Skip to content Skip to footer

TRANSHIRARKI DALAM BAHASA JAWA DAN MASYARAKAT TUTURNYA SEBUAH WAWASAN CATUR TUNGGAL

Oleh :
Prof. Dr. Maryono Dwiraharjo, S.U.

Bismillahirahmaanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat Bapak Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat dan para Anggota Senat Universitas Sebelas Maret
Yang terhormat Bapak Pembantu Rektor I, Bapak Pembantu Rektor II, dan Bapak Pembantu Rektor III Universitas Sebelas Maret
Yang terhormat para Pejabat Sipil dan Militer
Yang terhormat Teman Sejawat Dekan, Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III di lingkungan Universitas Sebelas Maret.
Yang terhormat para civitas akademika : dosen, karyawan, dan mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.
Yang terhormat para tamu undangan, handai taulan, sanak saudara, dan
Hadirin sekaliyan yang saya hormati.

Perkenankanlah, saya dengan rendah hati memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan barokah-Nya kepada kita semua, sehingga kita semua dapat dipertemukan di Auditorium Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam keadaan sehat wal afi’at tiada halangan suatu apa.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia, lewat Bapak Menteri Pendidikan Nasional yang telah mengangkat dan mempercayai saya untuk memangku jabatan akademik sebagai Guru Besar pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam bidang Ilmu Sosiolinguistik.
Untuk memenuhi kewajiban dan tradisi akademik yang terpuji, saya akan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di hadapan sidang senat terbuka yang terhormat ini, dengan mengambil judul “Transhirarki dalam Bahasa Jawa dan Masyarakat Tuturnya Sebuah Wawasan Catur Tunggal”.
Adapun sistematika dan uraian pembahasannya adalah sebagai berikut :
1.    Pendahuluan
Dalam linguistik (ilmu tentang bahasa) telah dijelaskan ciri-ciri khusus bahasa dan telah dikenalkan istilah transformasi, transposisi, transkripsi dan transliterasi (David Crystal, 1980; Harimurti Kridhalaksana, 1982; Edi Subroto, 1985). Keempat istilah tersebut secara mendasar dapat dinyatakan sebagai alih bentuk (untuk transformasi), alih jenis kata (untuk transposisi), alih tulis (untuk transkripsi) dan alih aksara (untuk transliterasi). Keempatnya menyatakan makna perubahan wujud dari wujud yang satu ke wujud yang lain.
Sehubungan dengan istilah tersebut, secara analogis terdapat istilah transhirarki. Istilah ini saya temukan sewaktu penelitian mengenai perubahan kosa kata ngoko menjadi bentuk krama dalam bahasa Jawa. Perubahan yang dimaksud yaitu tampak adanya perbedaan struktur antara kosa kata ngoko dengan bentuk krama. Perbedaan struktur menunjukkan perbedaan hirarki, maka perubahan yang demikian saya sebut transhirarki (Maryono Dwiraharjo, 1997 dan 2001). Dalam hal ini proses transhirarki dapat terjadi karena “pengkramaan” artinya proses pembentukan kosa kata ngoko menjadi krama.
Istilah transhirarki dalam bidang penerjemahan dapat dise¬jajarkan dengan istilah Rank – shift ‘pergeseran tataran‘. yang dimaksud Rank – shift adalah pergeseran tataran atau struktur dari morfem, frasa, klausa atau kalimat berubah menjadi kalimat, klausa, frasa, morfem atau sebaliknya (Catford, 1974 dalam Soemarno, 1999 : 2).
Pembahasan transhirarki dengan wawasan catur tunggal artinya sebuah pendapat mengenai analisis dan pemahaman bahasa yang mendasarkan atau memperhitungkan 4 hal dalam bahasa. Keempat hal tersebut yaitu (1) lapal, (2) makna, (3) murad, dan          (4) maksud (Radjiman, 2000 : 126 – 140; Maryono Dwiraharjo 2003 : 7). Keempat hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
(1)    Lapal yaitu bunyi atau ekspresi, bentuk tuturan/ujaran.
(2)    Makna yaitu arti yang terkandung dalam suatu lapal/ ujaran
(3)    Murad yaitu arti yang tersirat dalam suatu bentuk ujaran
(4)    Maksud yaitu tujuan yang dikehendaki penutur dalam menggunakan suatu bentuk tuturan.
Tujuan adanya wawasan catur tunggal ini yaitu untuk meng¬analisis dan memahami bahasa secara kontekstual tidak semata-mata tekstual. Pemahaman bahasa secara tekstual kadang-kadang menimbulkan perbedaan penafsiran dan bahkan dapat menimbul¬kan “ketegangan social.” Sebagai gambaran misalnya pemahaman Jaksa Agung Abdulrahman Saleh terhadap kalimat : Ustad di kampung maling ; Wakil presiden M Yusuf Kalla terhadap puisi  Bapak Winarno Surachmad pada 27 Nopember 2005 di Stadion Manahan. Ternyata pemahamannya menimbulkan suasana yang tidak harmonis.
Sebagai contoh misalnya kita menganalisis/memahami : Mangesthi Luhur Ambangun Nagara
1)    Lapal : Mangesthi luhur ambangun nagara, bukanlah : mangesti luhur mbangun nagara, atau mangesthi luhung mbangun nagara, dll-nya.
2)    Makna : mengusahakan keluhuran (dalam) membangun negara.
3)    Murad :     –    Bahasa Jawa literer
–    Adanya unsur bahasa kawi
–    Kata bernilai angka
4)    Maksud : Tahun 1908 Jawa atau tahun 1976 yaitu tahun berdirinya Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Hadirin yang saya hormati.
2.    Penanda dan Bentuk Transhirarki
Penanda transhirarki maksudnya ialah unsur dari suatu proses pembentukan kebahasaan yang dapat menghasilkan hirarki atau tataran dari bentuk semula dengan hasil bentukannya. Sebagai contoh misalnya bentuk semula kata kemudian hasil bentukannya berupa klausa, yang dapat diamati pada pembentukan sebagai berikut.
1)    daktegor (ngoko)  kula tegor ‘saya tebang’ (krama)
2)    daktegora (ngoko) sanajan kula tegor ‘walaupun saya tebang’ (krama).
Bentuk daktegor dan daktegora berstruktur kata, sedangkan kula tegor dan sanajan kula tegor berstruktur klausa. Perubahan yang demikian itu merupakan transhirarki karena proses “peng¬kramaan”. Oleh karena itu, “pengkramaan” dapat disebut sebagai penanda transhirarki.
Selain itu, dalam bahasa Jawa ada bentuk idu abang ‘air liur merah’ dan ada pula bentuk dubang. Idu abang merupakan struktur frasa, sedangkan dubang berstruktur kata. Perubahan dari bentuk idu abang menjadi dubang karena proses pengakroniman. Dengan demikian pengakroniman juga dapat disebut penanda transhirarki.
Berdasarkan contoh-contoh tersebut tampaklah adanya per¬bedaan struktur dari struktur bentuk semula dengan struktur hasil bentukannya. Apabila struktur bentuk semula kata kemudian struktur bentukannya berupa klausa disebut transhirarki naik tataran. Sebaliknya, apabila bentuk semula frasa kemudian struktur bentukannya berupa kata disebut transhirarki turun tataran. Transhirarki naik tataran dan turun tataran dalam istilah pener¬jemahan disebut shunt up dan shunt down (Calford, 1974 dalam Soemarno, 1999:2). Dengan demikian, di dalam transhirarki di¬kenal adanya dua bentuk transhirarki, yaitu (1) transhirarki naik tataran, dan (2) transhirarki turun tataran.

Hadirin yang terhormat.
3.    Jenis Penanda dan Bentuk Transhirarki
Di dalam bahasa Jawa, sekurang-kurangnya ditemukan 9 pro¬ses kebahasaan yang merupakan penanda transhirarki. Ke¬sembilan jenis penanda tersebut yaitu (1) “pengkramaan”, (2) penyingkatan, (3) pengakroniman, (4) pengafiksasian, (5) pemajemukan, (6) pe¬mara¬frasean, (7) penerjemahan, (8) persandian, dan (9) peman¬jangan.

3.1.    Pengkramaan
“Pengkramaan” maksudnya adalah proses kebahasaan yang menunjukkan adanya perubahan  kosa kata ngoko menjadi bentuk krama. Tidak semua perubahan kosa kata ngoko menjadi bentuk krama menyebabkan transhirarki. Perubahan kosa kata ngoko menjadi bentuk krama yang menyebabkan transhirarki yaitu kosa kata ngoko yang mengandung afiks sebagai berikut :
1)    dak-,  kok-, -ku, -mu.
2)    -a,  -ana, -na, -en.
3)    N-/-a,  N-/-na, N-/-ana.
dak-/-a,  dak-/-na, dak-/-ana.
kok-/-a,  kok-/-na, kok-/-ana.
di-/-a,  di-/-na, di-/-ana.
Berdasarkan afiks-afiks tersebut misalnya afiks pada kelompok            1) dengan bentuk dasar kosa kata ngoko tuku ‘beli’ dan buku ‘buku’ akan didapatkan kata daktuku ‘kubeli’, kok tuku ‘kau beli’, bukuku ‘bukuku’ dan bukumu ‘bukumu’. Keempat kata tersebut dalam bentuk krama adalah : kula tumbas, panjenengan tumbas, buku kula, dan buku panjenengan. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa daktuku, koktuku, bukuku dan bukumu berstruktur kata, sedangkan kula tumbas, panjenengan tumbas, buku kula, buku panjenengan berstruktur klausa dan frasa. Oleh karena itu, perubahan kosa kata ngoko menjadi bentuk krama mengalami transhirarki yang berupa naik tataran.
Demikian juga misalnya bentuk 2) dan 3) misalnya bentuk afiks  -a, N-/-a, dak-/-a, kok-/-a, dan di-/-a untuk kata tuku ‘beli’, bentuknya adalah tukua ‘belilah’ nukua ‘membelilah’, daktukua ‘walaupun saya membeli’, ditukua ‘walaupun dibeli’. Kosa kata ngoko tersebut apabila dirubah menjadi bentuk krama menjadi : kula aturi tumbas, kula aturi numbas, sanajan kula tumbas, senajan panjenengan tumbas, dan senajan dipuntumbas. Jelaslah bahwa perubahan kosa kata tersebut juga mengalami transhirarki naik tataran.

3.2.    Penyingkatan
Penyingkatan merupakan gejala umum dalam bahasa Jawa. Orang suka membuat singkatan, untuk efisiensi. Dalam hal ini penulisan buku, misalnya bausastra atau kamus, penulis cenderung untuk membuat singkatan yang sebelumnya diterangkan di dalam suatu daftar singkatan.
Bentuk yang disingkat pada umumnya lebih panjang daripada singkatannya. Singkatan dapat disejajarkan dengan kata. Singkatan dalam bahasa Jawa dapat dijumpai dalam singkatan nama gelar bangsawan, singkatan dalam buku-buku, dan singkatan yang terdapat di dalam  kata turunan. Adapun contoh-contoh singkatan adalah sebagai berikut .
1)    Singkatan gelar kebangsawanan
a.    S.I.S.K.S    :    Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan.
b.    K.P.H.     :    Kanjeng Pangeran Harya.
c.    G.P.H.      :    Gusti Pangeran Harya.
d.    B.R.M.     :    Bandara Raden Mas.
e.    G.R.Ay.    :    Gusti Raden Ayu.
f.    R.T.        :    Raden Tumenggung.
g.    K.R.T.      :    Kanjeng Raden Tumenggung dan lain-lainnya.
2)    Singkatan dalam buku-buku (kamus)
a.    ki     :    krama inggil
b.    ku     :    krama ngoko
c.    lsp     :    lan sapanunggalane
d.    ip     :    inggih punika
e.    JB     :    Jaya Baya
f.    PS    :    Penyebar Semangat
g.    LSW    :    layang Saka Warga
3)    Singkatan dalam kata turunan
a.    KUT-ne     :    Kredit Usaha Tanine.
b.    KTP-ne     :    Kartu Tandha Pendhudhuke (ne).
c.    PPH-ne     :    Pajak Pertambahan Hasile (ne).
Contoh-contoh singkatan tersebut menunjukkan adanya per¬bedaan struktur antara singkatan dengan bentuk yang disingkat. Perbedaan strukturnya menunjukkan adanya transhirarki turun tataran.

3.3.    Pengakroniman
Pengakroniman sebenarnya hampir sama dengan penying¬katan, hanya saja secara tegas dinyatakan bahwa pengakroniman merupakan penyingkatan yang pelafalannya seperti kata. Akronim dalam bahasa Jawa misalnya dijumpai di dalam (1) nama pagu¬yuban, (2) nama panggilan, (3) jarwa dhosok, (4) ajaran atau semboyan, (5) istilah populer, dan (6) cangkriman.
Adapun contoh-contohnya adalah sebagai berikut :
1)    Nama paguyuban
a.    Pakasa : Paguyuban Karaton Surakarta.
b.    Sangpawara : Sanggar Pasinaon Pambiwara.
c.    Pasipamarta : Paguyuban Purna Siswa Pambiwara Marcukundha Karaton Surakarta Hadiningrat.
d.    Purigadhing : Campur Sari Warga Gadhing.
2)    Nama panggilan
a.    Budhe : Ibu gedhe.
b.    Pakdhe : Bapak gedhe.
c.    Bulik : Ibu cilik.
3)    Jarwa dhosok.
a.    Kathok : diangkat sithok-sithok.
b.    Guci lenga kayu gayuk : Lugu suci mentheleng lunga, kaku ngguyu lega sayuk.
c.    Krikil : keri nyang sikil.
4)    Ajaran semboyan atau peringatan
a.    Trima : tiga ma           masak, macak, manak.
b.    Catur Es : Empat S    sambung, sambang, sumbang, sombong (sembrana).
c.    Ma lima : Ma lima     madat, madon, minum, main, maling.
d.    Mala : lima la : lima l : lugu ‘sederhana’, lagu ‘irama’, lega ‘iklas’, legawa ‘sangat iklas’, legi ‘manis’.
e.    Mawa : lima w : wisma ‘rumah’, wareg ‘kenyang’, waras ‘sehat’, wasis ‘pandai’, widada ‘selamat’.
5)    Istilah populer
a.    bonek : bandha nekat
b.    congdhut : keroncong ndhangdhut
c.    ciblek : cilik betah melek
6)    Cangkriman
a.    Lidhe litan : Kali gedhe mili ngetan.
b.    Lesba dhonge : Tales amba godhonge.
c.    Pak peyut : Tepak cempe ciyut.
Berdasarkan contoh-contoh akronim tersebut tampaklah bahwa bentuk akronim lebih pendek daripada bentuk yang semula. Contoh-contoh itu juga menunjukkan adanya transhirarki turun tataran.

3.4.    Pengafiksasian
Penambahan afiks yang dapat menghasilkan transhirarki pada umumnya adalah bentuk dasar yang berupa frasa yang diikuti          oleh afiks seperti : (1) {Sa-/-e}, (2) {Sa-/-mu}, (3) {di-/-ake}, (4) {di-/-a}, dan (5) {-an}. Adapun contoh-contohnya sebagai berikut :
1)    Saanakputune ‘seluruh anak cucunya’
2)    Sabalasentanumu ‘seluruh tentara kerabatmu’
3)    Diranarenekake ‘ dibawa ke sana ke mari’
4)    Dipadhamacaa ‘dimohon agar membaca’
5)    Pitulas agustusan ‘peringatan tujuh belas agustus’
Bentuk-bentuk tersebut di atas apabila dianalisis bentuk dasar¬nya bukanlah berupa kata, akan tetapi berupa kelompok kata/frasa. Oleh karena itu, pengafiksasian seperti itu menghasilkan trans¬hirarki turun tataran. Peristiwa kebahasaan seperti dapat disebut sebagai “sintakomorfemis”.

3.5.    Pemajemukan
Pemajemukan menghasilkan kata majemuk. Kata majemuk tidak dianggap sebagai kelompok kata, akan tetapi dianggap sebagai kata. Contoh kata majemuk dalam bahasa Jawa misalnya :
1)    nagasari ‘nama makanan’
2)    lembah manah ‘ramah tamah’
3)    sato kewan ‘hewan’
4)    ngalor ngidul ‘ ke sana ke mari’
5)    padhang jingglang ‘terang sekali’.
Sehubungan dengan contoh-contoh tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa pemajemukan menghasilkan transhirarki turun tataran.

3.6.    Pemarafrasean
Pemarafrasean akan dibuat dalam bentuk parafrase maksudnya pengungkapan kembali suatu konsep dengan cara lain dalam bahasa yang sama, tanpa mengubah maknanya, dengan memberi kemungkinan penekanan yang agak berlainan (Harimurti Krida¬laksana, 1982 ; 120). Kemungkinan penekanan yang dimaksud misalnya untuk keindahan, penghalusan atau untuk memperjelas. Di dalam bahasa Jawa dapat ditemukan bentuk-bentuk kata dengan parafrasenya sebagai berikut :
1)    ajatasatru :     ora duwe mungsuh
boten darbe mengsah
‘tidak punya musuh’
2)    mati : sampun katimbalan marak/sowan ing ngarsaning Pangeran
‘sudah dipanggil menghadap Tuhan’
3)    Sedhela : sakedheping mata ‘sekejap mata’
4)    Manut : sumangga karsa ‘silahkan kehendakmu’
5)    Sabar : aywa asring duka ‘jangan sering marah’
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa bentuk-bentuk yang diparafrasekan merupakan kalimat atau kelompok kata. Oleh karena itu, bentuk-bentuk parafrase yang demikian menghasilkan transhirarki naik tataran.

3.7.    Penerjemahan
Penerjemahan dari bahasa Indonesia atau bahasa Asing ke dalam bahasa Jawa kadang-kadang tidak sepadan. Artinya antara bahasa Sumber dan bahasa Sasaran tidak dalam tataran yang sama. Hal ini dapat diamati dalam kamus Dwi Bahasa Indonesia – Jawa, misalnya :
1)    instropeksi : mulat salira, mawas dhiri.
2)    abatoar : papan kanggo mbeleh kewan.
3)    abstrak  : ora kasat ing mripat.
4)    absolut : tanpa wangenan.
5)    diapragma : bleblekan tipis kanggo ngatur mlebune cahyo ing piranti motret.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa bahasa Sumber (Indonesia) berstruktur kata, sedangkan bahasa Sasarannya (Jawa) berstruktur kelompok kata, frasa, bahkan kalimat. Oleh karena itu penerjemahan yang demikian dapat disebut transhirarki naik tataran.

3.8.    Persandian
Dalam bahasa Jawa, terutama dalam karya sastra tembang, banyak dijumpai persandian. Yang dimaksud persandian yaitu gabungan kata atau lebih yang menimbulkan bentuk baru. Unsur kata yang digabung, terutama kata-kata yang berakhir bunyi vokal dan kata-kata berawal bunyi vokal. Sebagai contoh misalnya kata jalu ’laki-laki’ dan estri ‘perempuan’ kedua kata tersebut dalam bentuk persandian menjadi jalwestri, dan tidak menjadi jalu estri. Sebelum mengalami persandian jalu estri merupakan bentuk frasa, akan tetapi setelah menjadi jalwestri seolah-olah hanya sebagai kata. Dalam hal perubahan jalu estri menjadi jalwestri dapat disebut sebagai transhirarki turun tataran.
Contoh-contoh bentuk persandian yang lain adalah sebagai berikut :
1)     prameswari    parama + iswari ‘isteri utawa raja’
2)     sawadyabalanireki     sawadyabalanira + iki ‘seluruh balatentaranya + iki’
3)     sireku    sira + iku ‘kamu itu’
4)     cidreng    cidra + ing ‘ingkar pada’
5)     wirotama    wira + utama ‘perwira utama’
6)     jiwanggamu     jiwa + anggamu ‘jiwa ragamu’
7)     satriyarga    satriya + arga ‘satria gunung’.
Bentuk-bentuk tersebut semula berstruktur frasa, setelah dibentuk dengan persandian berstruktur kata. Oleh karena itu dapat dinyatakan sebagai transhirarki turun tataran. Bentuk-bentuk seperti tersebut dapat dinyatakan sebagai bentuk “sintakofonemis”.

3.9.    Pemanjangan
Pemanjangan ini sebenarnya merupakan kebalikan dari pe¬nying¬katan dan pengakroniman. Penyingkatan dan pengakroniman menghasilkan bentuk transhirarki turun tataran, sedangkan pemanjangan menghasilkan transhirarki naik tataran. Penutur memanfaatkan kata yang diperlakukan sebagai akronim.

4.    Hubungan dengan Masyarakat Tuturnya
Transhirarki merupakan kenyataan kebahasaan yang memi¬liki karakterisasi dapat menurunkan tataran dan dapat pula menaikkan tataran. Wujud kenyataan kebahasaan ini memiliki kesamaan dengan kenyataan dalam masyarakat/masyarakat tutur¬nya. Pem¬bicaraan mengenai kaitan bahasa dengan masyarakat tuturnya telah dibicarakan dalam studi Sosiolinguistik (Sosiologi Bahasa).
Ahli bahasa yang telah membicarakan adanya kaitan bahasa dengan masyarakat, seperti terlihat pada tulisan Hudson (1980), Erlaine Chaica (1982), dan Joseph Errington (1985). Adanya pem¬bahasan seperti : Speech as a Signal of Social identity (Hudson, 1980), Language the Social Mirror (Erlaine Chaica), dan Language and Social Change in Java (J. Errington, 1985) menunjukkan adanya kaitan antara bahasa dengan masyarakat tuturnya. Hal semacam ini dalam bahasa Indonesia dikenal adanya ungkapan : bahasa menunjukkan bangsa.
Di dalam wujud kebahasaan ada peristiwa turun tataran dan ada pula naik tataran. Hal ini juga dapat ditemukan adanya turun status dan naik status di dalam masyarakat tutur Jawa. Masyarakat tutur Jawa mengenal adanya istilah mudhun pangkat ‘turun pangkat’, dan munggah pangkat ‘naik pangkat’. Oleh karena itu, kenyataan kebahasaan memiliki kesamaan dengan kenyatan dalam masyarakat tuturnya. Kenyataan yang demikian itu menunjukkan adanya perubahan, yang dalam masyarakat Jawa dikenal dengan adanya istilah : owah gingsir ‘perubahan’, ora langgeng ‘tidak kekal’, cakra manggilingan ‘selalu berputar’, lengser keprabon ‘turun tahta’, dan dilengser ‘diturunkan’. Istilah-istilah tersebut menyatakan makna perubahan di dalam masyarakat. Perubahan dapat berupa naik tataran/status dan turun tataran/status.

5.    Kandungan / Pesan dalam Transhirarki
Transhirarki pada prinsipnya merupakan perubahan tataran kebahasaan yang menyebabkan ada naik tataran dan turun tataran.
Kenyataan kebahasaan yang demikian memiliki kesamaan dengan kenyataan dalam masyarakat tutur Jawa. Naik tataran bernuansa makna positif, sedangkan turun tataran bernuansa makna negatif. Tataran tinggi dapat berubah menjadi tataran rendah, karena tataran tinggi dapat dikenani proses kebahasaan yang ber¬laku pada tataran di bawahnya. Misalnya saja tataran frasa (anak bojo ‘anaka istri’) bisa turun tataran kata (saanakbojone ‘seanak isterinya’) karena dapat dikenani proses afiksasi sa-/-esebagai afiks pembentuk kata.
Kenyataan kebahasaan turun tataran tersebut memiliki impli¬kasi bahwa seseorang dalam tataran atas agar tidak terjadi mudhun drajat ‘turun derajat’ supaya berperilaku selayaknya pada tataran tataran atas. Akan tetapi apabila tataran atas berperilaku seperti pada tataran bawah tentu dapat berakibat turun tataran. Kenyataan yang demikian dapat ditemui dalam kehidupan yang mencerminkan ada perilaku kurang terpuji.
Dalam hal “pengkramaan” dan pemarafrasean bentuk peng¬halusan dapat menyebabkan transhirarki naik tataran. Pengkramaan dan penghalusan dalam kebahasaan merupakan bentuk kesopanan berbahasa. Bentuk kesopanan berbahasa merupakan cerminan budi pekerti yang baik.
Perlu dinyatakan pula bahwa pengakroniman dalam bahasa Jawa ditemukan bentuk-bentuk akronim berisi ajaran/tuturan ke arah budi pekerti yang terpuji. Sebagai misalnya ma lima, guci lenga kaya gapuk, tiji tibeh,akronim ma lima (madat, madon, minum, main, maling) merupakan larangan untuk tidak dilakukan. Akronim guci lenga kayu gapuk (lugu suci, mentheleng lunga kaku ngguyu, lega dipukpuk) merupakan nasehat dalam per¬kawinan. Akronim tiji tibeh (mukti siji mukti kabeh mati siji mati kabeh) merupakan ajaran yang mencerminkan semangat keber¬samaan dalam suka dan duka.
Berkaitan pengakroniman dan pengkramaan di bawah ini ditampilkan tembang macapat sebagai berikut :
“Mungguh laku miwah hurip hiki,    ‘Adapun jalan dan hidup ini,
wus cinakup hing haksara Jawa,    telah tercakup dalam huruf Jawi,
Jawa jawi lan jiwaie,    Jawa Jawi dan Jiwinya
Jawa pikajengipun,    jawa maksudnya,
prasahaja walaka yekti,    sungguh sederhana apa adanya,
Jawi basa kramanya,    Jawi bentuk kramanya,
subasitanipun,    Sopan santunnya,
Jiwaning budayanira,    Jiwa budayanya,
Jiwi hiku sawiji lawan hyang widhi,    Jiwi itu menyatu dengan Tuhan
purneng haksara Jawa”,    Sempurna huruf Jawa
(SISKS. Pakoe Boewana IX, dalam Yosodipuro, 1993).

Di dalam tembang tersebut berisi tiga ajaran ke arah budi pekerti yang luhur yaitu Jawa, Jawi, dan Jiwi. Jawa dapat memiliki makna ‘Keterbukaan’, Jawi memiliki makna ‘Kesopanan/ Etika’, dan Jiwi memiliki makna ‘Ketuhanan’. Ajaran tersebut mengisyaratkan bahwa Keterbukaan perlu mempertimbangkan Etika dan Ketuhanan.
Selain tembang dandanggula tersebut, tembang-tembang berikut menjelaskan mengenai maksud satriya :
(2) Punika ingkang satuhu,
mengku makna tripakarti,
hanggadhuh kang pinaringan
hangrengkuh dhawuhireki,
minangka srana makarya,
mrih dadya labuhing urip
(3) Titah manungsa kang sampun,
netepi wewarah aji,
kaparengalem winastan,
sinebat satriya janmi,
dumadi saking triwanda,
makaten keplasing uni,
(5)    Sa punika tegesipun,
Nggadhahi makna sawiji,
Tri tiga pikajengira,
Ya punika ingsun yekti,
Manawi sampun mangkana,
Antuk uwohing pakarti.
———————————
(6)    Kabeh tanduran punika,
Bisane uwoh marani,
Awit saka gustinira,
Sapa hingkang kanampani,
Sanadyan begja cilaka,
Haku wajib denilangi (Maryono, Dwiraharjo, 2003 : 3)

Terjemahan :
(2)    Itu yang sebenarnya,
Mengandung makna tiga perbuatan,
Nggaduh yang diberikan,
Mengaku perintahnya,
Sebagai sarana berbuat,
Agar jadi perjuangan hidup.
(3)    Manusia yang sudah,
menepati janji,
kehendak beliau disebut,
disebut satriya manusia,
terjadi tiga suku kata,
demikian maksudnya.
(4)    Sa itu maksudnya,
mempunyai makna satu,
tri tiga maksudnya,
yaitu sesungguhnya aku
bila sudah demikian,
mendapat hasil perbuatan.
(5)    Semua tanaman itu,
agar bias berbuah,
sebab dari Tuhan,
siapa yang menerima,
walaupun beruntung dan celaka,
aku harus dihilangkan.

Tiga bait tembang kinanthi, tersebut terdapat penjelasan mengenai satriya yaitu seseorang yang di dalam dirinya telah menyatu tiga perbuatan : nggadhuh, ngrengkuh, dan labuh, dan disarankan orang tidak egois tetapi selalu disarankan agar memiliki jiwa ketuhanan selalu ingat kepada Tuhan pencipta alam.
Dari contoh-contoh transhirarki ternyata didapatkan peman¬faat¬an kata-kata yang sudah ada untuk maksud yang lain. Hal semacam itu merupakan kebiasaan “melu payu” mengikut yang sudah ada dan “kudhung walulang” artinya berlindung kepada pihak yang memiliki kekuasaan/pengaruh di masyarakat.

6.    Simpulan
Sebagai penutup uraian saya simpulkan sebagai berikut:
1)    Transhirarki merupakan kenyataan kebahasaan yang me¬miliki karakterisasi dapat menaikkan tataran dan dapat pula menurunkan tataran.
2)    Di dalam bahasa Jawa ditemukan penanda transhirarki seperti (1) “pengkramaan”, (2) “penyingkatan”, (3) “pang¬a¬kroniman”, (4) “pengafiksasian”, (5) “pemajemukan”, (6) “pama¬rafrasean”, (7) “penerjemahan”, (8) “persandian”, dan (9) “pemanjangan”.
3)    Transhirarki memiliki kesamaan dengan kenyataan dalam masyarakat tutur Jawa yang juga memiliki pesan positif terhadap masyarakat tutur untuk menuju kebaikan dalam kehidupan.
4)    Dengan wawasan Catur Tunggal analisis dan pemahaman bahasa sesuai dengan maksud untuk dapat menghindari salah paham bahkan ketegangan social.
5)    Ada dua hal yang perlu dikaji dalam bahasa Jawa yaitu adanya sintakofonemis dan sintakomorfemis.
Demikianlah uraian dan penjelasan tentang Transhirarki dalam bahasa Jawa dan masyarakat tuturnya sebuah Wawasan Catur Tunggal semoga bermanfaat. Amin.

PENUTUP
Hadirin yang terhormat,
Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini perkenankanlah saya sekali mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan hidayah, karunia-Nya kepada saya sekeluarga.
Ucapan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang secara langsung telah membantu mengantarkan saya menjabat jabatan terhormat sebagai Guru Besar ini, sehingga tidak mungkin saya sebutkan satu persatu. Namun saya perlu menyebut¬kan antara lain :
1)    Mendiknas Republik Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada saya dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah meloloskan usulan Guru Besar bidang Sosiolinguistik di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Univer¬sitas Sebelas Maret Surakarta.
2)    Rektor Universitas Sebelas Maret Bapak Prof. Dr. dr. H. Syamsulhadi, Sp.Kj (Konsultan) dan segenap anggota senat yang telah menyetujui dan mengusulkan saya untuk memangku jabatan Guru Besar.
3)    Rekan-rekan sejawat anggota senat Fakultas Sastra dan Seni Rupa telah mendukung dan mengusulkan saya sebagai Guru Besar.
4)    Rekan saya Bapak Drs. Paina Partana, M.Hum sebagai kawan sejawat yang telah membantu mengumpulkan, menyusun syarat-syarat pengusulan Guru Besar ke Sidang Senat Fakultas Sastra dan Seni Rupa.
5)    Guru-guru saya mulai dari sekolah rakyat hingga Perguruan Tinggi yang telah mendidik saya hingga dapat mencapai jabatan Guru Besar sungguh merupakan jasa yang selalu kuingat dalam hidupku.
6)    Bpk Prof. Drs. M. Ramlan selaku pembimbing yang mempermudah langkah saya untuk mencapai gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
7)    Secara khusus kepada Almarhum pembimbing saya : Alm. Bp. Prof. Dr. H. Suwito, Alm. Bapak. Prof. Dr. H. Soeseno Kartomihardjo, Alm. Bapak. Prof. Dr. Darusuprapto, dan Almarhumah Ibu Prof. Dra. Siti Bararah Baried yang telah tiada, memiliki jasa yang besar sewaktu saya menempuh program S3 di Program Pasca Sarjana UGM. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahannya dan menempatkan di surga-Nya
8)    Kedua orang tua saya Bapak Amatrejono dan Almarhumah Ibu Tugiyem Amatrejono yang telah susah payah dengan sembur (doa), tutur (nasehat), dan uwurnya (pemberian) untuk keberhasilan hidup saya sekeluarga. Khusus kepada Almarhumah Ibu saya yang sewaktu saya menempuh S3, selalu berbaring di tempat tidur hingga wafat semoga Allah SWT memberikan ampunan-Nya.
9)    Kedua mertua saya Bapak Harjowidodo dan Ibu Harjo¬widodo yang telah memberikan dorongan, bimbingan kesuksesan keluarga saya.
10)    Kepada istri saya Murningsih dan anak-anak saya yang telah rela berkorban demi keberhasilan studi saya sewaktu di S3 di UGM Yogyakarta isteriku selalu setia mendam¬ping¬iku dalam duka dan suka.
11)    Kepada saudara-saudara kandung saya, saudara ipar dan keponakan-keponakan saya yang telah memberikan pengertian untuk keberhasilan saya.
12)    Rekan-rekan wartawan media cetak maupun elektronik yang telah menginformasikan acara pengukuhan ini kepada masyarakat.
13)    Semua hadirin yang sabar telah mengikuti acara pengukuhan ini.

Akhirnya, saya sekali lagi mengucapkan terima kasih, mohon dimaafkan segala kekurangan, semoga Allah SWT selalu melim¬pah¬kan nikmat dan barakah-Nya kepada hadirin semuanya. Amin ya Rabbal ‘alamin
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Daftar Pustaka

Chaica, Erlaine. 1982. Language The Social Mirror. Rowley. London, Tokyo:Newbury House Publisher, Inc.
Crystal, David, 1980. A Fist Dictionary of Linguistics and Phonetics. Colorado:Westview Press Boneder.
Edi Subroto, D. 1985. “Transposisi dan Adjektiva menjadi Verba dan Sebaliknya dalam bahasa Jawa”. Disertasi Universitas Indonesia Jakarta.
Errington J, Josheph. 1985. Language and Social Change in Java. Ohio : Athena.
Harimukti Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia.
Hudson, R. 1980. Sociolinguistics. Cambrige : Cambrige University Press.
Margono. 1986. “struktur Tataran Kata” dalam Kumpulan Karya Alumni. Yogyakarta : Panitia Kegiatan Ilmiah.
Maryono Dwiraharjo. 1997. “Fungsi dan Bentuk Krama” Disertasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
————————-. 2000a. “Kawruh Basa Jawi Kawedhar”. Surakarta : Sastra Daerah FS UNS.
————————-. 2000b. “Transhirarki dan Masyarakat Tuturnya : Suatu Kajian Awal”. Diskusi KSL Jurusan Sastra Daerah. 1 April 2000.
MLI. 1999. Buku Panduan Konggres Nasional IX. Jakarta : Panitia.
Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa – Indonesia. Jakarta : PT. Gunung Agung.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia : J.B. Wolters Vitgevers Maatschappij, N.V.
Sudaryanto, dkk. 1991 a. Kamus Indonesia-Jawa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
——————. 1991 b. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
Yosodipuro, KRMH. 1992. “Basa Jawi ing Tembe Wingking”. Djoko Lodang nomer 1038 8 Agustus 1992.

1 Comments

  • Mega Setiani
    Posted 26 May 2018 3:07 am 0Likes

    snagt bagus untuk menambaha wawasan di masyarakat

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.