanjutnya variasi hormon pertumbuhan dan IGF-I ini menyebabkan perbedaan pertumbuhan, sehingga gen pengkode hormon pertumbuhan dapat dijadikan sebagai titik awal yang potensial sebagai marka DNA untuk pertumbuhan sapi lokal Indonesia.

DNA Mitokondria
Selain gen hormon pertumbuhan, DNA mitokondria yang terletak di luar inti yang bertanggung jawab dalam proses pem¬bentukan energi dalam tubuh organisme, akhir-akhir ini menarik banyak perhatian para peneliti. Penelitian banyak diarahkan pada produksi daging (pertumbuhan) dan produksi susu pada sapi dalam hubungannya dengan variasi pada DNA mitokondria. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa DNA mitokondria mem¬pengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan sifat produksi pada hewan ternak ( Schutz et al., 1994). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa variasi DNA mitokondria pada segmen D-loop secara sig¬ni¬fikan berpengaruh pada sifat reproduksi sapi Hereford dan Compo¬site (Sutarno et al, 2002a; 2002b).
Variasi pada DNA mitokondria sapi telah dilaporkan (Sutarno and Lymbery, 1997, Sutarno, 2002a). DNA mitokondria mengalami evolusi lebih cepat bila dibandingkan DNA inti, dan meskipun ribuan kopi genom mitokondria ada pada setiap sel,  substitusi nukleotide terjadi sekitar lima sampai sepuluh kali lebih cepat bila dibandingkan dengan mutasi yang sama pada DNA inti. Modifikasi, dan juga terjadinya variasi pada DNA mitokondria akan memiliki pengaruh pada fenotipe. Schutz et al. (1994) mela¬por¬kan adanya pengaruh variasi sekuen DNA mitokondria pada produksi susu, sedangkan Schutz et al. (1993) menemukan penga¬ruh yang signifikan dari substitusi pada pasangan nukleotida (bp) no 169 sekuen D-loop pada prosentase lemak susu.
Analisis terhadap data molekuler dari gen hormon pertum¬buhan dan DNA mitokondria yang dipadukan dengan data fenotip pertumbuhan sapi, maka dapat diketahui genotip-genotip sapi yang unggul dalam produksi daging (pertumbuhan) yang dapat dijadikan sebagai marka gen. Dalam aplikasinya, pendekatan marka gen dapat digunakan dalam pemuliaan hewan untuk memperoleh bibit-bibit unggul melalui persilangan alami terencana yang diatur genotip induknya. Pengembangan lebih jauh dari marka gen adalah dapat digunakan dalam DNA rekombinant untuk menghasilkan hormon pertumbuhan yang dapat digunakan secara temporer untuk menginduksi pertumbuhan, maupun lebih jauh ke arah pemben¬tuk¬an hewan transgenik, deteksi dini suatu penyakit, maupun deteksi dini sifat-sifat fenotip lainnya. Prinsip ini dapat diaplikasikan pada setiap makhluk hidup, baik hewan, tumbuhan maupun manusia.

Penutup
Dari uraian di atas, maka variasi pada gen hormon per¬tumbuhan menyebabkan terjadinya perbedaan sirkulasi hormon pertumbuhan yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertum¬buh¬an sapi. Pertumbuhan ini juga dipengaruhi oleh ketersediaan energi yang diproduksi oleh mitokondria yang dikendalikan oleh DNA mitokondria. Produksi energi ini bervariasi antar individu karena adanya variasi DNA mitokondria. Identifikasi dan karak¬terisasi gen hormon pertumbuhan dan DNA mitokondria dengan mengaplikasikan teknik molekular dapat digunakan sebagai dasar seleksi yang akurat untuk pemuliaan hewan guna memperoleh individu yang unggul dalam produksi daging. Model peningkatan pertumbuhan pada sapi pedaging menggunakan marka molekuler ini dapat digunakan sebagai model dalam usaha pemuliaan ber¬bagai jenis hewan ternak maupun tanaman budidaya untuk mem¬peroleh bibit unggul, serta dalam usaha untuk deteksi dini suatu penyakit di bidang kesehatan.

Ucapan Terima kasih
Hadirin yang saya hormati,
Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini, perkenankan saya mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rakhmat, hidayah dan barokah-Nya kepada saya sekeluarga. Dalam kesempatan ini pula, perkenankan saya untuk mencurahkan perasaan dan ucapan terimakasih yang paling dalam kepada berbagai pihak yang telah memberikan jasanya, sehingga saya mendapatkan jabatan terhormat sebagai Guru Besar bidang Genetika Molekuler di Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret.
Banyak sekali pihak-pihak yang telah berjasa mengantarkan saya menjadi guru besar ini, sehingga tidak mungkin kami sebut satu persatu, antara lain:

  1. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada saya dan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi yang telah meloloskan usulan sebagai Guru Besar bidang Genetika Molekuler di FMIPA Universitas Sebelas Maret.
  2. Rektor Universitas Sebelas Maret, yang juga sebagai Ketua Senat: Bapak Prof. Dr. dr. H. Muhammad Syamsulhadi, Sp.KJ, Sekretaris Senat: Prof. Dr. dr. Aris Sudiyanto, Sp. KJ, mantan sekretaris senat: Prof. Dr. Sunardi, MSc., dan segenap anggota Senat yang telah mempromosikan dan mengusulkan serta mem¬berikan kemudahan bagi saya untuk memangku jabatan sebagai Guru Besar.
  3. Dekan Fakultas MIPA yang juga sebagai Ketua Senat Fakultas MIPA: Drs. H. Marsusi, MS, para pembantu Dekan, Ketua dan Sekretaris Jurusan beserta seluruh anggota Senat Fakultas yang telah mengusulkan saya untuk memangku jabatan sebagai Guru Besar FMIPA UNS. Demikian juga para senior dan dosen saya di program Biologi FKIP UNS, rekan sejawat kerja di jurusan Biologi FMIPA UNS yang telah memotivasi dan mendukung saya mengusulkan diri untuk memangku jabatan guru besar.
  4. Teman-teman seperjuangan di Pusat Studi Lingkungan Hidup, Pusat Studi Bioteknologi dan Biodiversitas, S2 Ilmu Ling¬kungan, S2 Pendidikan Sains, S2 Agronomi, S2 Biosain yang semuanya telah memungkinkan saya untuk mengaktualisasikan potensi dan minat saya dalam bidang ilmu yang saya tekuni.
  5. Guru-guru saya sejak di sekolah dasar sampai dengan per¬guru¬an tinggi, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah ikut meletakkan dasar-dasar kepercayaan untuk menuntut dan mengembangkan sikap keilmuan, kemandirian dan kemam¬puan akademik saya. Para supervisor yang telah membimbing saya untuk menyelesaikan program master di Newcastle Uni¬versity, Prof. Raymond Murdoch dan Prof. John Rodger yang telah banyak memberikan motivasi untuk selalu bersikap sebagai seorang scientist. Prof. RCA Thompson, Prof. Carnegie, Prof. Jim Cummin dan Alan Lymbury, PhD. Super¬visor program Doktor saya di Murdoch University yang sampai saat ini selalu memotivasi saya untuk selalu berkarya dan meng-up date keilmuan saya.
  6. Kedua orangtua saya Almarhum Bapak Tukiman Asmorejo dan Ibu Satinem Asmorejo, yang telah mengasuh, mendidik dan membesarkan saya dengan segala pengorbanan dan jerih payah¬nya, yang dengan penuh tulus ikhlas mendoakan dan memberi¬kan restu, serta mendorong tak henti-hentinya untuk kesuksesan hidup saya sekeluarga. Semoga kedua beliau tersebut arwahnya diterima Allah SWT, dan saya panjatkan doa: Allaahummagh-firlii waliwaalidayya war hamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiirran. Kedua mertua saya Bapak H. Syukir Santo¬widagdo dan Ibu Hj. Wartini, SAg yang telah mendoakan saya secara tulus ikhlas dan selalu memberikan dorongan dan bim¬bingan untuk kesuksesan saya sekeluarga.
  7. Kepada saudara-saudara kandung saya, saudara ipar, keponakan serta saudara saya semuanya yang telah memberikan dorongan bagi keberhasilan studi saya.
  8. Istri saya tercinta Dra. Atik Listiyami, dan kedua anak-anak saya tersayang Vita dan Alvin yang telah banyak berkorban selama saya menempuh studi S3 dan mendampingi selama 5 tahun di Perth – Australia dengan segala pengertian, ketulusan dan kesabarannya, serta kedua anak saya tersayang Rhea dan Aza yang semuanya telah menjadikan saya untuk selalu ber¬semangat dalam berkarya hingga mencapai jabatan akademik tertinggi ini. Mereka sangat berjasa dalam memperoleh jabatan ini,  semoga Allah SWT membawa kami menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah, wa Rohmah.
  9.  Rekan-rekan wartawan media cetak maupun elektronik yang meliput  acara yang membahagiakan ini; dan
  10. Semua hadirin yang telah dengan sabar mengikuti pidato pengukuhan guru besar ini.
    Akhirnya, sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas per¬hatian¬nya dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rakhmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amien
    illahit taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum wr. wb.

REFERENSI
Armstrong, J. D., Harvey, R. W., Poore, M. A., Simpson, R. B., Miller, D. C., Gregory, G. M. & Hartnell, G. F. (1995). Recombinan bovine somatotropin increases milk yield and calf gain in diverse breeds of beef cattle: associated changes in hormones and indices of metabolism. Journal of Animal Science 73, 3051-3061.
Ballard, F. J., Francis, G. L., Walton, P. E., Knowles, S. E., Owens, P. C., Read, L. C. & Tomas, F. M. (1993). Modification of animal growth with growth hormone and insulin-like growth factors. Australian Journal of Agricultural Research 44, 567-577.
Burton, J. L., McBride, B. W., Block, E., Glimm, D. R. & Kennelly, J. J. (1994). A review of bovine growth hormone. Canadian Journal of Animal Science 74, 167-201.
Choi, Y. J., Yim, D. S., Cho, J. S., Cho, B. D., Na, K. J. & Balk, M. G. (1997). Analysis of Restriction Fragment Length Polymorphism in the Bovine Growth Hormone Gene Related to Growth Performance and Carcass Quality of Korean Native Cattle. Meat Science 45, 405-410.
Cunningham, E. P. (1994). The use of bovine somatotropin in milk production- a review [Review]. Irish Veterinary Journal 47, 207-210.
Edwards, M. D. & Page, N. J. (1994). Evaluation of marker assisted selection through computer simulation. Theoretical and Applied Genetics 88, 376-382.
Haris Syahbuddin, 2005. Jangan Lupa Swasembada Pangan. Inovasi Online – Vol.4/XVII/Agustus 2005
Hediger, R., Johnson, S. E., Barendse, W., Drinkwater, R. D., Moore, S. S. & Hetzel, J. (1990). Assignment of the growth hormone gene locus to 19q26-qter in cattle and to 11q25-qter in sheep by in situ hybridization. Genomics 8, 171-174.
Hoj, S., Fredholm, M., Larsen, N. J. & Nielsen, V. H. (1993). Growth hormone gene polymorphism associated with selection for milk fat production in lines of cattle. Animal Genetics 24, 91-96.
Lande, R. & Thompson, R. (1990). Efficiency of marker-assisted selection in the improvement of quantitative traits. Genetics 124, 743-756.
Rachmat Sujianto (2004). Jateng incar posisi sentra produksi ternak sapi. Bisnis Indonesia, Jumat, 23/07/2004
Rocha, J. L., Baker, J. F., Womack, J. E., Sanders, J. O. & Taylor, J. F. (1991). Associations between RFLPs and quantitative traits in beef cattle. Journal of Animal Science 69 (suppl 1), 201.
Rocha, J. L., Baker, J. F., Womack, J. E., Sanders, J. O. & Taylor, J. F. (1992). Statistical associations between restriction fragment length polymorphism and quantitative traits in beef cattle. Journal of Animal Sciences 70, 3360-3370.
Schlee, P., Graml, R., Rottmann, O. & Pirchner, F. (1994a). Influ¬ence of Growth-Hormone Genotypes On Breeding Values of Simmental Bulls. Journal of Animal Breeding & Genetics Zeitschrift fur Tierzuchtung und Zuchtungsbiologie 111, 253-256.
Schlee, P., Graml, R., Schallenberger, E., Schams, D., Rottmann, O., Olbrichbludau, A. & Pirchner, F. (1994b). Growth Hormone and Insulin Like Growth Factor I Concentrations in Bulls of Various Growth Hormone Genotypes. Theoretical & Applied Genetics 88, 497-500.
Schutz, M. M., Freeman, A. E., Lindberg, G. L. & Beitz, D. C. (1993). Effects of maternal lineages grouped by mito¬chondrial genotypes on milk yield and composition. Journal of Dairy Science 76, 621-629.

Schutz, M. M., Freeman, A. E., Lindberg, G. L., Koehler, C. M., Beitz, D. C., Bradley, D. G., Machugh, D. E., Cunningham, P. & Loftus, R. T. (1994). The effect of mitochondrial DNA on milk production and health of dairy cattle mitochondrial diversity and the origins of African and European cattle. Livestock Production Science 37: 283-295.
Sutarno, Lymbery, A. J., Thompson, R. C. A. & Cummins, J. M. (1996). Associations Between  Growth Hormone Genotypes and Estimated Breeding Values for Pre weaning Growth of Beef Cattle. Proceedings of The 13th International Congress on Animal Reproduction , P26-19.
Sutarno and Lymbery, A.J. (1997). New RFLPs in the Mitochondrial Genome of Cattle. International Journal of Animal Genetics 28 (3): 240-241.
Sutarno. (1998). Candidate Gene Marker for Production Traits in Beef Cattle. PhD thesis, Murdoch University.
Sutarno and Aris Junaidi. (2001). Identification and characterization of bovine growth hormone gene and mitochondrial DNA variations of Indonesian native cattle. Proceeding of ITSF One Day Seminar on Science and Technology January 29th 2001, Hilton International Hotel, Jakarta.
Sutarno, Cummins, J.M., Greeff, J., Lymbery, A.J. (2002a). Mito¬chon¬drial DNA polymorphisms and fertility in beef cattle.  Theriogenology, an International Journal of Animal Reproduction 57: 1603-1610.
Sutarno, Aris Junaidi, Baharudin Tappa. (2002b). Growth hormone gene variations and meat production (growth) of Indonesian local cattle. Proceedings The 3rd International Seminar on Tropical Animal Production, 108-116.

Sutarno, Aris Junaidi, Baharudin Tapa. 2003 Seleksi untuk mem¬peroleh sapi lokal Indonesia yang unggul dalam produksi daging (pertumbuhan) melalui seleksi berdasarkan marka gen pada gen hormon pertumbuhan.Laporat RUT VIII, Lemlit UNS.
Winkelmann, D. C., Querengesser, L. D. & Hodgetts, R. B. (1990). Growth hormone restriction fragment length polymorphisms that segregate with 42-day live weight of mice. Genome 33, 235-239.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.