Skip to content Skip to footer

SINKRONISASI KEBIJAKAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DENGAN HUKUM PAJAK SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN DI INDONESIA

Oleh :
Prof. Dr. H. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum.
pada tanggal 20 Agustus 2009

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Salam sejahtera bagi kita.
Yang saya hormati,
Rektor/Ketua Senat UNS, Sekretaris Senat dan seluruh Anggota Senat Universitas Sebelas Maret.
Para pejabat dari jajaran Pemerintah Kota/Kabupaten
Para pejabat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Militer.
Para Dekan, Pembantu Dekan di Lingkungan Universitas Sebelas Maret.
Para Kepala Lembaga, UPT di Lingkungan Universitas Sebelas Maret.
Para Ketua/Sekretaris Bagian, Ketua Laboratrium, Ketua Unit, Staf Pengajar dan Staf Administrasi, serta Mahasiswa (S1, S2, dan S3) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Para Sejawat Dosen dan Staff Administrasi serta Mahasiswa di lingkungan Universitas Sebelas Maret,
Para Tamu Undangan, Sanak keluarga dan Hadirin yang saya hormati.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan karunia, kenikmatan, dan kelapangan hati kepada kita semua sehingga kita dapat berkumpul di ruangan ini mengikuti acara Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret dan atas perkenan-Nya pula lah saya mampu berdiri di mimbar ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar Hukum Bisnis dengan Judul “Sinkronisasi Kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan Hukum Pajak Sebagai Upaya Mewujudkan Kesejahteraan Di Indonesia” di hadapan hadirin.
Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial (social control) terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan (profit) dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap parastrategic stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis (moral and etics), yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Schermerhorn (1993) memberi definisi CSR sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan public eksternal. CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) berdasarkan prinsip kesuka¬relaan dan kemitraan (Nuryana, 2005). Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CRS ini antara lain Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate Giving/ Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate Philanthropy). Relasi Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/Public Relations), dan Pengembangan Masyarakat (Community Develop¬ment). Keempat nama itu bisa pula dilihat sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social Investment/Investing) yang didorong oleh spektrum motif yang terentang dari motif “amal” hingga “pemberdayaan” (Briliant dan Rice, 1998; Burke, 1988: Suharto, 2006).
Ide mengenai CSR sebagai sebuah tanggungjawab sosial perusahan kini semakin diterima secara luas. Namun demikian, sebagai sebuah konsep yang masih relatif baru. CSR masih tetap kontroversial, baik bagi kalangan pebisnis maupun akademisi (Saidi dan Abidin, 2004). Kelompok yang menolak mengajukan argumen bahwa perusahaan adalah organisasi pencari laba (profit oriented) dan bukan person atau kumpulan orang seperti halnya dalam organisasi sosial. Perusahaan telah membayar pajak kepada Negara dan karenanya tanggungjawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan publik telah diambil-alih pemerintah.
Kelompok yang mendukung berpendapat bahwa perusahaan tidak dapat dipisahkan dari para individu yang terlibat di dalamnya, yakni pemilik dan karyawannya. Karenanya, mereka tidak boleh hanya memikirkan keuntungan financial bagi perusahaannya saja. Melainkan pula harus memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap publik, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan. Pendapat ini dilandasi atas dasar :

  1. Masyarakat adalah sumber dari segala sumber daya yang dimiliki dan direproduksi oleh perusahaan. Bukanlah tanpa masyarakat perusahaan bukan saja tidak akan berarti, melain¬kan pula tidak akan berfungsi? Tanpa dukungan masyarakat, perusahaan mustahil memiliki pelanggan, pegawai dan sumber-sumber produksi lainnya yang bermanfaat bagi perusahaan.
  2. Meskipun perusahaan telah membayar pajak kepada negara tidak berarti telah menghilangkan tanggungjawab terhadap kesejahteraan publik. Di negara yang kurang memperhatikan kebijakan sosial (social policy) atau kebijakan kesejahteraan (welfare policy) yang menjamin warganya dengan berbagai pelayanan dan skema jaminan sosial yang merata, manfaat pajak seringkali tidak sampai kepada masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat.

Konsep Piramida CSR yang dikembangkan Archie B. Carrol memberi justifikasi teoritis dan logis mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan CSR bagi masyarakat di sekitarnya (Saidi dan Abidin, 2004). Dalam pandangan Carrol, CSR adalah puncak piramida yang erat terkait, dan bahkan identik dengan, tanggung jawab filantropis.(Edi Suharto, 2006)

  1. Tanggungjawab ekonomis. Kata kuncinya adalah : make a profit. Motif utama perusahaan adalah menghasilkan laba. Laba adalah pondasi perusahaan. Perusahaan harus memiliki nilai tambah ekonomi sebagai prasyarat agar perusahaan dapat terus hidup (survive) dan berkembang.
  2. Tanggungjawab legal. Kata kuncinya: obey the law. Perusahaan harus taat hukum. Dalam proses mencari laba, perusahaan tidak boleh melanggar kebijakan dan hukum yang telah ditetapkan pemerintah.
  3. Tanggungjawab etis. Perusahaan memiliki kewajiban untuk menjalankan praktek bisnis yang baik, adil dan fair. Norma-norma masyarakat perlu menjadi rujukan bagi perilaku organisasi perusahaan. Kata kuncinya : be ethical.
  4. Tanggungjawab filantropis. Selain perusahaan harus mem¬peroleh laba, taat hukum dan berperilaku etis, perusahaan dituntut agar dapat memberi kontribusi yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan semua. Kata kuncinya : be a good citizeb. Para pemilik dan pegawai yang bekerja di perusahaan memiliki tanggungjawab ganda, yakni kepada perusahaan dan kepada publik yang kini dikenal dengan istilah non-fiduciary responsibility.

Landasan Falsafah dan Faktor Pendorong CSR
Hadirin sidang senat terbuka yang saya hormati
Konsep CSR didasarkan oleh pemikiran bahwa bukan hanya Pemerintah melalui penetapan kebijakan publik (public policy), tetapi juga perusahaan harus bertanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial (Chahoud, et al; 2007). Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, European Commission’s Communication (Green Paper-2001-Promoting a Enropean framework for Corporate Social Responsibilities. Brussels, European Commission’s Communication of Sustainable Development) menjelaskan sebagai berikut :
“Public policy also has a key role in encouraging a greater sense of corporate social responsibility and integrate environmental and social considerations into their activies…Busines should be encouraged to take a  pro-active approach to sustainable development in its operations both withn-the EU and elsewhere.
Konsep CSR juga dilandasi oleh argumentasi moral. Tidak ada satu perusahaan pun yang hidup di dalam suatu ruang hampa dan hidup terisolasi. Perusahaan hidup di dalam dan bersama suatu lingkungan. Perusahaan dapat hidup dan dapat tumbuh berkat masyarakat di mana perusahaan itu hidup. masyarakat di mana suatu perusahaan hidup menyediakan berbagai infrastruktur umum bagi kehidupan perusahaan tersebut, antara lain dalam bentuk jalan, transportasi, listrik, pemadam kebakaran, hukum dan penegakannya oleh para penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Masyarakat telah membayar pajak kepada pemerintah dan dari hasil pajak tersebut, pemerintah membangun berbagai insfrastruktur umum yang digunakan dan dinikmati oleh perusahaan tersebut. Selain itu, masyarakat telah menunjukkan kewajiban asasinya atas keberadaan perusahaan di dalam lingkungan masyarakat tersebut yaitu dengan tertib telah menerima dengan baik keberadaan perusahaan di lingkungannnya. Akan ditindak secara hukum oleh para penegak hukum bila ada anggota masyarakat yang mengganggu keberadaan dan kehidupan perusahaan tersebut. Masyarakat juga telah bersedia membeli dan menggunakan jasa dan barang yang dijual oleh perusahaan (produk perusahaan), dan menyediakan tenaga kerja bagi perusahaan. Untuk semua itu, maka secara moral perusahaan wajib memperhatikan dan menunjang kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai imbalan atas segala hal yang diberikan oleh masyarakat kepada perusahaan.
Adapun faktor-faktor pendorong utama bagi perusahaan mengapa perusahaan harus mengimplementasikan CSR. Ketiga faktor pendorong tersebut adalah (Raynard dan Fortates, 2002):

  1. Terjadinya perubahan nilai-nilai (values). Perusahaan banyak yang secara sukarela mengubah orientasinya, yaitu dari semula hanya mementingkan pemupukan pendapatan dan keuntungan yang sebesar-besarnya, menjadi harus pula bertanggung jawab terhadap masyarakat, baik masyarakat lokal dimana mereka berada maupun masyarakat dunia, dan terhadaap lingkungan bisnisnya. Hal tersebut merupakan perubahan sikap moral dari perusahaan. Perubahan sikap moral tersebut telah mendorong perusahaan untuk mengubah pula nilai-nilai (values) yang berlaku sebagai budaya kerja (corporate culture) perusahaan tearsebut.
  2. Strategi; oleh karena terjadi perubahan orientasi yaitu perusahaan harus lebih bertanggung jawab terhadap masyarakat dan terhadap lingkungan, maka strategi perusahaan juga harus disesuaikan.
  3. Public pressure; berbagai kelompok LSM, konsumen, media, negara, dan badan-badan publik lainnya telah menuntut dengan keras agar perusahaan-perusahaan lebih bertanggung jawab terhadap masyarakat, baik masyarakat lokal di mana mereka berada dan masyarakat dunia.

Perkembangan dan Motif CSR di Indonesia
Hadirin sidang senat terbuka yang saya hormati
Sebagaimana dinyatakan Porter dan Kramer (2002) yang menyatakan bahwa tujuan ekonomi dan sosial yang terpisah dan bertentangan adalah pandangan yang keliru. Perusahaan tidak berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Faktanya, kemampuan perusahaan untuk bersaing sangat tergantung pada keadaan lokasi dimana perusahaan itu beroperasi. Oleh karena itu, piramida CSR yang dikembangkan Archie B. Carrol harus dipahami sebagai satu kesatuan. Sebab CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines, yaitu profit, people dan plannet (3P) (lihat gambar I) :

  1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
  2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.
  3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan hidup lingkungan hidup, penyediaan sarana pengembangan pariwisata (ekoturisme).

(Archie B Carrol, 1979)

Secara tradisional, para teoritisi maupun pelaku bisnis memiliki interpretasi yang keliru mengenai keuntungan ekonomi perusahaan. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa mencari labalah yang harus diutamakan perusahaan, karena di luar mencari laba hanya akan menganggu efisiensi dan efektifitas perusahaan. Seperti dinyatakan Milton Friedman, CSR tiada lain dan harus merupakan usaha mencari laba itu sendiri (Saidi dan Abidin, 2004). Kecenderungan selama ini menunjukkan semakin banyak kalangan akademisi maupun praktisi bisnis yang semakin menyadari pentingnya CSR. Mencari keuntungan merupakan hal penting bagi perusahaan. Tetapi, hal itu tidak harus melepaskan diri dari hal lain di luar mencari keuntungan, yakni mengembangkan dan meningkat¬¬kan kesejahteraan masyarakat. CSR sangat relevan diterapkan oleh dunia usaha di Indonesia. Selain karena kebijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan di Indonesia cenderung bernuansa residual dan parsial (tidak melembaga dan terintegrasi dengan sistem perpajakan seperti halnya di negara-negara yang menganut welfare state), mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Penerapan CSR di Indonesia semakin meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas. Selain keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi, dilihat dan kontribusi finansial, jumlahnya semakin besar. Penelitian PIRAC pada tahun 2001 (Edi Suharto, 2002) menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia mencapai lebih dan 115 miliar rupiah atau sekitar 11.5 juta dollar AS dan ISO perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media massa. Meskipun dana ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dana CSR di Amerika Senikat, dilihat dan angka kumulatif tersebut, perkembangan CSR di Indonesia cukup menggembirakan. Angka rata-rata perusahaan yang menyumbangkan dana bagi kegiatan CSR adalah sekitar 640 juta rupiah atau sekitar 413 juta per kegiatan. Sebagai per¬bandingan, di AS porsi sumbangan dana CSR pada tahun 1998 mencapai 21.51 miliar dollar dan tahun 2000 mencapai 203 miliar dollar atau sekitar 2.030 triliun rupiah (Saidi dan Abidin, 2004: 64).

Model model Corporate Social Responsibility (CSR)
Hadirin yang saya hormati
Berbagai kegiatan CSR yang berlangsung selama ini memberikan gambaran kepada kita mengenai pola model CSR perusahaan sebagai entitas bisnis. Secara umum ada 4 pola atau model CSR yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan. Keempat model tersebut adalah:

  1. Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dan tugas pejabat public relation. Mereka inilah, dengan dengan dibantu oleh staff lain yang menjalankan berbagai aktivitas CSR. Fenomena terbaru adalah dibentuknya kelompok atau kepanitiaan dengan nama ”Peduli” di beberapa perusahaan untuk melakukan kegiatan sosial tersebut.
  2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company, Yayasan Dharma Bakti Astra, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan). Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua. GE Fund dan lain-lain. Selain mendirikan yayasan, beberapa perusahan di Indonesia mulai mengadopsi pelibatan karyawan dalam kegiatan sosial. Perusahaan-perusahaan itu mulai mendorong organisasi karyawan dan pensiunan untuk aktif dalam kegiatan sosial. Mereka juga memberikan ijin untuk bagi karyawannya untuk memakai sebagian waktu kerjanya untuk memakai sebagian waktu kerjanya untuk kegiatan sosial. Perusahaan yang menerapkan pola ini antara lain General Electronics dengan nama GE Elfund dan City Bank lewat City Bank Peka.
  3. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah (Ornop), instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/ Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI). Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa, Instansi Pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos), universitas (UI, ITS, IPB), media massa (Kompas, Kita Peduli Indosiar). Lewat kerja sama ini semacam ini perusahaan tidak terlalu banyak disibukkan oleh program tersebut dan kegiatan yang dilakukan diharapkan dapat lebih optimal karena ditangani oleh pihak yang lebih kompeten. Misalnya pada tahun 2009 ini Pertamina memberikan bantuan kepada UNS sebesar Rp 1 Milyar untuk penyempurnaan perpustakaan UNS.
  4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dan kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama. Pola ini pertama kali dipakai pada awal pada awal 1980 an ketika sejumlah individu dan perusahaan mendirikan Dana Mitra Lingkungan (DML). Pada usia yang hampir dua puluh tahun ini, DML memiliki 300 anggota, baik perusahaan maupun individu yang memberikan sumbangan sosialnya. DML kemudian menyalurkan dana bantuan itu kepada kelompok maupun individu yang memiliki kegiatan dengan visi dan misi sama dalam bidang lingkungan hidup. Contoh lain model ini dilakukan oleh Yayasan Mitra Mandiri (YMM) yang didirikan tahun 1995 yang merupakan afiliasi serta hasil alih teknologi dan United Way International.

Dari  keempat pola atau model tersebut (Edi Suharto, 2002), model yang banyak dijalankan selama ini adalah model kedua dimana perusahaan bermitra dengan organisasi sosial atau lembaga lain dalam menjalankan kegiatan kedermawanannya (144), sementara dana yang teralokasi mencapai Rp 79 M. lni merupakan fenomena yang menggembirakan mengingat hubungan dan komunikasi perusahaan dengan LSM di masa lalu tidak begitu bagus. Sementara kuantitas model atau pola kedermawanan lainnya adalah: Keterlibatan secara langsung (113 kegiatan Rp 14,2 miliar), melalui yayasan atau onganisasi sosial kerelawanan (20 kegiatan/Rp 20,7 miliar), Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium (2 kegiatan/Rp 1,4 miliar).

CSR Dalam Perspektif Undang-Undang Perseroan Terbatas
Hadirin sidang senat terbuka yang saya hormati
Pada tanggal 16 Agustus  2007, undang-undang tentang perseroan terbatas yang baru telah muncul. Undang-undang tersebut adalah Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berkaitan dengan masalah ini, yang penting dicermati dan disikapi adalah munculnya di dalam undang-undang itu suatu bab yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yaitu Bab V yang memuat hanya satu pasal yaitu pasal 74. Sekalipun tidak dengan jelas dikemukakan di dalam Penyelesaian Pasal 74 UUPT namun dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang dengan “tanggung jawab sosial dan lingkungan” tidak lain adalah apa yang di dalam bahasa Inggris disebut “social and evironmental responsibility” atau yang disebut juga dengan istilah “corporate social responsibility” yang pemahamannya adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Bunyi lengkap dari Pasal 74 tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
  2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseorangan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
  3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagaimana kita memahami Pasal tersebut? Ada beberapa hal yang perlu dicermati atau dipahami dan disikapi dengan baik. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut (Jamal Wiwoho, 2008).

  1. corporate social responsibility atau CSR oleh UUPT telah ditetapkan sebagai kewajiban sebagai  kewajiban hukum  (statutory obligation), bukan sebagai kewajiban moral semata yang pelaksanaannya bersifat sukarela. Dengan demikian, CSR harus dilaksanakan. Dimasukkannya ketentuan CSR ke dalam  UUPT sebagai kewajiban hukum merupakan langkah maju bagi kepentingan masyarakat. Banyak negara yang tidak memasuk¬kan sebagian kewajiban hukum tetapi mengatur secara tidak langsung yaitu sebagai insentif berupa pengurangan pajak bagi perseroan yang melaksanakannya. Dengan kata lain, di banyak negara hal tersebut tetap menjadi kewajiban moral semata, tetapi bagi perseroan yang bersedia melaksanakan kewajiban moral itu akan memperoleh insentif karena pengeluarannya dapat diperhitungkan sebagai pengurangan pajak. Di dalam pelaksanaanya di luar negeri, insentif tersebut telah mendorong pada umumnya perusahaan menganggarkannya dan melaksana¬kan program-program CSR tersebut.
  2. Sebagai kewajiban hukum sebagaimana ditentukan dalam UUPT tersebut, hanya diberlakukan terbatas bagi perseroan yang menjalankan kagiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Menurut Penjelasan Pasal 74 UUPT, yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Dengan demikian, bagi perseroan-perseroan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam atau tidak menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, CSR bila dilaksanakan hanya merupakan pelaksanaan dari kewajiban moral perusahaan tersebut.
  3. Bagi perseroan-perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam atau yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sayang sekali UUPT tidak menentukan secara tegas apa wujud dari sanksi tersebut. Menurut Pasal 74 ayat (4), ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan  diatur  dalam Peraturan Pemerintah. Diharapkan sanksi terhadap pelanggaran atas kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 74 ayat (1) itu dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud. Mengingat bentuk peraturan perundang-undangan¬nya adalah Peraturan Pemerintah, maka sanksinya tidak akan lebih dari pada sanksi administratif.
  4. Perdanaan oleh perseroan (yang menjalankan kegiatan usaha¬nya di bidang sumber daya alam atau menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam) bagi pelaksana tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), dapat dianggarkan oleh perseroan tersebut dan pengeluarannya dapat diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Dengan demikian, pengeluaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurangan beban pajak.
  5. Pembuat UUPT ternyata membatasi berlakunya ketentuan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam atau yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam. Tidak jelas apa latar belakang dari pembatasan tersebut, sedangkan di dalam praktik bisnis CSR sudah dilaksanakan oleh banyak perusahaan yang melakukan kegiatan usahanya yang bukan hanya dibidang sumber daya alam atau terkait dengan sumber daya alam. Apabila tidak dilakukan pembatasan seperti itu, maka kewajiban CSR bagi perseroan-perseroan bukan saja akan sangat memberikan manfaat kepada masyarakat  tetapi juga akan mendatangkan manfaat bagi perseroan-perseroan itu sendiri. Misalnya, banyak konsumen yang bukan sekadar memilih untuk membeli dari perusahaaan-perusahaan yang melaksanakan usahanya secara etis tetapi bahkan menuntut hal tersebut. Sebagai contoh, penjualan dari produk-produk yang ramah lingkungan makin lama makin meningkat dan bahkan produk-produk tersebut dijual dengan harga terbaik (premium price). Demikian pula es krim yang dijual oleh Ben & Jerry menjadi sangat terkenal oleh karena pendekatan perusahaan tersebut melakukan bisnisnya secara bertanggung jawab termasuk berkaitan dengan produk-produknya. Perusahaan tersebut telah meningkat secara dramatis sementara perusahaan tersebut menfokuskan pada pelaksanaan CSR (lihat pada website Ben & Jerry berkenaan dengan bagaimana perdekatan yang diambil oleh Ben & Jerry terhadap CSR). Banyak perusahaan yang hanya memilih pemasok (suppliers) yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kebijakan perusahaan yang bertanggung jawab (memiliki program CSR yang baik).

Aspek Perpajakan dalam Penyaluran CSR
Hadirin yang saya hormati
Ditinjau dan sudut pandang hukum pajak, program CSR yang dilaksanakan di perusahaan-perusahaan dapat terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dari sudut PPh, perusahaan biasanya harus memilih strategi sehingga semua biaya yang dikeluarkan untuk program CSR yang dipilih dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi laba kena pajak (Ronny Irawan, 2008). Dari sudut pandang PPN, perusahaan biasanya memilih strategi sehingga barang atau jasa yang diberikan kepada pihak penerima tidak terhutang PPN atau kalaupun terhutang seminimal mungkin. Strategi ini diambil dengan asumsi bahwa semua program CSR yang dipilih oleh perusahaan adalah benar-benar untuk maksud yang mulia, peningkatan kualitas sumber daya alam, peningkatan pendidikan, peningkatan layanan kesehatan, maupun peningkatan aspek sosial dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian seyogyanya apapun bentuk program yang dipilih oleh perusahaan mendapat keringanan dan kemudahan dalam aspek pajaknya.
Selanjutnya saya akan membahas berbagai bentuk program CSR dan bagaimana perlakuan dalam hukum pajak, baik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan atau Pajak  Penghasilan (PPh).

Dalam bidang Lingkungan Hidup
Perusahaan dalam menerapkan CSR yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan proses produksi, yang meliputi pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan konversi sumber daya alam. Dilihat dari aspek Pajak Penghasilan Undang-Undang No.17 tahun 2000 pasal 6 ayat 1 berbunyi ”biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan dan jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan” dapat mengurangi penghasilan bruto. Dengan demikian apabila perusahaan mengeluarkan biaya pengolah limbah dan pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnisnya serta biaya yang dikeluarkan untuk pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan yang berkaitan dengan usaha mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Perlu dicermati bahwa biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pengendalian polusi atau pencemaran lingkungan hidup mungkin sangat terkait dengan Pajak Penghasilan dan PPN. Sebagai contoh perusahaan harus membuat bak pengolahan limbah untuk mengolah limbah produksinya, maka semua biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran jasa pengerjaan dan semua material dapat dibebankan ke penghasilan bruto. Tetapi perlu diketahui bahwa atas pembayaran jasa atau imbalan akan terhutang PPh Pasal 21/Pasal 26 UU PPh atau Pasal 23/Pasal 26 UU PPh, sedangkan pengadaan materialnya terutang PPN yang harus dibayar oleh perusahaan.

CSR atas hasil Produk dan Konsumen
Program CSR ini melibatkan aspek kualitatif suatu produk atau jasa, antara lain kegunaan, durability, pelayanan, kepuasan pelanggan, kejujuran dalam iklan, kejelasan atau kelengkapan isi pada kemasan, dan lainnya. Perusahaan seharusnya memberikan kualitas produk dan jasa yang baik kepada masyarakat. Perusahaan tidak semata-mata mencari laba tetapi ada tanggung jawab etis kepada masyarakat atas produk dan jasa yang diberikan. Masyarakat menuntut kejujuran dalam iklan atau produk dan jasa yang ditawarkan dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Perusahaan dihadapkan dengan beberapa pilihan untuk memberikan tanggungjawab sosialnya kepada masyarakat. Ada beberapa perusahaan yang menyisihkan sebagian pendapatan dan penjualan produknya untuk program CSR. Beberapa perusahaan lain memilih memberikan produknya secara gratis kepada masyarakat. Apabila perusahaan memilih untuk menyisihkan sebagian dan hasil penjualannya untuk program CSR dari aspek PPN maka setiap kenaikan harga dan produk yang dijual karena program CSR terhutang PPN sebesar kenaikan harga dan produk tersebut. Ditinjau dan aspek Pajak Penghasilan, kenaikan pendapatan karena program CSR dengan sendirinya menambah penghasilan bruto kena pajak. Ketika dana yang dihasilkan dibagikan, maka harus diperhatikan dalam bentuk apakah program tersebut akan didistribusikan. Dalam bentuk apa pendapatan itu dibagikan, maka akan berbeda perlakuan perpajakannya.
Dalam kegiatan ini perusahaan biasanya mengeluarkan banyak biaya untuk iklan atau promosi. Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan harus dapat dipisahkan mana yang benar-benar kegiatan iklan atau promosi dan mana yang bukan. Mengacu kepada Penjelasan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No.17 tahun 2000 menyebutkan bahwa ”mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto”. Perusahaan dalam kegiatan promosi dan iklannya dapat membagi-bagikan produk perusahaan ataupun memberikan hadiah tertentu untuk mendorong penjualan perusahaan.
Perusahaan yang melakukan promosi dengan membagi-bagikan produknya sebagai sampel di masyarakat, dalam aspek Pajak Penghasilan biaya yang dikeluarkan bukan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto karena merupakan pemberian kenikmatan atau natura seperti yang diatur dalam UU No.17 Tahun 2000 pasal 9 ayat 1 huruf e. Dari aspek PPN perusahaan juga terhutang PPN atas produk yang diberikan secara cuma-cuma dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar harga jual dikurangi laba kotor.
Perusahaan juga dapat melaksanakan program tanggung jawab sosial dengan memberikan pelayanan kepada pelanggan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dengan memberikan pelayanan setelah penjualan (service after sales). Misalnya perbaikan produk yang cacat atau penggantian produk atau sparepart. Biaya service yang dikeluarkan oleh perusahaan ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto karena termasuk dalam kategori biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Ketenagakerjaan
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam program CSR ini merupakan semua aktivitas perusahaan yang ditujukan pada orang-orang dalam perusahaan sendiri. Aktivitas tersebut meliputi rekruitmen, program pelatihan, gaji dan tunjangan, mutasi dan promosi, dan lainnya. Karyawan merupakan sumber daya penting dalam pencapaian tujuan perusahaan, oleh karena itu perusahaan berkewajiban untuk memperhatikan dan meningkatkan kualitas maupun kesejahteraan karyawan.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sering dilakukan oleh perusahaan adalah pengadaan pelatihan-pelatihan baik diselenggarakan sendiri oleh perusahaan maupun mengikutkan karyawan pada pelatihan atau seminar yang diadakan oleh pihak lain. Aspek perpajakan apabila pelatihan karyawan yang diadakan sendiri oleh perusahaan, misalnya mendatangkan pembicara dari luar, maka disini terkait dengan Obyek Pajak Penghasilan khususnya PPh pasal 21/Pasal 26 atau Pasal 23/Pasal 26 UU PPh. Pelatihan yang diberikan oleh orang pribadi maka perusahaan harus memungut PPh pasal 21/Pasal 26 UU PPh atas honorarium yang diberikan. Jika pelatihan diberikan oleh badan, maka perusahaan diharuskan memotong PPh pasal 23/Pasal 26 UU PPh atas honorarium yang diberikan. Dari sudut Pajak Pertambahan Nilai, atas jasa profesional yang diberikan oleh orang pribadi atau badan terhutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Nilai penggantian yang diminta atas jasa yang diberikan.
Perusahaan juga dapat menyertakan karyawan-karyawan untuk peningkatan kualitas karyawan melalui mengikutkan mereka pada pelatihan yang dilakukan di luar perusahaan. Biaya yang dikeluarkan untuk pelatihan ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, sesuai yang diatur dalam Undang Undang No17 Tahun 2000 Pasal 6 ayat 1 huruf g.
Program CSR perusahaan yang memilih meningkatkan kesejahteraan karyawan melalui pemberian tunjangan atau fasilitas tertentu, maka perusahaan harus lebih hati-hati dengan aspek perpajakan yang terkait. Jika tunjangan tersebut menambah gaji bruto karyawan atau diberikan dalam bentuk uang, maka merupakan Obyek PPh pasal 2 1/Pasal 26, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk tunjangan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Sebaliknya jika tunjangan tersebut tidak menambah gaji bruto karyawan atau dalam bentuk kenikmatan atau natura (tidak merupakan Obyek PPh Pasal 21/Pasal 26), maka biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk tunjangan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Ini sesuai dengan prinsip taxability dan deductibility. Tetapi bila program tersebut berbentuk pemberian fasilitas misalnya perumahan karyawan, maka biaya tersebut merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto karena merupakan penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan seperti yang diatur dalam UU No 17 Tahun 2000 Pasal 9 ayat 1 huruf e yang berbunyi sebagai berikut ”penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan” tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

CSR bidang pendidikan dan kesehatan (Kemasyarakatan)
Perusahaan dapat melaksanakan program tanggung jawab sosialnya ke masyarakat berupa aktivitas di bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang pendidikan, yang dapat diberikan oleh perusahaan berupa pemberian beasiswa kepada siswa-siswa berprestasi ataupun siswa yang tidak mampu, ataupun sumbangan untuk penyediaan sarana dan prasana sekolah. Di bidang kesehatan, perusahaan biasanya memberikan bantuan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan seperti puskesmas, program khitanan massal, imunisasi untuk masyarakat umum dan program lainnya.
Apabila program CSR berupa pemberian beasiswa, maka dari sudut Pajak Penghasilan merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dibebankan pada laba perusahaan. Seperti yang tercantum dalam Undang Undang No.17 Tahun 2000 Pasal 6 ayat I huruf g yang menyebutkan bahwa beasiswa, magang, dan pelatihan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pemberian program beasiswa ini sangat membantu siswa-siswa berprestasi ataupun siswa-siswa yang berlatar belakang ekonomi tidak mampu. Karena itu perusahaan-perusahaan yang akan menerapkan program CSR, pemberian berupa beasiswa merupakan salah satu pilihan yang terbaik yang dapat dijalankan secara rutin. Dengan program pemberian beasiswa demikian sangat membantu masyarakat di dunia pendidikan secara langsung.
Perusahaan yang memilih memberikan sumbangan untuk penyediaan sarana dan prasarana sekolah dan kesehatan, maka biaya yang dikeluarkan untuk sumbangan ini tidak dapat dikurangkan pada penghasilan bruto perusahaan (non deductible expenses), ini sesuai dengan Undang-Undang No.17 Tahun 2000 Pasal 9 ayat 1 huruf g. Sedangkan bagi pihak penerima bantuan atas sumbangan merupakan penghasilan yang tidak termasuk sebagai Obyek Pajak seperti diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2000 pasal 4 ayat 1 huruf a. Sangat disayangkan jika sumbangan yang juga membantu negara dalam mengentaskan kebodohan dan meningkatkan kesehatan rakyat demikian tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pemerintah seharusnya memperbolehkan biaya ini dikurangkan dipenghasilan bruto, asalkan jelas kepada siapa sumbangan itu diberikan. Pemerintah mungkin menyediakan istitusi/organisasi milik pemerintah atau non pemerintah yang dapat menampung sumbangan yang demikian.
Bisa terjadi perusahaan memberikan sumbangan berupa barang yang diproduksi sendiri oleh perusahaan, misalnya berupa komputer, meja, kursi, atau lemari. Dari segi sudut pandang Pajak Penghasilan biaya tersebut tetap merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Sedangkan dilihat dari aspek Pajak Pertambahan Nilai maka pemberian sumbangan dalam bentuk barang seperti di atas merupakan Obyek Pajak Pertambahan Nilai seperti diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 251/KMK.03/2002 sebagai penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan No 567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain yang dapat digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak, sehingga perusahaan harus menyetor PPN yang terhutang kepada kas negara dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.
Dilihat dari manfaat yang diperoleh oleh masyarakat pemberian sumbangan dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan sangat besar. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan kesejahteraan masyarakat, pemerintah belum mampu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga perlu campur tangan pihak swasta untuk membantu pencapaian tujuan tersebut. Tetapi merupakan dilema tersendiri bagi perusahaan karena jika mereka mau memberikan sumbangan tersebut dengan maksud yang tulus ternyata sumbangan yang mereka berikan tidak dapat diakui sebagai biaya yang mengurangi penghasilan bruto mereka. Kecuali sumbangan tersebut diperuntukkan bagi korban bencana alam gempa bumi yang terjadi di Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 serta gempa bumi dan tsunami yang terjadi di pesisir pantai selatan Pulau Jawa pada tanggal 17 Juli 2006 seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No 95/PMK.03/2006. Melalui peraturan tersebut tersirat bahwa fasilitas pajak hanya diberikan pada bencana alam semata. Hal ini menyebabkan kepedulian sebagian besar perusahaan menjadi bersifat insidental dan tidak merupakan program yang dilakukan secara terus menerus.

Regulasi Pemerintah dalam CSR dan Hukum Pajak
Hadirin sidang senat terbuka yang saya hormati
Kembali pada Pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang secara normatif menjadi awal bergaungnya CSR di Indonesia (Jamal Wiwoho, 2007) dimana ada yang kurang jelas dan tumpang tindih dengan kewajiban perusahaan kepada Pemerintah dalam bentuk pajak. Pada suatu sisi pemerintah menginginkan perusahaan melaksanakan CSR, namun pada sisi lain keinginan pemerintah untuk melaksanakan CSR itu dengan adanya regulasi yang diharapkan dapat mendorong kinerja CSR. Pada prinsipnya pemerintah dapat mendorong terlaksananya CSR pada perusahaan tanpa harus adanya regulasi. Pemerintah dapat melakukan banyak aktivitas nonregulasi yang mendorong CSR seperti, koordinasi kebijakan mengenai CSR antar departemen, meningkatkan CSR , membiayai penelitian-penelitian CSR, memberikan insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan yang mempunyai kinerja CSR yang baik sekaligus memberikan sanksi yang nyata bagi perusahaan yang tidak mempunyai program/memberikan CSR. Dengan demikian pemerintah dapat memotivasi perusahaan-perusahaan agar melakukan CSR yang nantinya untuk kebaikan perusahaan itu sendiri, sesuai dengan prinsip CSR untuk meningkatkan citra perusahaan (image building).

Sudah terbukti bagi negara-negara Eropa (Fadmin Prihatin Malau, 2009) yang pemerintahnya mendorong perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan CSR yang tidak dimulai dari regulasi (atau tidak membuat regulasi) atas CSR, akan tetapi mendorong perusahaan-perusahaan dengan non-regulasi. Hal itu dapat dimaklumi karena regulasi dapat berpotensi untuk memindah¬kan apa yang menjadi beban pemerintah kepada perusahaan-perusahaan (swasta). Dengan demikian pemerintah tidak boleh meminta perusahaan menyisihkan dana untuk pendidikan, kesehatan, dll karena pemerintah mempunyai kewajiban untuk  dana pendidikan, kesehatan, dll dalam APBN dan APBD. Dapat dibayangkan yang demikian itu dilakukan maka ketika proyek itu selesai (pemerintah) dapat mengklaim bahwa proyek itu dibiayai oleh APBN  atau APBD.Kondisi ini berpeluang besar untuk terjadinya korupsi yang  berakibat hakekat dari CSR itu menjadi kabur dan hilang karena CSR merupakan bagian dari sebuah korporasi untuk tumbuh, berkembang bersama masyarakat sekitar sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan.

CSR, Pajak dan Kesejahteraan Masyarakat
Hadirin yang saya hormati
Dari uraian tersebut di atas nampaklah bahwa kebijakan tentang CSR dan hukum pajak di Indonesia masih bersifat sektoral dan belum terintegral. CSR dan Hukum pajak idealnya bersifat komplementer, ada sinkronisasi baik secara horisontal maupun vertikal dengan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak saling tumpang tindih dan pada akhirnya dapat menghadirkan kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Sebagai ilustrasi saya uraikan sistem CSR, hukum pajak yang dapat menghadirkan kesejahteraan di Kanada. Sistem Pajak dan Kesejahteraan Sosial di Kanada (H. Mubaroq, 2009).
Setiap orang yang tinggal di Kanada, wajib memiliki kartu Social Insurance Number (SIN). Terjemahan bebasnya kurang lebih Nomor Jaminan Sosial. Kartu SIN ini menjadi semacam kartu identitas yang merangkap fungsi KTP dan NPWP sekaligus. Dengan SIN inilah pemerintah memonitor kehidupan sosial–ekonomi seluruh penduduk. Setiap orang yang ingin mendapat upah dengan bekerja (employee) pada seorang pemberi kerja swasta dan negeri (employer) harus memiliki SIN ini. Tanpa kartu SIN pemberi kerja tidak akan berani mempekerjakan seorang bekerja. Pemberi kerja juga akan meminta nomor rekening bank untuk mentransfer upah seorang pekerja. Ketika ingin membuka rekening, pihak bank juga selalu meminta nomor SIN seseorang.  Setiap kali membayar upah seorang pekerja, sang pemberi kerja akan langsung memotong upah tersebut dengan pajak. Pajak yang dipungut pemberi kerja itu kemudian disetor ke negara dengan menyebutkan nama dan nomor SIN si pekerja. Dari besarnya pajak yang disetor tersebut pemerintah bisa memonitor berapa peng¬hasilan setiap individu penduduk. Di samping pajak upah/ penghasilan tersebut, pemerintah juga mengenakan pajak sebesar 13% atas barang dan jasa yang ditransaksikan oleh rakyat. Pedagang/penyedia jasa yang bertugas memungut dan menyerahkan pajak tersebut kepada negara. Dengan demikian seluruh aliran dana yang terjadi di masyarakat bisa dimonitor oleh negara. Dengan sistem tersebut, maka underground economy menjadi musuh Negara dan masyarakat dan menjadi sangat-sangat terbatas ruang geraknya. Underground economy adalah kegiatan ekonomi masyarakat di mana transaksinya tidak dilaporkan ke negara. Menjadi musuh negara karena negara kehilangan pemasukan pajak. Disamping itu negara kehilangan validitas data penghasilan penduduk. Menjadi musuh masyarakat karena underground economy menghasilkan ketidakadilan; orang- orang yang tidak berkontribusi terhadap negara tetapi bisa menikmati fasilitas umum yang diselenggarakan negara. Terbatas ruang geraknya karena kejahatan penggelapan pajak termasuk kategori kejahatan serius dengan ancaman hukuman yang berat.
Di samping itu negara juga menyelenggarakan skema pensiun untuk semua penduduk yang diambilkan dari pajak penghasilan yang disetor ke negara. Besarnya pensiun ini antara lain ditentukan dari masa kerja masing masing individu. Dari masa kerja ini pulalah Negara menentukan besarnya tunjangan pengangguran bagi pekerja yang di-PHK. Dengan demikian, meskipun gajinya tidak terpotong pajak, underground economy menjadi tidak favorit di kalangan para pekerja. Setiap tahun semua penduduk harus menyerahkan dokumen tax return. Tax return ini adalah semacam “hisab harta” tahunan masing masing penduduk. Setiap penduduk harus melaporkan berapa total penghasilannya dalam setahun. Kemudian penghasilan tersebut dikurangi dengan biaya hidup dirinya dan orang orang yang menjadi tanggungannya dalam setahun. Besarnya biaya hidup ini ditentukan oleh negara; dan jumlahnya sama untuk semua individu. Setelah dikurangi dengan biaya hidup tersebut, akan terlihat apakah seseorang memiliki sisa harta atau tidak. Apabila ternyata sisa hartanya kurang dari jumlah tertentu (nishob dalam zakat), maka yang bersangkutan termasuk kategori miskin. Karena miskin, maka ia tidak wajib membayar pajak.
Si miskin yang telah membayar pajak untuk semua upah yang ia terima dan semua barang dan jasa yang ia konsumsi selama setahun, maka ia berhak mendapatkan pengembalian atas pajak – pajak yang telah dipungut pemerintah tersebut. Bahkan, pemerintah memberikan beraneka skema subsidi untuk penduduk dengan penghasilan pas-pasan. Subsidi perumahan, misalnya. Pemerintah memberikan bantuan sewa rumah bagi individu yang belum punya rumah dan berpenghasilan rendah. Besarnya bantuan itu disesuai¬kan dengan jumlah penghasilan seseorang, semakin sedikit penghasilannya maka semakin besar tunjangannya. Seiring dengan berjalannya waktu, jika ia mendapatkan kenaikan penghasilan maka tunjangan tersebut dikurangi, sehingga jika penghasilannya mencapai jumlah tertentu yang membuat ia keluar dari kategori miskin, tunjangan sewa rumah tersebut tidak lagi diberikan. Apabila dalam laporan tersebut terdapat sisa harta, maka sisa harta inilah yang dikenai pajak yang besarnya progresif; semakin besar jumlahnya semakin besar prosentase pajaknya. Setiap penduduk dipersilahkan menghitung berapa pajak yang harus ia bayarkan, dan sekaligus membayarnya ke negara sebelum jatuh tempo yang ditentukan (sistem self assesment). Apabila tidak membayar dengan jumlah yang benar dan waktu sebelum jatuh tempo, maka ia akan terkena sanksi. Paling lambat delapan minggu setelah laporan dikirim, Negara akan memberikan surat penilaian atas laporan harta kekayaan tersebut, yang berisi penegasan atau pembetulan besarnya pajak yang harus dibayar ke negara atau besarnya pengembalian pajak yang harus diberikan Negara kepada individu yang bersangkutan.
Yang menarik adalah bagaimana kedudukan transaksi harta yang bersifat non ekonomi seperti hibah, shodaqoh, infaq dan amal jariyah dalam sistem ini. Transaksi harta non ekonomi pun juga harus dilaporkan dalam dokumen tax return. Istilahnya adalah charity. Ada lembaga lembaga sosial yang bergerak di bidang charity ini. Lembaga/organisasi ini menerima sumbangan dari perusahaan dan orang orang kaya (CSR) dan kemudian menyalur¬kan¬nya kepada orang orang miskin dalam bentuk pelayanan sosial, seperti menyediakan makanan, pakaian, pemukiman sementara, dll secara cuma-cuma bagi yang memerlukan. Lembaga charity ini juga harus menyampaikan laporan keuangannya kepada negara; darimana ia mendapatkan dana, dan ke mana/untuk apa dana tersebut disalurkan. Maka setiap ada orang yang menyumbang uang, charity akan memberikan tanda terima sumbangan yang menyebutkan nama dan jumlah sumbangan.
Bagi orang yang menyumbang, tanda terima sumbangan tersebut dibutuhkan sebagai bukti dalam dokumen tax return. Sumbangan/charity bisa digunakan sebagai pengurang pendapatan sebelum dikenai pajak. Misalnya saja pendapatan bersih seseorang mencapai 100,000 dolar; jika tanpa charity maka ia wajib membayar pajak sebesar 33,000 dolar (33% dari 100,000). Jika ia menyumbang ke lembaga charity sebesar katakanlah 40,000 dolar, maka pajak yang harus di bayar turun menjadi 15,000 dolar (25% dari 60,000).
Dengan sistem seperti ini, maka banyak perusahaan dan  orang kaya raya yang lebih suka mendirikan lembaga charity dengan menyebutkan nama dirinya dalam lembaga itu. Logikanya adalah besarnya prosentase pajak adalah progresif dimana semakin besar sisa harta, semakin besar prosentasenya (bisa sampai 50%). Tiger Woods, contohnya. Dalam setahun ia bisa mendapatkan penghasilan sebesar 100 juta dollar. Daripada ia membayar pajak ke negara sebesar 40 juta dollar, ia lebih suka menyumbangkan sebagian besar penghasilannya ke lembaga sosial yang ia dirikan. Sama sama “kehilangan” uang, akan lebih “menguntungkan” baginya jika ia berikan uangnya itu kepada lembaga yang didirikan. Masyarakat akan “melihat” langsung “amal jariyah” seorang Tiger Woods melalui lembaga sosial yang didirikan daripada uangnya ia kembalikan ke masyarakat melalui negara (pajak).
Apabila lembaga charity swasta saja harus transparan, maka lembaga pemerintah (CRA) tentunya juga dituntut untuk lebih transparan. Setiap tahun, bertepatan dengan batas waktu pengembalian dokumen tax return pada tanggal 30 April, semua instansi pemerintah mengumumkan ke publik daftar pegawai pemerintah yang mendapatkan gaji bersih (gaji dan segala macam tunjangan) yang besarnya diatas 100,000 dolar. Contohnya daftar dosen dan karyawan di University of Waterloo USA yang berpenghasilan di atas 100,000 dolar bisa dilihat di http://uwaterloo.ca/documents/sal2008.php.
Transparansi dan akuntabilitas penghasilan seluruh individu berikut lalu lintas harta yang terjadi di dalam masyarakat betul betul dijalankan secara sistematis dan berlapis-lapis. Bahkan, masyarakatpun juga diharapkan berperan serta dalam menciptakan transparansi dan akuntabilitas ini. Jika seseorang mendapati tetangganya tiba tiba kaya mendadak (rumah baru, mobil baru, dll), maka ia bisa melaporkan “kejanggalan” ini kepada pihak berwenang. Kemudian pihak berwenang akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan memeriksa data di CRA. Apabila ”kejanggalan” tersebut positif, dalam arti ada hal yang patut dicurigai, pihak CRA akan memeriksa orang tersebut dan bila terbukti ia  melakukan kejahatan (pencurian atau underground economy) maka yang bersangkutan akan diproses hukum.
Dalam pandangan saya, sistem CSR dan perpajakan yang dijalankan di atas mengadopsi nilai nilai yang diajarkan di dalam agama. Pertama adalah konsep tentang peran Negara dalam mengatur perekonomian rakyat di mana Negara bertugas menciptakan pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat. Untuk melaksanakan tugas tersebut negara berwenang mengatur harta rakyat dengan mengambil sebagian harta milik orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Kedua adalah konsep sodaqoh. Di samping zakat yang wajib, agama menganjurkan masyarakat untuk beramal di luar zakat, seperti shodaqoh dan infaq. Shodaqoh dan infaq ini adalah amal yang terus mengalirkan pahala bagi pelakunya meskipun pelakunya sudah meninggal dunia. Shodaqoh yang tidak disiarkan kepada khalayak adalah yang terbaik sebab tidak tercampur unsur riya’/pamer. Tetapi adakalanya shodaqoh harus dipaparkan kepada masyarakat untuk keperluan transparansi dan akuntabilitas sehingga aliran dana di dalam masyarakat bisa termonitor demi terciptanya keadilan sosial. Itulah mengapa shodaqoh terang terangan tetap dipuji di dalam AlQur’an.
Ketiga adalah konsep hisab atas harta yang akan dijalani oleh semua manusia kelak di akhirat. Hisab harta manusia adalah pemeriksaan mengenai dari mana dan bagaimana manusia memperoleh harta, serta bagaimana ia membelanjakan/ menggunakan harta tersebut. Dari pemeriksaan tersebut akan tampak apakah perolehan dan pembelanjaan harta manusia selama hidup di dunia sudah sesuai dengan tuntunan atau tidak; ada kedzaliman atau tidak. Jika kita sudah terbiasa dengan hisab harta sejak di dunia ini, maka insya Allah kelak di akhirat kita akan dengan mudah melewati hisab harta dan segera bisa sampai ke surga.

Penutup
Hadirin sidang senat terbuka yang saya hormati
Sebagai penutup pidato pengukuhan ini perkenankan saya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sekeluarga sehingga atas perkenan-Nya kami mendapat cobaan menjadi Guru Besar. Saya menyadari sepenuhnya banyak pihak yang telah memberi bantuan, dorongan  dan bantuan, sehingga saya bisa mendapatkan jabatan Guru Besar Hukum Bisnis di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Dalam kesempatan ini perkenankan saya menyatakan kerendahan hati dan meyampaikan pernyataan terima kasih dan tulus kepada :

  1. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonsia Prof. Dr. Bambang Soedibyo, MBA., yang  telah memberikan kepercayaan kepada saya dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah meloloskan usulan sebagai Guru Besar Bidang Hukum Bisnis.
  2. Rektor UNS yang juga sebagai Ketua Senat, Bapak Prof. Dr. H. Muchammad Syamsulhadi, dr. Sp.KJ(K), sekretaris Senat Universitas Sebelas Maret Bapak Prof. Dr. H. Aris Sudiyanto, dr,Sp.KJ (K), Komisi D senat Universitas Sebelas Maret dimana saya berada dan seluruh anggota Senat Universitas Sebelas Maret yang telah menyetujui dan mengusulkan saya untuk menduduki jabatan Guru Besar.
  3. Dekan Fakultas Hukum, Bapak Muhammad Jamin S.H., M.Hum. Pembantu Dekan I, Bapak  Prasetyo Hadi Purwandoko,S.H., M.S. Pembantu Dekan II, Bapak Suradji, S.H., M.H. Pembantu Dekan III, Bapak Suranto S.H., M.H. Ketua Bagian Hukum Perdata Ibu Ambar Budi Sulistyowati S.H., M.Hum. Anggota Senat Fakultas Hukum periode 2007-2011. Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. Prof. Dr. Adi Sulistyono, S.H., M.H. Teman-teman Dosen Fakultas Hukum UNS, dan seluruh civitas akademika Fakultas Hukum UNS yang ikut mendukung dengan tulus karir saya sampai mendapat jabatan sebagai Guru Besar.
  4. Pembantu Rektor II, Bapak Prof. Dr. Ir. Sholahudin Alfaliehy, MS, Prof. Drs. Anton Sukarno, MPd; Kabag. Kepegawaian UNS beserta staffnya, bapak/ibu staff sekretariat Senat UNS, Bapak Sudarno dan Bapak Hari Suranto, SH (mantan dan staff administrasi Fakultas Hukum)  yang ikut terlibat secara administrasi dalam mengurus pengusulan Guru Besar.
  5. Kepada Bapak dan Ibu Guru Sejak di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Program Magister Ilmu  Hukum Universitas Diponegoro, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
  6. Khusus kepada yang saya hormati, Prof. Dr. H. Miyasto, SU dan Prof. Dr. Hj. Esmi Warasih, P, S.H, MS yang penuh dengan kesabaran dan keikhlasan telah membimbing penyusunan Disertasi dan dalam menyelesaikan Program Doktor. Kepada Prof. Dr Satjipto Rahardjo, SH, Prof Dr Muladi, SH dan Prof Dr Moempoeni Moelatiningsih, SH  ketiganya mantan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, saya mengucapkan terima kasih yang mendalam, semoga Allah SWT membalas budi baik beliau dengan pahala yang berlipat ganda dan semoga senantiasa diberi kesehatan, sehingga masih tetap bisa berkarya.
  7. Prof. Dr. Muhammad Mahfud MD,SH, SU, Prof. Dr. Chatamarassyid, S.H., Dr. Ir. Budi Darmadi, Msc. Prof. Dr. Hikmahanto Juwono, S.H., LLM, Prof. Drs. Sutandyo Wignyo Subroto, MPA, Prof. Dr. Sri Rejeki Hartono,S.H., Prof. Dr. Arif Amrullah,S.H. M.S., Prof. Dr. Zudan Arif Fakrullah, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati,S.H.,M.H. yang telah memberikan dorongan untuk segera mengusulkan jabatan Guru Besar.
  8. Penghargaan yang tak terhingga kepada Yang Mulia Ny. Suratinah Hardjo Perwito yang telah mengasuh, membimbing dan mendidik dengan penuh kasih sayang. Suatu kenangan yang tidak terlupakan pada pengorbanan beliau yang senantiasa memberikan bekal hidup selalu berdasarkan kepada aqidah agama, puasa, dan sholat tahajud serta sholat dhuha serta infak/sodakoh yang menjadikan roda penggerak dalam setiap aktivitas. Penghargaan yang tinggi kepada Yang Mulia Ayahanda Almarhum Hardjo Perwito yang senantiasa mendidik mengaji, Puasa dan Sholat Tahajud serta memberi nasehat bahwa hanya akan mewariskan ilmu yang bermanfaat serta mengajari selalu berani kalau benar kepada saya. Tak lupa saya juga menghaturkan terima kasih kepada Bapak Ibu Broto Subagyo yang senantiasa berdoa bagi kesuksesan anak-anak menantunya.
  9. Terima kasih yang tulus pada istri saya Budhi Widjajanti S.E. yang senantiasa berdoa dan setia mendampingi untuk kesuksesan suaminya, menjaga keharmonisan rumah tangga dan selalu menjaga kesehatan saya. Terimakasih pada ketiga anak saya Aldhilla Rahma Kusuma Wardhani Wiwoho, Aldhita Ratna Firdayanti Wiwoho, dan Aldinar Rida Fauzarani Wiwoho yang menjadi mutiara dan motivator untuk bekerja keras, yang patuh dan mau mendengarkan nasehat dan petuah dari Bapaknya.
  10. Kepada saudara-saudara saya, Keluarga Dr. Muhammad Syakur MPd, Dra. Siti Zumiati, H Irfai,  Dra. Sri Sulastri, Sri Wabiyah, Istiqomah, Ir. Darmodjo, Ir. Kusniwati, Drs Nanang Heri Triwibowo, MM,  Ir. Ari Harjaya, Ir. Krisnawati Dewi, Eka Yudia Putra, SE dan sdr Achmad terimakasih atas doa dan dorongan moral / spiritual pada saya.
  11. Terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang tidak memungkinkan saya sebutkan satu persatu di sini, yang telah membantu doa, memberi saran, pandangan, dukungan dan fasilitas berupa apapun yang memungkinkan prosesi pengukuhan Guru Besar ini berjalan dengan lancar.

Terima kasih kepada semua hadirin tamu undangan atas kesabaran dan perhatiannya mendengarkan pidato pengukuhan ini dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penyelengaraan acara pengukuhan Guru Besar ini ada hal-hal yang tidak berkenan di hati para hadirin tamu undangan yang saya muliakan. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbil Alamin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta,   20 Agustus 2009

Jamal Wiwoho

Daftar Bacaan

A Guide to Corporate Social Responsibility (CSR) http: // wwwb. Miami. Edu /ethics/pdf_files/csr_guide.

A.B. Susanto.  2007. Corporate Social Responsibility. Jakarta The Jakarta Consulting Group.

B. Tamam Achda. “Konteks Sosiologis Perkembangan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Implementasinya Di Indonesia” www.menlh.go.id/serbaserbi/csr/sosiologi.pdf (diakses tanggal  2 Apri  2009)

Bostom College Centre For Corporate Community Relations, Making the Business Case : 2000. Determining the Value of Corporate Community Involvement.

BRASS: The Center of Business Relationship Accountability, Sustainability & Sociecty, History Of Corporate Social Responsibility and Sustainability www. brass. Cf. Ac. Ac. Uk/uploads/History_L3 pdf

Brilliant, Eleanor L. dan Kimberlee A. Rice .1988, “Influencing Corporate Philantropy” dalam Gary N. Gould dan Michael L. Smith (eds), Social Work in the Workplace, New York: Springer Publishing Co,

Burke, Edmund M. 1988, “Corporate Community Relations” dalam Gary M. Gould dan Michael L. Smith (eds), Social Work in the Workplace, New York: Springer Publishing Co,

Carroll, Archie B, A three dimensional conceotual model of corporate performance, Academy of Manajement Review, 1979, Vol 4, No. 4)

Chachoud, Tatjana; 2007.Johannes Emmerling; Dorothea Kolb; Iris Kubina; Gordon Repinski; Catarina Schlager; Corporate Social and environmental Responsibility in India-Assesing the UN Global Compac’s; http:// www. die- homepage. Nsf/6f3fa777ba64bd9ec12569cb00547flb/ 6f2a02709bd3a3ffc12572670041c938/SFILE/Corporate-Social-and-Environmental-Responsibility-in-India.pdf

Edi Suharto, 2006, Workshop CSR, LPSSTKS, Bandung

European Commission’s Communication, Promoting a European framework for Corporate Social Responsibility. 2001, Brussels, European Commission’s Communication on Sustainable Development, Green Paper.

Fadmin Prihatin Malau, 2009, CSR Antara Sosial dan Peraturan, www.Legalitas.org

Fonteneau, Gerard, Corporate Social Responsibility: an issues paper; Geneva, Policy Integration 2004. Department World Commission on the Social Dimension of Globalization International Labour Office.

Friedman, Milton; 1962. Capitalism and Freedom, Chicago: University of Chicago Press.

Hendrik Budi Untung. 2008. Corporate Social Responsibility, Jakarta Sinar Grafika.
http://lpks1.wima.ac.idfpphks/accurate/makalah/KT8.pdf (diakses tanggal 25 Oktober 2008).

Isa Wahyudi & Busyra Azheri. 2008. Corporate Social Responsibility: Prinsip, Pengaturan dan Implementasi. Malang in-Trans Publishing.

Jamal Wiwoho, 2004, Penyelesaian Sengketa Pajak, Citra Aditya Bhakti, Bandung .

……….., 2005, Kebijakan Pemerintah dalam Menyelesaikan Sengketa Pajak Sebagai Sarana Untuk Mewujudkan Keadilan (Membangun Model Penyelesaian sengketa pajak sebagai Perwujudan Sistem Peradilan Yang sederhana, Cepat dan Biaya Ringan), Disertasi, Program doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

………, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis, UNS Press, Surakarta.

………, 2007, Pengantar Hukum Bisnis, UNS Press, Surakarta.

………, 2008, CSR ditinjau dari Aspek  Sejarah, Falsafah dan Keuntungan serta Kendalanya, Majalah Masalah-Masalah Hukum (Terakreditasi), Undip Semarang.

………,2008, Membangun Model Penyelesaian Sengketa Pajak yang Berkeadilan, UNS Press, Surakarta.

Jonathan Sofian Lusa. “Mencari Bentuk Ideal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.” http://jsofian.wordpress.coniJ2007/ 06/10/ (diakses tanggal 28 Oktober 2008).

Lea, Ruth,Corporate Social Responbility: IoD  Member Opinion Survey; The Institute of Directors, UK, November 2002

Makna Ani Mania “Pentingnya Implementasi Corporate Social Responsibility Pasta Masyarakat Indonesia”. mamrh.wordpress.com/2008/07/21/53/ (diakses tanggal  16 Januari 2009).

McComb, Michael

1 Comments

  • Mega Setiani
    Posted 26 May 2018 3:18 am 0Likes

    terima kasih informasinya

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.